tirto.id - Sebagian orang mungkin masih terlelap ketika John memulai harinya di tepian Laut Aru. Ia sebenarnya juga menahan berat kelopak mata yang tampaknya masih terikat pakta dengan kasur. Namun, sebagai bujangan, dia cukup tahu diri tak akan bisa makan jika tidak pergi berlayar pagi itu.
Maka demikianlah hari John dimulai, dengan modal beberapa seruput kopi dan makanan sisa semalam.
Di depan rumah yang berada di bibir pantai, John sudah membayangkan perjalanan panjang selama dua jam menuju selatan Laut Aru. Ini adalah titik langganan tangkapannya selama 30 tahun menggeluti kehidupan sebagai nelayan.
Dengan sigap, pria bermarga Jamanmona, kelahiran Kota Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, mengangkut enam jeriken bensin ke kapalnya. Tak kurang 35 liter bahan bakar dibutuhkan untuk memenuhi mesin tempel kesayangan sebesar 15 PK hari itu. Jeriken sudah dia siapkan malam sebelumnya dengan membeli ke pengecer.
Jika ditotal, kira-kira biaya John sekali melaut mencapai Rp400 ribu.
“Susah, bang, susah. Minyak sudah mahal semua. Dan kami ribet mengurusnya, jadi kami harus beli ke pengecer,” kata John kepada Tirto, Kamis 10 November lalu. Yang dia maksud ribet adalah statusnya yang bukan nelayan terdaftar. Ia juga tidak bisa membeli bensin jenis Pertalite dalam jumlah masif.
Bila kondisi bagus, John berangkat subuh dan pulang siang atau sore. Setelah itu dia akan membawa hasil tangkapan ke Pasar Jargaria--paling besar di Dobo. Ketika itu dia menargetkan bisa mendapat ikan pelagis hingga tenggiri. “Agustus-November biasa kategori pelagis banyak. Ada jenis pelagis besar, kemudian ikan bubara, kuwe, dan tenggiri.”
Kapal jenis long boat miliknya memang mampu menampung 500 hingga 700 kilogram ikan dengan alat tangkap jaring dan pancing tonda. Tapi berharap terisi semua terlalu muluk. Dia lebih sering mendapat ikan seberat puluhan kilo saja. John berharap sepahit-pahitnya dia bisa membawa pulang ikan yang jika dijual setidaknya mampu menutup biaya beli minyak.
Bila ikan sedang bersahabat, penghasilan tertingginya Rp2 juta. Tapi, jika apes, “hanya untuk ganti minyak saja belum tentu cukup.”
Situasi kian sulit saat ini karena ikan sepertinya mulai berkurang di daerah tangkapan. Indikasinya adalah pencarian yang kian jauh dan memakan waktu lama. Dia harus berputar-putar ke beberapa tempat untuk bisa mencapai jumlah tangkapan yang mengenyangkan perut.
Area perburuan John disebut Wilayah Penangkapan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 718. Ia meliputi berbagai perairan luas yang terdiri dari Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur. WPP 718 berbatasan dengan tiga negara yakni Timor Leste, Australia, dan Papua Nugini.
Apa yang dialami John juga dirasakan nelayan lain. Mereka kesulitan memenuhi target yang diinginkan.
Bahkan, demi memenuhi target, kadang para nelayan melaut melewati batas negara. Dan itu menjadi masalah. Agustus lalu, seorang nelayan asal Merauke bernama Sugeng menjadi korban tentara di perbatasan Papua Nugini.
Apa penyebabnya? WPP 718 adalah salah satu daerah perikanan yang paling subur. Setiap hari kapal-kapal selalu berseliweran. Masalahnya adalah ada yang besar dan kecil. Ada yang punya peralatan canggih dan ada yang seadanya. Dan berlakulah hukum rimba: yang lemahlah yang kalah.
John merasa kapal besar yang beroperasi di WPP 718 sudah terlalu banyak. Mereka bersaing dengan kapal-kapal seperti ini, yang banyak berasal dari Jawa dan Bali.
“Kami khawatir karena memang itu tempat mencari nafkah untuk menghidupi keluarga[...] Itu menjadi ancaman. Serius itu,” ungkapnya.
Bahkan masalahnya tak hanya ada di laut, melainkan juga di tempat penjualan hasil tangkapan. Karena kapal-kapal besar menangkap ikan jauh lebih banyak, maka pasokan ke pasar di Dobo membeludak dan mengurangi nilai jual.
“Ikan di pasar yang sudah banyak, harga jadi turun. Jadi yang berisiko nelayan,” jelas John. “Sudah untung tak seberapa, lalu aktivitas kapal yang makin banyak ini mempersempit akses dan daerah operasi.”
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah awalnya hendak menetapkan kebijakan yang disebut dengan penangkapan ikan terukur. Tentu salah satu yang diatur adalah WPP 718. Aturan ini secara garis besar dibuat agar orang-orang tidak lagi menangkap ikan, udang, cumi-cumi, dan lainnya tanpa jeda.
Pemerintah menetapkan kuota, misalnya 100 ribu ton dalam setahun untuk satu kapal. Jika sudah mencapai target, maka tidak boleh lagi berlayar.
Kemudian ada pengaturan jenis alat tangkap--sampai sekarang pukat tetap dilarang, waktu penangkapan, serta pengaturan pelabuhan tempat pendaratan.
Zona penangkapan juga dipisah menjadi tiga, mulai dari zona industri, zona nelayan lokal, dan zona pengembangbiakan ikan. Untuk nelayan lokal atau pesisir, mereka biasanya hanya menangkap maksimal 12 mil dari daratan, sementara kapal besar atau untuk industri di atas itu.
Tapi sistem kuota dinilai tidak menguntungkan nelayan kecil. “Perusahaan diberi kuota[...] yang ada malah tangkapan berlebih karena ada sistem kuota itu. Bukan melihat kapasitas potensi,” keluh John.
Penangkapan ikan terukur sampai sekarang masih dalam tahapan uji coba. Ada tiga Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang jadi contoh, yakni PPN Tual, Cirebon, dan Ternate.
Tiga pelabuhan itu dilengkapi dengan alat-alat yang mempermudah proses pendataan ikan tangkapan, termasuk yang paling penting adalah timbangan elektronik terintegrasi sistem. Nantinya, timbangan berkapasitas 500 kg ini akan langsung mencatat data ikan tangkapan dan memasukkannya ke pusat data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)--sehingga terekam secara tepat.
Dengan sistem perikanan terukur, kapal hanya boleh menunjuk satu pelabuhan sebagai tempat pencatatan sehingga data tangkapan ikan tidak tumpang tindih dan meleset.
Selama ini, disinyalir ada ikan-ikan hasil tangkapan yang tidak terdata karena buruknya pencatatan. Selain karena kapal-kapal bisa menjual ikan ke beberapa tempat secara bebas, diduga masih ada saja orang-orang yang memang sengaja mengakali hasil tangkapan yang dilaporkan kepada syahbandar dengan cara, misalnya, alih muatan (transshipment).
Alarm Hilangnya Potensi Laut
“Seperti pasar malam,” demikian John menggambarkan situasi di Laut Arafura pada malam hari karena banyaknya kapal yang mencari cumi-cumi.
Luas perairan WPP 718 mencapai 48 juta hektare (ha). Ratusan ribu ton produk perikanan diangkut dari daerah ini per tahun. Namun ada tren penurunan jumlah produksi, menurut data KKP. Tahun 2016, misalnya, produksi ikan mencapai 275.018 ton, tapi di tahun berikutnya anjlok menjadi 153.901 ton.
Situasinya kontras dengan tren produksi perikanan di Indonesia. Tahun 2016 Indonesia mencatat produksi 22,58 juta ton, dan di tahun 2017 angkanya melonjak jadi 23,19 juta ton.
Salah satu dugaan mengapa hal tersebut dapat terjadi adalah kebijakan penenggelaman kapal asing. Tahun 2017 memang merupakan masa-masa Menteri KKP Susi Pudjiastuti gemar melakukan itu. Sampai medio 2017, ada 317 kapal yang harus jadi buih dari total 558 yang ditenggelamkan susi semasa menjabat. Faktor lain tentu terkait kondisi panen ikan.
Di tahun 2018, angka produksi memang kembali naik jadi 283.411 ton. Namun tren belum juga membaik. Tahun 2019 produksi menjadi 218.168. Kenaikan di tahun 2020 juga belum signifikan. Tahun 2021 hanya seberat 242 ribu ton.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB) dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di WPPNRI (PDF) mencatat jumlah-jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Cumi-cumi, misalnya, ditetapkan 7.370 ton; rajungan 620 ton; lobster 1.187 ton; kepiting 1.498 ton; dan udang 62.842 ton.
Realisasinya, masih berdasarkan sumber data KKP, tangkapan cumi-cumi di WPP 718 sebanyak 13.703 ton pada tahun 2019; rajungan 239 ton; lobster 1.844 ton; kepiting 3.471; dan udang 1.071. Berdasarkan catatan ini, kapal-kapal perikanan di WPP 718 sebenarnya telah mengeksploitasi lebih dari yang diperbolehkan--setidaknya cumi-cumi, kepiting, dan lobster.
Pada tahun 2020, produksi cumi-cumi di WPP 718 berkurang, tapi masih lebih dari jumlah yang layak, yakni 12.053 ton; kemudian rajungan 123 ton; lobster 5.040 ton; kepiting 322 ton; dan udang 9.783 ton. Tahun 2021, hasilnya masih serupa, cumi-cumi bahkan hampir menembus produksi dua kali lipat dengan capaian 22.110 ton; sedangkan rajungan ambruk jadi 1,3 ton; lobster 3.587 ton; kepiting 417 ton; serta udang 9.321 ton.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun belakangan, produksi kepiting tidak melebihi jumlah yang ditentukan.
Secara garis besar dalam aturan soal perkiraan estimasi sumber daya alam yang berubah-ubah, yang menjadi sorotan adalah kemungkinan perubahan angka tingkat pemanfaatan masing-masing spesies. Pada tahun 2017, misalnya, tingkat pemanfaatan cumi-cumi di angka 1,28. Dalam tahapan ini, sumber daya tersebut sudah termasuk kategori over-exploited alias terlalu banyak ditangkap--dan penangkapannya harus dikurangi.
Dengan aturan baru tahun 2022, tingkat pemanfaatan ini masih belum berubah. Cumi-cumi berada di zona merah dengan tingkat pemanfaatan 1,28, sedangkan lobster sebesar 0,86; kepiting 0,85; dan rajungan 0,77. Seluruhnya masuk dalam kategori kuning alias “upaya penangkapan dipertahankan dengan monitor ketat”. Tapi nyatanya sampai sekarang angkanya belum menurun secara teratur.
Didimus Kirwelakubun, nelayan asal Tual yang tahun ini menginjak umur ke 46 dan sejak usia 10 sudah membiasakan untuk pergi melaut, mengatakan kapal-kapal besarlah yang sering kali menangkap ikan dalam jumlah berlebihan.
“Mereka, kapal-kapal itu, biasa menangkap telur ikan sehingga memengaruhi perkembangan ikan. Kemudian juga ada kapal-kapal yang menangkap di dekat pulau, padahal seharusnya mereka menangkap di daerah yang lebih jauh,” kata Didi.
Didi yang pada 1990-an berlanglang buana dari Tual untuk menjadi anak buah kapal (ABK) besar juga mengatakan meski sering kali ada pelanggaran, kapal-kapal ini kerap lolos dari pantauan pemerintah. Bagi Didi, sampai sekarang “pengawasan itu memang masih kurang, terutama yang dari kapal luar negeri.”
Selain spesies di atas, kakap merah dan ikan barramundi (kakap putih) juga termasuk dalam kategori ikan yang harus mulai diperhatikan jumlah penangkapannya, kata Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku dalam diskusi yang digelar pada akhir Oktober 2022.
Di wilayah Kepulauan Aru, sebanyak 3.205 ton kakap merah jenis Etelis coruscans dan Lutjanus bitaeniatus berhasil diproduksi tahun 2019. Angkanya lalu menurun pesat di tahun 2020 menjadi 847 ton, baru naik lagi jadi 1.307 tahun 2021. Tapi tentu kenaikan ini belum menutup penurunan yang sangat jauh dari tahun 2019.
Ikan barramundi (Lates calcarifer) lebih tragis lagi nasibnya. Nelayan panen di tahun 2019 dengan tangkapan 783 ton, kemudian turun jadi 259 ton, dan terakhir di 2021 hanya meningkat jadi 282 ton. Hanya spesies udang yang masih cenderung stabil dengan jumlah tangkapan kira-kira 4 ribu ton per tahun.
Kakap putih sebenarnya adalah buruan; cukup jadi primadona. Bagi para nelayan, kakap putih senilai emas karena mereka punya gelembung renang yang biasa dikenal dengan nama fish maw. Harganya bisa mencapai Rp1 juta/kg. Meski jauh di atas harga gelembung renang ikan gulama yang bisa menyentuh angka Rp20 juta/kg, tapi tetap saja angka itu cukup menggiurkan.
Di PPN Tual yang jadi percontohan penangkapan perikanan terukur WPP 718, volume produksi ikan yang tercatat juga mengalami tren penurunan. Tahun 2017, produksi ikan memang rendah: di angka 465 ton. Tapi tahun 2018 membengkak jadi 4.835 ton. Di tahun 2019, angkanya anjlok lagi jadi 1.641 ton dan naik menjadi 2.153 ton tahun 2020. Setahun kemudian terjadi penurunan lagi menjadi 1.803 ton. Sampai Agustus 2022, jumlah yang dilaporkan ke PPN Tual hanya 1.005 ton.
Dari tren sebelum-sebelumnya, bisa diperkirakan angka ini tak akan mengejar pencapaian di tahun 2018.
Kepala PPN Tual Silvinus M. C. Jaftoran mengaku penurunan angka produksi ini. Meski tak menyebut secara rinci, penangkapan kepiting dan cumi-cumi sudah masuk kategori eksploitasi berlebih dan menyebabkan angka catch per unit effort (CPUE) yang dijadikan patokan produktivitas hasil perikanan “cenderung menurun tiap tahun.”
Namun, ketika ditanyakan soal penyebab turunnya angka CPUE ini, Silvinus tidak mau memberikan keterangan lebih lanjut. “Tidak usah kau bahas itu,” kata Silvinus ketika ditemui reporter Tirto hari Rabu (26/10/2022) di Hotel Grand Villia, Maluku Tenggara.
(Bersambung...)
==========
Liputan ini merupakan fellowship hasil workshop "Sustainable Management of Marine & Coastal Ecosystems in the ATS Region" yang diselenggarakan Program Arafura & Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA) dan Aliansi Jurnalis Independen.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino