tirto.id -
Beberapa di antaranya adalah masalah likuiditas dan potensi gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) danPT AJB Bumiputera, hingga persoalan bangkrutnya Bank Muamalat.
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, misalnya, mempertanyakan langkah seperti apa yang dilakukan OJK terhadap penanganan kasus Jiwasraya.
"Saya ingin dapat review mengenai isu yang ramai itu. Apa langkah yang sudah diambil OJK? Tugas utama OJK pengawasan dan perlindungan konsumen," ujarnya dalam Rapat Komisi XI, DPR RI Senayan, Jakarta Selatan, Senin (18/11/2019).
Kondisi keuangan Jiwasraya yang mengalami kerugian Rp13,74 triliun, kata Misbakhun, bakal membebani pemerintah karena harus melakukan langkah penyelamatan.
Apalagi, Jiwasraya mengajukan opsi bailout atau meminta dana talangan hingga Rp32 triliun.
"Kalau AJB Bumi Putra pemegang sahamnya publik, kalau salah satu skema yang disebutkan adalah pemegang saham, kalau Jiwasraya itu pemegang saham pemerintah. Ini kan sangat dalam kalau pemerintah suruh top up saham mereka ke Jiwasraya," terangnya.
Komisi XI DPR lainnya, yakni Hendrawan Supraktikno juga mengkritisi sikap OJK yang dianggap kurang tegas. Hendrawan menjelaskan, OJK memiliki kewenangan yang begitu tinggi dan luas namun tidak digunakan secara optimal.
Kasus Jiwasraya hingga Muamalat, menurutnya, adalah contoh buruk pengawasan yang dilakukan OJK. Padahal, menurutnya, jika OJK terbuka dengan permasalahan tersebut, masalah utang hingga likuiditas perusahaan-perusahaan tersebut tak akan separah saat ini.
"Kalau dari kacamata DPR, OJK ini tidak tegas, sangat tidak tegas. OJK punya kewenangan besar tapi kewenangan besar tidak dijalankan," papar dia.
Anggota DPR Komisi XI Fraksi Demokrat Vera Febyanthy mengatakan, beberapa masalah yang besar saat ini seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Karena operasional perusahaan jasa keuangan di Indonesia tidak akan berjalan tanpa adanya tanda-tangan dari OJK.
"Saya tau ini OJK ini punya rencana bisnis bank istilahnya road map bank. Itu mereka [bank dan asuransi] tidak bisa dijalankan kalau tak ada tanda tangan dari OJK. Jadi saya perganyakan siapa yang menandatangani saat itu karena sudah terjadi kegagalan," terangnya.
Menurutnya, meski penyelesaian permasalahan itu kini sudah melibatkan Kejaksaan Agung, OJK harus ikut bertanggungjawab karena lalai dalam mengantisipasi jalannya bisnis-binsis tersebut.
"Harusnya sudah tau ini sistem. Ada seharusnya ada mitigasi siapa yang bertanggungjawab atas hal ini. Meskipun kita tau kalau sekarang kasus ini sudah diserahkan ke kejaksaan tapi OJK harus dilibatkan. Siapa yang bertanggung jawab atas rencana bisnis bank," jelas Vera.
Sementara itu, Ketua Komisoner OJK Wimboh Santoso enggan menjelaskan secara detail dan terbuka soal masalah yang membelit tiga perusaahan tersebut.
Dia bilang, OJK masih perlu melakukan analisis mendalam terkait masalah di masing masing perusahaan sebelum mengambil langkah penindakan.
"Ibaratnya kalau kita melakukan assessment kita detail. Sekarang kita melakukan analisisnya itu detail. Sehingga bisa jadi dengan detil ini bisa ada beberapa lembaga keuangan yang membutuhkan perhatian," tuturnya.
Apalagi, Jiwasraya mengajukan opsi bailout atau meminta dana talangan hingga Rp32 triliun.
Kasus Jiwasraya hingga Muamalat, menurutnya, adalah contoh buruk pengawasan yang dilakukan OJK.
Padahal, menurutnya, jika OJK terbuka dengan permasalahan tersebut, masalah utang hingga likuiditas perusahaan-perusahaan tersebut tak akan separah saat ini."Kalau dari kacamata DPR, OJK ini tidak tegas, sangat tidak tegas. OJK punya kewenangan besar tapi kewenangan besar tidak dijalankan," papar dia.
Anggota DPR Komisi XI Fraksi Demokrat Vera Febyanthy mengatakan, beberapa masalah yang besar saat ini seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Karena operasional perusahaan jasa keuangan di Indonesia tidak akan berjalan tanpa adanya tanda-tangan dari OJK.
Sementara itu, Ketua Komisoner OJK Wimboh Santoso enggan menjelaskan secara detail dan terbuka soal masalah yang membelit tiga perusaahan tersebut.
Dia bilang, OJK masih perlu melakukan analisis mendalam terkait masalah di masing-masing perusahaan sebelum mengambil langkah penindakan.
"Ibaratnya kalau kita melakukan assessment kita detail. Sekarang kita melakukan analisisnya itu detail. Sehingga bisa jadi dengan detil ini bisa ada beberapa lembaga keuangan yang membutuhkan perhatian," tuturnya.
Apalagi, Jiwasraya mengajukan opsi bailout atau meminta dana talangan hingga Rp32 triliun.
Kasus Jiwasraya hingga Muamalat, menurutnya, adalah contoh buruk pengawasan yang dilakukan OJK.
Padahal, menurutnya, jika OJK terbuka dengan permasalahan tersebut, masalah utang hingga likuiditas perusahaan-perusahaan tersebut tak akan separah saat ini."Kalau dari kacamata DPR, OJK ini tidak tegas, sangat tidak tegas. OJK punya kewenangan besar tapi kewenangan besar tidak dijalankan," papar dia.
Anggota DPR Komisi XI Fraksi Demokrat Vera Febyanthy mengatakan, beberapa masalah yang besar saat ini seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Karena operasional perusahaan jasa keuangan di Indonesia tidak akan berjalan tanpa adanya tanda-tangan dari OJK.
Sementara itu, Ketua Komisoner OJK Wimboh Santoso enggan menjelaskan secara detail dan terbuka soal masalah yang membelit tiga perusaahan tersebut.
Dia bilang, OJK masih perlu melakukan analisis mendalam terkait masalah di masing-masing perusahaan sebelum mengambil langkah penindakan.
"Ibaratnya kalau kita melakukan assessment kita detail. Sekarang kita melakukan analisisnya itu detail. Sehingga bisa jadi dengan detil ini bisa ada beberapa lembaga keuangan yang membutuhkan perhatian," tuturnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana