tirto.id - Sejumlah orang yang pernah bekerja di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) membuat pengakuan yang cukup mencengangkan. Mereka mengaku belum mendapat bayaran sepeser pun dari badan nonstruktural pemerintah yang berdiri sejak Juni 2017 itu.
Salah satunya adalah Zuly Qodir, tenaga ahli yang bekerja di BPIP sejak badan itu masih bernama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP). Ia bekerja sejak Juni 2017 dan keluar dari BPIP pada 4 Juli 2018.
Padahal, bila merujuk pada Peraturan Presiden (PP) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP, tenaga ahli utama seperti Zuly harusnya mendapat gaji Rp36,5 juta per bulan, sedangkan tenaga ahli muda Rp19,5 juta per bulan.
"Sampai sekarang belum keluar-keluar. Obrolannya [ketika ditanya masalah pendapatan] 'sabar dan ikhlas. Tunggu saja nanti juga keluar. Sedang proses' begitu katanya," kata Zuly kepada Tirto, Selasa (24/7/2018).
Jawaban dari sekretariat BPIP yang membuatnya diminta sabar dan ikhlas membuat Zuly bingung. Ia tak tahu apa masalah yang membuat ia tak juga mendapat gaji. Ia hanya menduga karena pendapatannya lama karena proses birokrasi yang berbelit.
Meski telah keluar dari instansi tersebut, Zuly tentu tetap berhak mendapat upah. Ia berharap bakal segera mendapatkannya dalam waktu dekat. Menurutnya gaji dan tunjangan bisa dibayar setelah Perpres 42/2018 terbit.
"Semoga saja tidak berbelit-belit karena menurut Kementerian Keuangan seharusnya hak keuangan tenaga ahli dapat segera dibayarkan," kata Zuly.
Apa yang dikatakan Zuly tentu kontradiktif dengan kabar yang ramai beberapa waktu lalu. Pejabat elite seperti Megawati Soekarnoputri yang ditugaskan sebagai Ketua Dewan Pengarah bakal dibayar hingga Rp112 juta per bulan. Gaji ini dianggap terlalu besar bagi sebagian pihak—headlineRadar Bogor pada akhir Mei lalu malah menyindir dengan pedas: "Ongkang-Ongkang Kaki dapat Rp112 Juta."
Zuly tetap membuka kemungkinan kembali ke badan itu suatu saat meski sudah memutuskan mundur dari posisinya sebagai tenaga ahli di BPIP. Namun itu semua tetap tergantung pada kondisi kepastian kesejahteraan sebagai pegawai di BPIP.
Zastrouw Al-Ngatawi, tenaga ahli di BPIP yang sudah bekerja sejak Juli 2017, juga mengalami hal yang sama. Haknya juga belum dibayar hingga kini. Eks Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU itu menyebut hal yang sebetulnya sudah jadi rahasia umum: gaji yang tidak turun membuat kinerja para tenaga ahli terganggu.
Ia mengatakan banyak di antara rekan-rekannya mengandalkan uang dari sana untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Oleh karena tak dapat uang, yang terjadi adalah banyak yang mencari pekerjaan sampingan dan akhirnya mengorbankan waktu untuk pekerjaan utama. Untuk makan dan kebutuhan lain, ia mengandalkan pendapatan dari mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia.
Zastrouw juga menyebut banyak terbantu dengan usaha event organizer yang dimiliki istrinya. Selain itu, pendapatannya dari undangan mengisi ceramah juga digunakan untuk hidup selama setahun terakhir.
Terganjal Syarat Administratif
Kepala Sekretariat BPIP Beben Hurmansyah membenarkan ihwal tak ada sepeser pun uang ditransfer ke rekening orang-orang seperti Zuly dan Zastrouw. Menurutnya dana masih diproses di Kementerian Keuangan.
"Memang belum. Akan dibayar sekaligus, mungkin. Pembayaran tergantung di sananya, proses di Kementerian Keuangan," tutur Beben kepada Tirto.
Menurut Wakil Ketua BPIP Hariyono, lambannya pencairan dana adalah karena ada persoalan teknis-administratif. Tenaga ahli, misalnya, harus memberikan beberapa dokumen ke Sekretariat Kabinet seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan keterangan pendapatan selama ini jika mereka berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Saat ini syarat administratif itu sudah diberikan dari Sekretariat Kabinet (Setkab) ke Kemenkeu untuk diverifikasi. Setelah verifikasi dilakukan Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu, pembayaran baru bisa dilakukan.
"Harapan kami akhir bulan ini atau awal Agustus kalau semuanya berjalan lancar ya bisa selesai [pembayarannya]," tutur Hariyono.
Hariyoni tidak mengeksplisitkan apakah masalah teknis seperti itu mungkin membuat dana tak cair-cair bahkan lebih dari 12 bulan. Namun ia menegaskan satu-satunya persoalan yang terjadi memang terkait administrasi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani tidak merespons permintaan wawancara atau pesan singkat yang Tirto kirim.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino