Menuju konten utama
Pemilu Amerika Serikat

Nasib Sekutu Asia Timur di Tangan Trump dan Biden

Apa prediksi ahli tentang hubungan luar negeri AS jika Trump terpilih kembali? Apa kata mereka soal Biden jika menang pilpres?

Nasib Sekutu Asia Timur di Tangan Trump dan Biden
Presiden Donald Trump dan calon presiden dari Partai Demokrat, mantan Wakil Presiden Joe Biden berpartisipasi dalam debat presiden pertama pada Selasa, 29 September 2020, di Case Western University dan Cleveland Clinic, di Cleveland. (Olivier Douliery / Pool via AP)

tirto.id - Pemilu Presiden Amerika Serikat sudah dekat. Masa depan petahana Donald Trump di Gedung Putih akan ditentukan dalam pekan depan. Sejauh ini berbagai jajak pendapat nasional menunjukkan Biden unggul di atas 50 persen, sementara Trump di kisaran tak lebih dari 45 persen. Meski begitu, kepopuleran mantan wakil presiden AS era Barack Obama dalam jajak pendapat nasional belum menggaransi kemenangannya dalam pilpres. Pasalnya, presiden AS terpilih berdasarkan electoral college, bukan popular vote.

Selama masa kampanye dan sesi debat terbuka, Trump masih menggambarkan dirinya sebagai orang luar (outsider) sebagaimana seperti empat tahun lalu. Ia berulangkali mengatakan dirinya bukan dari kalangan politisi. Sementara itu, Biden menyebut Trump "pemimpin tidak kompeten" dari sebuah negara yang menghadapi banyak krisis.

Tidak hanya isu-isu nasional yang menjadi sorotan publik. Seluruh dunia saat ini memperkirakan nasib negara-negara sekutu AS jika salah satunya terpilih.

Selama hampir 70 tahun belakangan, AS membangun jaringan aliansi besar yang belum pernah terjadi sebelumnya guna membendung pengaruh Uni Soviet. Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), misalnya, didirikan bersama 11 negara yang terletak di Eropa dan Amerika Utara. Washington juga menciptakan aliansi pertahanan dan mendirikan pangkalan-pangkalan militer lokal untuk memperluas cakupan politik anti-komunis di Asia Timur. Aliansi ini juga memungkinkan negara anggota mendapat perlindungan apabila diserang lawan seperti Korea Utara, Cina, dan Uni Soviet.

Strategi imperium Washington ini cukup berhasil. Perang Dunia Ketiga yang ditakutkan selama Perang Dingin tak pernah terjadi. AS bahkan memenangkan Perang Dingin pada 1991, ketika Uni Soviet runtuh. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, hubungan AS dan para sekutu lawas tampak merenggang dan dipertanyakan relevansinya. Di bawah pemerintahan Trump, kerenggangan AS dengan sekutu tak lagi ditutup-tutupi. Beberapa kepala pemerintahan bahkan mendorong negerinya untuk lebih mandiri dalam urusan pertahanan.

Dalam kebijakan perang dagang, misalnya, Trump menjadikan Uni Eropa momok kedua setelah Cina. Dalam bidang pertahanan, Trump mempertanyakan komitmen negara-negara NATO. John Bolton, mantan penasihat keamanan nasional bahkan memprediksi AS mungkin akan mundur dari NATO jika Trump terpilih kembali. Pada awal pemerintahannya, Trump mengumumkan negaranya menarik diri dari Trans-Pacific Partnership (TPP), kesepakatan nuklir Iran, Perjanjian Iklim Paris dan banyak lagi.

Jajak pendapat di 13 negara yang dilakukan Pew Research Center pada September 2020 menunjukkan bahwa reputasi Amerika di negara-negara sekutu terus menurun selama setahun terakhir. Dua dari tiga orang Eropa punya pandangan negatif terhadap Washington. Di Jerman, para pemilih muda bahkan lebih ingin melihat negaranya menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Cina ketimbang AS.

Menurut Ash Jain (analis kebijakan internasional AS) dan Barry Pavel (direktur Scowcroft Center for Strategy and Security) dalam analisis untuk Atlantic Council, jika Trump menang, kebijakan luar negeri AS akan terus menjauhkan Washington dari sekutu-sekutu tradisionalnya. Di sisi lain, keputusan Trump selama periode kedua sangat sulit diprediksi.

“Pandangan pribadi Presiden Trump tentang peran global AS tak konsisten dan sering bertentangan dengan pejabat seniornya sendiri. Banyak dari mereka berusaha mengejar kebijakan luar negeri AS yang lebih tradisional” tulisnya.

Lebih lanjut, keduanya menawarkan dua skenario kebijakan luar negeri yang terjadi apabila Trump kembali terpilih. Pertama, Trump akan mempertahankan kebijakan “America First”. Artinya, AS akan bertindak secara unilateral tanpa melibatkan pertimbangan sekutu. Trump, misalnya, akan terus keras terhadap Cina dan mengumbar gagasan tentang pentingnya keamanan nasional. Kecenderungan Trump untuk menjalin hubungan dengan para otokrat global seperti Putin, Kim Jong-Un hingga Erdogan juga akan berlanjut.

Kedua, Trump akan sangat percaya diri dengan hasil kemenangannya dan bakal mengambil langkah-langkah berani seperti menarik diri dari keanggotaan NATO, mengakhiri komitmen perjanjian pertahanan dengan Korea Selatan, Jepang dan Australia, serta mengurangi kehadiran militer AS di luar negeri.

Sementara AS dan sekutu Eropa makin menjauh, Trump akan berpaling ke Asia dan memperkuat hubungan melalui Indo-Pacific Quad--yang terdiri Jepang, Australia, India, dan Amerika Serikat--untuk menghalau pengaruh Beijing. James Crabtree, dosen di Lee Kuan Yew School of Public Policy dalam analisisnya untuk Foreign Policy menuturkan, para pejabat di Tokyo, Taipei, New Delhi, Singapura, dan lain sebagainya justru sudah relatif nyaman dengan pendekatan keras Trump ke Cina selama ini. Sebaliknya, prospek Biden menang pemilu mengingatkan banyak pemimpin Asia akan periode pemerintahan Obama yang mereka anggap lunak terhadap Beijing.

Namun, bila dilihat lebih seksama, sikap Trump memang tidak pernah konsisten. Seperti yang dikemukakan pemred Freedom Gazzete Mohamed Zeeshan di kolomnya di South China Morning Post, komitmen Trump terhadap negara-negara sekutu--khususnya di Asia Timur--tak bisa diandalkan. Pasalnya, Trump kerap mengeluh anggaran besar yang dikeluarkan AS untuk membiayai operasional pasukan di Asia Timur. Bagi pemimpin negara seperti Korea Selatan dan Jepang, keluhan Trump berarti mengecilkan kekhawatiran mereka atas uji coba rudal Korea Utara.

Infografik Nasib Sekutu AS Setelah Pemilu 2020

Infografik Nasib Sekutu AS Setelah Pemilu 2020. tirto.id/Quita

Biden Ingin Kembali

Joe Biden dikenal sebagai politisi AS veteran dalam urusan kebijakan luar negeri. Saat menjadi wakil presiden, Biden berpengaruh besar dalam membentuk kebijakan luar negeri pemerintahan Obama, dari diplomasi dan aliansi, perdagangan dan ekonomi global, hingga pertahanan dan penggunaan kekuatan militer.

Jajak pendapat YouGov pada pertengahan Oktober lalu menunjukkan mayoritas warga Eropa barat sangat berharap Biden memenangkan pemilu. Baik Demokrat maupun Biden berjanji untuk membatalkan banyak keputusan yang telah dibuat Trump, termasuk untuk menormalisasikan hubungan Washington dengan sekutu-sekutu lama.

Biden adalah pendukung aliansi translantik (AS-Uni Eropa). Ia diprediksi akan meyakinkan NATO dan bergabung kembali dengan Perjanjian Paris dan memperbaiki hubungan dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ia kemungkinan akan bekerja dengan E3 (Jerman, Prancis dan Inggris) untuk menyelesaikan kesepakatan nuklir dengan Iran yang dirusak oleh Trump. Kebijakan Biden juga diprediksi akan membangun kembali sumber-sumber energi baru di dalam negeri, termasuk mengalokasikan investasi ke proyek-proyek infrastruktur dan inovasi teknologi untuk memperkuat posisinya di mata global.

Beberapa pejabat Uni Eropa berharap kemenangan Biden bisa memulihkan hubungan AS-Eropa. Para analis termasuk Jain dan Pavel memperkirakan, pemerintahan Biden bakal menegaskan komitmen terhadap aliansi dan unilateralisme, tetapi akan mengambil sikap yang kurang aktif di urusan global karena fokus pada masalah domestik. Pasalnya, Biden akan merasa dibatasi oleh kurangnya dukungan publik, khususnya setelah sayap progresif di tubuh Demokrat--yang belakangan menguat--duduk di kongres. Biden diprediksi juga akan menolak memperkuat NATO lebih jauh dan menarik banyak pasukan militer AS di luar negeri.

“Keharusan untuk fokus pada tantangan domestik, dari pandemi, relasi antar-ras, hingga ketimpangan ekonomi, dapat mendorong Biden untuk fokus ke dalam negeri terutama pada awal masa kepresidenannya,” tulis Jain dan Pavel.

Di Asia, Biden diperkirakan akan berupaya memperkuat hubungan dengan sekutu lama termasuk Korea Selatan, Jepang, dan Australia, dan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan negara berkembang seperti India dan Indonesia. Untuk relasi dengan Cina, Biden diperkirakan tak banyak berbeda dengan Trump. Ia mengkhawatirkan kekuatan Cina yang menurutnya “akan terus merampok teknologi dan kekayaan intelektual AS”. Bedanya dengan Trump, Biden diprediksi akan memakai pendekatan lunak dalam urusan Cina. Menurut Benjamin H. Friedman, direktur kebijakan di lembaga think-tank Defense Priorities, Biden akan memakai isu-isu pelanggaran HAM di Cina.

Para pemimpin Cina berharap Washington bisa meredakan konfik terkait perdagangan, teknologi, dan keamanan jika Biden menang. Masalahnya, hubungan AS-Cina telah jatuh ke level terendah dalam beberapa dekade di tengah serangkaian konflik terkait pandemi virus corona, teknologi, perdagangan, keamanan, dan aktivitas spionase. Kalangan legislatif baik dari Republikan maupun Demokrat tampaknya sudah enggan mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Cina.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS 2020 atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf