tirto.id - Kerajaan Majapahit pernah hidup di Indonesia (dahulu Nusantara) pada abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi.
Kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini mencatat masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada (dikenal sebagai pelopor Sumpah Amukti Palapa).
Berawal dari sebuah hutan di daerah Sungai Brantas, Jawa TImur, Raden Wijaya mendirikan Majapahit pada 1293 (Inajati Adrisijanti, Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kekayaan di Luar Kota, 2012). Ia menjadi raja pertama dengan gelar Kertajasa Jayawardhana (1293-1309).
Kerajaan ini tiga kali melakukan pemindahan pusat pemerintahan sejak pertama kali berlokasi di Mojokerto, Jawa Timur, yakni ke daerah Trowulan, lalu terakhir ke Kediri.
Menurut Mc Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1991), Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir penguasa Nusantara yang diklaim sebagai negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Periode keemasan dicapai oleh Kerajaan Majapahit saat raja Hayam Wuruk atau Rajasanegara memimpin.
Terdapat berbagai macam bukti sejarah yang ditinggalkan sebelum Majapahit runtuh pada 1527. Salah satu peninggalannya adalah dalam bidang sastra.
Kakawin Negarakertagama (Puisi Jawa Kuno)
Menurut S. Muljana dalam Tafsir Sejarah Negara Kertagama (2006), seorang pujangga yang dikenal namanya sebagai Mpu Prapanca adalah penulis naskah ini.
Isinya meliputi syair yang menjabarkan daerah-daerah kekuasaan Majapahit, tepatnya ketika Hayam Wuruk menjadi rajanya.
Berikut ini contoh terjemahan isi dua kalimat pertama Negarakertagama yang ditulis oleh Jagal Abilawa:
“Sembah puji dari hamba yang hina ini ke bawah telapak kaki sang pelindung jagat. Raja yang senantiasa tenang tenggelam dalam samadi, raja segala raja, pelindung orang miskin, mengatur segala isi negara.”
Kakawin Sutasoma (Kitab Pelopor Toleransi)
Saat Majapahit ada, penduduknya beragama Hindu-Buddha. Namun, dalam Sejarah Indonesia Jilid I untuk SMA/MA Kelas X Kelompok Wajib (2016:145) Hapsari dan Adil menambahkan, pendatang beragama Islam dari Pasai, Malaka, dan Tionghoa disambut baik kendati berbeda.
Berikut ini cuplikan terjemahannya:
“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah Tunggal, berbeda-beda tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran” (Hapsari dan Adil, 2016:145)
Pararaton (Kitab Sejarah)
Mengutip C.C. Berg yang tertulis dalam A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed (1993:18) karya Mc Rickelfs, naskah yang berisi sejarah raja Singasari ini tidak dibuat untuk menjabarkan sesuatu yang sudah lewat, melainkan apa yang akan terjadi di hari kedepannya.
Hal tersebut digambarkan dari cerita Ken Arok yang melakukan inkarnasi agar dapat menjadi raja di kehidupan selanjutnya (Anthony H. Johns, “The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography”, The Journal of Asian Study, Volume 24, No.1, 1964).
Ceritanya berlanjut dengan proses kelahiran kembali Ken Arok hingga akhirnya menikah dengan Ken Dedes dan menjadi Raja Singasari.
Tantu Panggelaran (Prosa)
Menurut Kemendikbud berdasarkan buku Kajian mitos dan nilai budaya dalam Tantu Panggelaran (1999) karya Nurhajarini, Dwi Ratna, dan Suryami, prosa ini tidak asing dalam lingkungan pembelajaran studi sastra Jawa.
Secara umum, terdapat tiga poin penting yang ingin disampaikan melalui karya ini, yakni tentang penciptaan pertama kali pulau Jawa dengan gunung-gunungnya yang ditekankan punya fungsi penyeimbang, penciptaan manusia laki-laki oleh Brahma dan perempuan oleh Wishnu untuk saling mengasihi, serta masa terjadinya seluruh peradaban manusia (tanpa busana, tanpa rumah, hingga memiliki segalanya).
Sudhamala (Prosa)
Naskah ini bercerita mengenai Batara Umayi yang dikutuk menjadi seorang raksasa perempuan, Batari Durga.
Sebagai solusi agar tidak menjadi makhluk mengerikan lagi, ia musti diruwat oleh Pandawa. Kisah tersebut ternyata termuat dalam sebuah relief candi Tegawangi, Jawa Timur.
Dalam Candi Sukuh dan Kidung Sudamalah yang diterbitkan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, termuat ringkasan prosa Sudhamala. Berikut ini bagian awalnya:
“Kunti, setelah mendengar Pandawa menghadapi musuhnya yang berupa raksasa Kalanjaya dan Kalantaka, merasa cemas hatinya dan pergi diam-diam dari dalam istana, tidak sepengetahuan para Pandawa, menuju ke kahyangan Batari Durga alias Ranini di Setra.” (Hlm 162)
Sastra Lisan
Selain yang tertulis terdapat juga sastra yang diwariskan secara mulut ke mulut, mulai dari Cerita Panji yang mengisahkan cinta Raden Panji Inu Kertapati dari Jenggala dengan Dewi Sekartaji dari Kediri.
Lalu, ada kisah Sri Tanjung yang bercerita tentang asal-usul Kota Banyuwangi, yakni dari nama Sri Tanjung yang merupakan nama bunga yang diklaim wanginya luar biasa.
Terakhir, ada sastra lisan berjudul Bubuksah dan Gagangaking. Sebenarnya cerita ini memiliki beberapa versi karena diwariskan hanya melalui omongan saja.
Salah satu versinya, di masyarakat bali, kedua saudara yang namanya ada dalam judul cerita, mendirikan gubuk sederhana untuk melakukan tapa/laku (Satyawati Suleiman, Seri Penerbitan Bergambar 3: Batur Pendopo Panataran, 1981).
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yandri Daniel Damaledo