tirto.id - Dalam rapat terbatas bersama kepala daerah seluruh Indonesia pada 24 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengungkap alasan mengapa ia enggan menerapkan lockdown atau penguncian sementara seluruh negeri atau setidaknya satu provinsi tertentu. Bukan ekonomi, bukan pula keamanan, tetapi budaya. Lockdown, bagi Jokowi, bukan budaya Indonesia.
"Perlu saya sampaikan, bahwa setiap negara memiliki karakter yang berbeda-beda, memiliki budaya yang berbeda-beda, memiliki kedisiplinan yang berbeda-beda," kata Jokowi seperti dalam tayangan akun YouTube Sekretariat Presiden.
Beberapa kepala daerah gagap. Utamanya Jakarta dan daerah lain di Pulau Jawa. Negara tidak mau melakukan lockdown, tapi COVID-19 sudah kadung menyebar dan siap bepergian ke berbagai wilayah.
Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono, misalnya, meminta kepala daerah lain melakukan karantina wilayah. Bagaimanapun dalam aturan hukum di Indonesia lebih dikenal sistem karantina wilayah daripada lockdown.
"Sekali lagi, saya ajak seluruh Bupati dan Wali Kota untuk menerapkan ini (karantina wilayah). Kalau tidak saudara yang memutuskan, siapa lagi. Jangan sampai menyesal di kemudian hari," kata Dedy seperti dilansir Liputan6.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memilih pembatasan secara perlahan. Pertama, Anies sempat mengurangi jumlah transportasi publik, yang akhirnya menjadi masalah karena menimbulkan kerumunan. Ia kemudian mengajukan permohonan untuk karantina wilayah, menilik korban paparan corona di Indonesia yang paling parah adalah Jakarta.
Istana menolaknya mentah-mentah. Jokowi lebih memilih untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Presiden Jokowi menetapkan tahapan baru perang melawan COVID-19 yaitu: Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan Kekarantinaan Kesehatan. Hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju Darurat Sipil," kata juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, di akun Twitter-nya.
Penerapan PSBB tidak sepenuhnya berjalan efektif. Kerumunan di beberapa tempat masih terjadi. Ada pula masyarakat yang keluar tanpa memakai masker. Hasilnya, angka pasien positif corona saat itu terus bertambah.
Di saat angka pasien terus bertambah, pemerintah bermaksud menjalankan new normal atau kenormalan baru pada awal Juni 2020. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa dengan menerapkan protokol pencegahan virus corona: memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Kalah Didesak Corona
Tidak hanya Indonesia yang menerapkan kenormalan baru. Saat itu beberapa negara seperti Amerika Serikat, Italia, dan Australia juga menerapkan hal serupa. Keputusan untuk lockdown melunak. Masyarakat diperbolehkan keluar rumah dan beraktivitas seperti biasa.
Masalahnya, Italia dan Australia punya dasar yang cukup kuat menerapkan kenormalan baru. Sebelumnya, Italia menjadi salah satu negara dengan pasien positif terbanyak di dunia. Kerugian terbesar Italia terjadi pada 21 Maret 2020. Dalam satu hari itu, pasien teridentifikasi terjangkit corona mencapai 6.557 orang.
Sejak 8 Maret 2020, peningkatan pengidap virus corona di Italia terus bertambah. Angkanya tidak pernah kurang dari empat digit. Pada 8 Mei 2020 tiba-tiba saja penambahannya berkurang cukup drastis. Dalam satu hari, pasien teridentifikasi menyentuh titik terendah setelah 32 hari, yakni 802 pasien.
Sedari 8 Mei sampai 5 Juni 2020, penambahan pasien tidak lagi mencapai 4 digit. Satu yang terakhir pada 12 Mei 2020 dengan 1.402 pasien. Perlahan tapi pasti, kurva penambahan positif corona mulai merata, bahkan menurun.
Australia juga sama. Medio Mei sampai awal April 2020, pasien positif corona terus bertambah. Setelahnya, penambahan pasien tidak masif. Kurva mulai merata, bahkan kasus baru hanya berada di dua digit. Sebelumnya malah sempat mencapai tiga digit, yaitu 537 pasien.
Italia melonggarkan lockdown pada 18 Mei 2020. Keputusan ini diambil Perdana Menteri Giuseppe Conte karena kerugian ekonomi besar yang melanda Italia selama lockdown.
Pada 4 Mei pabrik mulai melakukan produksi seperti biasa. Dua minggu kemudian, 18 Mei, Conte memperbolehkan pertokoan mulai buka termasuk juga restoran. Seminggu berikutnya, giliran kolam renang, pusat olahraga, dan sarana kebugaran untuk publik yang boleh beraktivitas. Bioskop dan aktivitas kesenian lain seperti teater juga beroperasi lagi mulai 15 Juni.
Sedangkan untuk larangan keluar rumah, Conte justru memperbolehkan warga bepergian antar provinsi Italia mulai tanggal 3 Juni. Pemeriksaan kesehatan tetap dilakukan, tetapi warga dari negara Eropa lain dipersilakan masuk ke Italia tanpa harus menunggu 2 minggu untuk karantina terlebih dahulu.
Australia melakukan tiga tahap pelonggaran lockdown. Pertama, rumah makan dan kafe buka, tapi tidak diperbolehkan untuk makan di tempat. Pembeli dibatasi maksimal dalam satu waktu. Jika tidak ada penambahan pasien positif secara masif, maka tahap kedua akan dilakukan. Pemerintah Australia memperbolehkan aktivitas di tempat gim, bioskop, tempat pameran seperti galeri seni. Ada batasan 20 orang dalam satu kali kunjungan.
Pada tahap kedua, sejumlah daerah boleh membuka pintu kepada pelancong ataupun mereka yang ingin ke luar kota. Tahap ketiga memperbolehkan orang berkumpul sampai dengan 100. Penerbangan internasional diperbolehkan, tetapi mereka yang masuk akan menjalani karantina 2 minggu.
Kendati dua negara tersebut berhasil meredam penyebaran corona, tetapi pemerintah mereka masih belum cukup yakin untuk menerapkan kenormalan baru seutuhnya. Setidaknya, kedua negara tersebut telah melewati masa puncak penyebaran kasus corona.
Sementara Indonesia, hingga akhir Juni, masih mencatat banyaknya kasus positif corona. Sampai saat itu puncak corona masih belum lewat. Penyebaran ini malah meluas ke daerah lain. Jika sebelumnya sebaran paling banyak corona ada di DKI Jakarta, Jawa Timur lalu menjadi daerah penularan terbanyak.
Tidak Konsisten
"Keuntungan pertama adalah adanya norma sosial baru yang menjaga Indonesia dari ancaman pandemi COVID-19. Keuntungan kedua adalah keberlanjutan hidup agar bangsa Indonesia tidak terpuruk pada masalah baru sebagai dampak wabah seperti masalah krisis ekonomi, ketahanan pangan dan pendidikan anak-anak bangsa," kata Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rahman, dalam keterangan tertulis, Rabu (27/5/2020)
Pernyataan Fadjroel di atas menyiratkan bahwa alih-alih mengutamakan masalah kesehatan, pemerintah mendahulukan penyelesaian perkara ekonomi. Ini justru berlawanan dengan semangat pemerintah yang sebelumnya meluncurkan berbagai program bantuan ekonomi.
Pertama, pemerintah menelurkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp600.000 untuk masyarakat desa. Kedua, pemerintah memberikan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) uang Program Keluarga Harapan (PKH) yang terdiri antara Rp75.000-Rp250.000 setiap bulan. Ada juga pemberian bantuan sembako sebesar Rp200 ribu untuk enam bulan. Total ada sekitar Rp405 triliun bantuan pemerintah untuk sektor ekonomi, bukan kesehatan.
Jokowi juga mengambil kebijakan yang terkesan tidak tegas. Dalam wawancara dengan Najwa Shihab, misalnya, dia menyebutkan mudik dan pulang kampung berbeda. Mereka yang pulang kampung tidak dilarang, tetapi mudik tidak diperbolehkan.
Otomatis, masih banyak orang-orang yang mencoba untuk kembali ke kampung halamannya. Setidaknya ada 52.076 kendaraan yang terpaksa memutar balik karena kerancuan ini. Belum selesai masalah banyaknya orang yang tetap keluar rumah, bahkan keluar kota, pada 12 Mei 2020, Jokowi kemudian memunculkan wacana pelonggaran PSBB.
“Mengenai pelonggaran untuk PSBB agar dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa, semuanya didasarkan data-data lapangan, pelaksanaan lapangan, sehingga keputusan itu betul-betul sebuah keputusan yang benar," kata Jokowi saat memimpin rapat kabinet lewat konferensi video pada 12 Mei 2020.
Seakan-akan menggenapi argumennya untuk hidup berdamai dengan corona, Jokowi kemudian memutuskan Indonesia akan memasuki era kenormalan baru. Wacana ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 18 Mei 2020. Dia menegaskan, Jokowi meminta masyarakat siap terhadap normal baru, kendati saat itu kurva penyebaran corona belum menurun, bahkan merata.
Bagi sebagian orang, wacana pemerintah memberlakukan normal baru itu tak lebih dari kebimbangan memilih antara nyawa dengan ekonomi negara. Pemerintah tampaknya lebih memilih menyelamatkan ekonomi, membawa Indonesia menuju kemungkinan herd immunity atau kekebalan kelompok.
"Pemerintah hanya mendengarkan sekelompok orang dari pihak bisnis. Pemerintah terburu-buru jika aturan itu dikeluarkan dalam waktu cepat," kata Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, seperti dilansir BBC.
- Pemerintah Lebih Prioritaskan Ekonomi, tapi Malu-Malu Mengakuinya
- "Hantu" PKI yang Terus Menakuti & Tak Kunjung Hilang di Era Jokowi
- Gara-Gara POP, Nadiem Makarim Diprotes NU dan Muhammadiyah
- Buruk UU, Demonstran Dibelah: Tuduhan Hoaks untuk Pemrotes Ciptaker
- Kekerasan Polisi yang Terus Berlanjut Akibat Lemahnya Pengawasan
==========
Redaksi Tirto menayangkan Kaleidoskop Politik sebagai ulasan dan analisis atas peristiwa-peristiwa sosial-politik penting sepanjang 2020. Sajian khusus ini diampu oleh penulis politik Felix Nathaniel.
Editor: Ivan Aulia Ahsan