tirto.id - Guru besar Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI), Basaruddin, menyebutkan, pemerintah tetap bertanggung jawab dalam menjamin mutu pendidikan tinggi meski ada Lembaga Akreditas Mandiri (LAM). Basaruddin mengatakan, kebijakan standar dan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi telah ditetapkan dalam peraturan menteri.
“Selain itu, kinerja LAM dievaluasi oleh BAN-PT [Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi] dan hasilnya akan disampaikan kepada menteri,” ucapnya sebagai ahli pihak Presiden/pemerintah dalam sidang perkara nomor 60/PUU-XXIII/2025 terkait pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).
Ia menyatakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 pun mengatur soal biaya akreditasi untuk memperoleh status terakrediasti baik oleh LAM serta BAN-PT ditanggung pemerintah.
Sementara itu, Basaruddin melanjutkan, perguruan tinggi harus menanggung biaya sendiri untuk mendapatkan status akreditasi unggul. Ia berujar, model akreditasi yang dikembangkan LAM sejalan dengan praktik internasional.
Hal itu dibuktikan dengan sejumlah LAM yang mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional. Kata Basaruddin, pengakuan terhadap LAM bakal meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lulusan program studi yang terakreditasi lembaga itu.
“Pelibatan masyarakat atau sektor privat dalam penyelenggaraan akreditasi juga merupakan praktik yang lazim ditemukan di hampir semua negara,” tuturnya.
Ia membandingkan, biaya proses akreditasi dibebankan kepada perguruan tinggi di negara lain, meski pelaksanaan akreditasi dilakukan lembaga pemerintah. Misalnya, Malaysia dan Taiwan.
Untuk diketahui, perkara nomor 60 dilayangkan oleh Dahliana Hasan, Ferry Fathurokhman, Aan Eko Widiarto, Ali Masyhar Mursyid, Retno Saraswati, Ferdi, Suherman, Imam Budi Santoso, Simplexius Asa, Parulian Paidi Aritonang, Endrianto Bayu Setiawan, Iren Sudarya, serta Ahmad Reihan Thoriq.
Dalam permohonan mereka, para pemohon merasa berkeberatan dengan proses akreditasi oleh LAM. Sebab, akreditasi oleh LAM tidak ditanggung pemerintah. Pemohon lantas meminta akreditasi hanya perlu dilakukan oleh BAN-PT.
Berikut merupakan petitum pemohon perkara nomor 60:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan ini untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah.”
3. Menyatakan Pasal 55 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Akreditasi Program Studi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi”.
4. Menyatakan Pasal 55 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5. Menyatakan frasa “lembaga akreditasi mandiri” dalam Pasal 55 ayat (8) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri”.
6. Memerintahkan untuk memuat Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































