tirto.id - Pancasila punya sejarah panjang sebagai dasar negara sekaligus falsafah hidup bangsa. Dalam rangkaian proses perumusan Pancasila, terdapat nilai-nilai kebersamaan dari berbagai perbedaan yang muncul sebelum kemerdekaan Republik Indonesia akhirnya bisa diwujudkan.
Secara etimologi, Pancasila berakar dari bahasa Sansekerta panca yang artinya "lima" dan sila yang berarti "asas" atau "prinsip". Dengan demikian, Pancasila bisa dimaknai sebagai rumusan dan pedoman dalam kehidupan seluruh rakyat Indonesia.
Istilah Pancasila muncul dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang disusun tahun 1365 Masehi atau masa Kerajaan Majapahit. Menurut buku Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara (2012), istilah ini kembali diangkat dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Sidang BPUPKI pertama dilangsungkan di Jakarta dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945, antara lain membahas mengenai perumusan dasar negara untuk negara Indonesia yang saat itu sedang mempersiapkan kemerdekaan.
Dalam Sidang BPUPKI pertama ini, ada tiga tokoh nasional yang tampil ke podium untuk menyampaikan gagasan terkait dasar negara Indonesia, yaitu Mohammad Yamin, Soepomo, dan Ir. Sukarno.
Sejarah Perumusan Pancasila
Dikutip dari penelitian Darsita bertajuk "Sejarah Perumusan Pancasila dalam Hubungannya dengan Proklamasi", istilah Pancasila mengemuka dalam sidang pertama BPUPKI hari ketiga, yakni tanggal 1 Juni 1945.
Ir. Sukarno menyampaikan gagasan tentang dasar negara Indonesia yang ia sebut Pancasila. Tanggal 1 Juni inilah yang lantas ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
“Sekarang, banyaknya prinsip kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya,” ucap Bung Karno dikutip dari Risalah BPUPKI (1995) terbitan Sekretariat Negara RI.
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal, dan abadi,” lanjut sosok yang nantinya menjadi Presiden RI pertama ini.
BPUPKI kemudian membentuk Panitia Sembilan yang diketuai oleh Sukarno dengan anggota berjumlah 9 orang. Panitia Sembilan bersidang pada 2 Juni-9 Juni 1945. Dalam sidang reses ini terjadi perdebatan antara kalangan nasionalis dengan golongan yang mempertahankan syariat Islam.
Akhirnya, rumusan dasar negara Indonesia disepakati yang diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dengan isi sebagai berikut:
- Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam sidang kedua pada 10 Juli-16 Juli 1945, BPUPKI membahas tentang rancangan hukum dasar terdiri atas pembukaan (preambule) dan batang tubuh (pasal-pasal) Undang-Undang Dasar (UUD) berdasarkan hasil sidang Panitia Sembilan.
Sebelum perumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta disahkan, terjadi perubahan-perubahan yang dilakukan BPUPKI sebelum sidang kedua dimulai. Perubahan-perubahan itu didasarkan pada laporan kepada Mohammad Hatta bahwa sebagian wilayah di Indonesia bagian timur merasa keberatan terhadap sila pertama Pancasila.
Dari masalah tersebut, kemudian disepakati untuk mengubah rumusan dasar negara Indonesia menjadi sebagai berikut:
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Perumusan Pancasila
Berikut ini merupakan beberapa hal yang mencerminkan nilai kebersamaan dalam perumusan dasar negara Pancasila:
1. Nilai Kebersamaan dalam Sidang Pertama BPUPKI
Saat sidang pertama BPUPKI baru dimulai, perumusan Pancasila (dasar negara) masih berupa usulan, pandangan, atau pendapat individu. Usulan-usulan tersebut berbeda-beda. Namun, masing-masing anggota berusaha mengemukakan pandangan yang dapat disetujui oleh sidang.
Maka, nilai-nilai kebersamaan proses perumusan Pancasila dalam Sidang BPUPKI pertama ini tercermin dalam inisiatif peserta sidang. Mereka berinisiatif mengajukan usulan mengenai rancangan dasar-dasar negara di depan sidang. Mereka berpidato di muka sidang mengemukakan pendapat terbaik bagi Indonesia.
2. Nilai Kebersamaan dalam Keputusan Sidang Panitia Sembilan
Dalam sidang Panitia Sembilan, terdapat dua golongan yang saling berbeda pendapat. Ada golongan yang melandasi dasar negara dengan agama Islam. Ada juga golongan lain yang menghendaki kebangsaan sebagai dasar negara.
Tokoh-tokoh dari golongan Islam adalah Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, K.H. Wahid Hasyim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Sementara tokoh-tokoh yang mewakili paham kebangsaan atau nasionalis adalah Sukarno, Mohammad Yamin, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan AA. Maramis.
Lantas, apa peristiwa yang mencerminkan nilai kebersamaan dalam Panitia Sembilan ini? Tidak lain adalah dicapainya jalan tengah antara dua golongan yang berbeda pendapat itu. Jalan tengah antara pendapat dua golongan yang dimaksud adalah lahirnya Piagam Jakarta.
Bagi golongan paham kebangsaan, menerima rumusan Piagam Jakarta ini memang masih terasa berat. Namun, kuatnya cita-cita bersama-sama untuk segera mewujudkan negara Indonesia merdeka dan terbebas dari penjajahan, membuat mereka melaksanakan apa yang sudah menjadi hasil keputusan sidang dengan besar hati.
Dengan kata lain, nilai kebersamaan dalam proses perumusan Pancasila di sini memang benar-benar diuji. Jika dalam tahap ini titik temu kesepakatan gagal dicapai, maka cita-cita bersama untuk mewujudkan negara Indonesia merdeka bisa jadi akan gagal.
3. Nilai Kebersamaan Menjelang Pengesahan Dasar Negara
Menjelang hari pengesahan undang-undang dasar negara (rumusan Pancasila menjadi bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar) pada 18 Agustus 1945, nilai kebersamaan mengalami perkembangan baru.
Ujian terhadap nilai kebersamaan kali ini bukan hanya melibatkan golongan Islam dan paham kebangsaan, namun melibatkan juga masyarakat Indonesia bagian timur yang non-muslim.
Nilai kebersamaan dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara ini adalah peristiwa perubahan rumusan Piagam Jakarta, dari “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Iswara N Raditya