tirto.id - Thomas Jefferson--salah satu bapak bangsa Amerika Serikat--pernah berkata bahwa ia menunggu kejatuhan Imperium Spanyol sembari bersiap mengambil keuntungan sedikit demi sedikit. Salah satu upayanya adalah menduduki wilayah-wilayah yang sempat ditaklukkan oleh armada militer Spanyol.
Hal ini baru terwujud ketika Amerika Serikat sukses membungkam kekuatan Spanyol melalui jalur negosiasi, setelah sempat menyatakan perang terbuka pada 1898. Syahdan, beberapa koloni Spanyol pun jatuh ke tangan AS. Dalam peristiwa itu, ada dua koloni penting yang memicu kontroversi, yakni Kuba dan Filipina. Pemerintah AS buru-buru menyatakan bahwa Kuba tidak akan diduduki begitu saja. Akan tetapi, terhadap Filipina sikap mereka jauh berbeda.
Filipina adalah negara kepulauan. Pada abad ke-16, Ferdinand Magellan, penjelajah laut asal Portugis datang dan mengklaim kepulauan Filipina sebagai bagian dari Kerajaan Portugis. Namun ratusan tahun kemudian Filipina jatuh ke tangan Imperium Spanyol.
Sebelum 1898, kelompok revolusioner Filipina telah aktif memberontak menuntut kemerdekaan dari Spanyol. Maka itu, ketika AS menyatakan perang terhadap Spanyol, banyak dari mereka yang menganggap AS akan membantu perjuangan kemerdekaan.
Namun, harapan itu tidak pernah jadi kenyataan. Pemerintah AS rupanya punya agenda sendiri. Agenda ini semakin jelas ketika pasukan revolusioner Filipina bersama pemimpinnya, Emilio Aguinaldo, ditolak untuk melakukan long march bersama tentara AS menuju kota Manila.
Penentuan nasib Filipina justru ditentukan dalam sebuah konferensi yang digelar pada Oktober 1898. Dalam konferensi tersebut, AS dihadapkan pada tiga pilihan. Pertama, mereka akan mengembalikan Filipina ke tangan Spanyol. Kedua, mereka memberikan kemerdekaan bagi Filipina. Dan ketiga, menganeksasi seluruh wilayah Filipina.
Munculnya pilihan ketiga membuat pemerintah AS menghadapi berbagai penolakan dari masyarakatnya sendiri, terutama yang tergabung dalam Liga Anti-Imperialis Amerika. Kelompok yang menolak itu merujuk pada ucapan mantan presiden Lincoln yang pernah berucap, “Tidak ada satu orang pun yang pantas menguasai orang lain tanpa kesepakatan bersama”.
Liga Anti-Imperialis Amerika kala itu cukup berpengaruh karena memiliki sejumlah anggota orang-orang tenar yang berasal dari berbagai spektrum politik seperti Jane Addams, Andrew Carnegie, hingga filsuf William James dan penulis tersohor Mark Twain. Kelompok ini tak jarang memengaruhi berbagai kebijakan pemerintah AS, baik di dalam maupun di luar negeri.
Namun, William McKinley, Presiden AS yang berkuasa saat itu justru menganggap Tuhan menugaskan AS untuk memperbaiki kualitas peradaban dan mengkristenkan Filipina. Selain itu, ia juga menganggap Filipina belum siap menjalankan pemerintahannya sendiri. McKinley juga khawatir jika kekosongan kekuasaan terjadi terlalu lama, justru akan merangsang kekuatan imperial lain untuk masuk dan mengambil kesempatan di Filipina.
Maka pada 4 Februari 1899, tepat hari ini 122 tahun lalu, keputusan untuk menganeksasi Filipina pun disepakati oleh Kongres AS. Keputusan ini merupakan buntut dari Kapitulasi Paris yang lebih dulu digelar pada 10 Desember 1898. Kapitulasi Paris merupakan akhir dari bentrok militer Spanyol-AS dan menyepakati perpindahan kekuasaan bagi seluruh koloni Spanyol ke tangan AS. Artinya, meski terkesan tidak berambisi menguasai, AS tetap menjadi penguasa baru di bekas koloni Spanyol seperti Kuba, Puerto Rico, Guam, dan Filipina.
“Aguinaldo, Presiden Republik Filipina, tidak serta-merta menyatakan perang dengan AS. Ia yakin, kelompok Anti-Imperialis Amerika akan mencegah adanya aksi aneksasi yang akan dijalankan”, kata David Silbey dalam A War of Frontier and Empire: The Philippine-American War 1899-1902 (2007:96).
Namun nyatanya, dengan mahar dua puluh juta Dollar AS, Filipina dibeli dari Spanyol. Hal ini tentu membuat kelompok revolusioner Filipina berang. Maklum, tiga minggu sebelumnya, mereka baru saja mendeklarasikan Republik Filipina dan menunjuk Emilio Aguinaldo sebagai presiden. Jalur diplomasi tak bisa meredam konflik kedua belah pihak dan akhirnya pada 2 Juni 1899, Republik Filipina menyatakan perang dengan AS.
Kelompok revolusioner Filipina punya keuntungan di awal perang. Posisi pasukan mereka sudah menyebar di hampir seluruh wilayah kepulauan kecuali di ibukota Manila. Fase pertama peperangan pun dimulai. Pasukan Filipina melancarkan berbagai serangan terbuka yang sembrono. Serangan-serangan kecil itu bisa dipatahkan dengan mudah oleh tentara AS yang lebih terlatih dan dilengkapi dengan persenjataan yang jauh lebih memadai. Keadaan pun kian genting bagi pasukan Filipina. Maka sejak November 1899, mereka mengubah pola serangan menjadi gerilya.
Tentara pendudukan AS kala itu menerima perintah untuk tidak menganggap Filipina sebagai sebuah negara republik. Mereka bertugas "mengamankan" siapa saja yang bertindak atas nama Republik dengan cara apapun. Mayor Jenderal Elwell S. Otis, pimpinan pasukan AS, menjalankan perintah itu dengan ketat. Hal ini membuat tensi kedua pihak semakin memanas, mengingat Otis memang sejak awal sudah punya pandangan yang sangat buruk terhadap Aguinaldo.
“Mayor Jenderal Elwell S. Otis punya pendapat yang sangat buruk tentang Aguinaldo. Baginya, Aguinaldo tidak lebih dari seorang perampok yang pasukannya cuma ingin menjarah pulau-pulau”, tulis Spencer C. Tucker dalam The Encyclopedia of the Spanish-American and Philippine-American Wars (2009:8).
Namun, ketika Aguinaldo memerintahkan pasukannya untuk bergerilya, Mayor Jenderal Otis salah paham. Ia menduga perlawanan Filipina sudah berhasil diredam, dan ia pun pulang ke negaranya. Posisinya digantikan oleh Mayor Jenderal Arthur MacArthur. Sontak, MacArthur dihadapkan pada keadaan yang serba sulit. Kelompok-kelompok gerilyawan revolusioner sudah menempati kantong-kantong strategis. Mereka mendapatkan ransum dan tempat istirahat di desa-desa sambil memantau garnisun yang dibangun pasukan AS. Tidak ada pilihan lain, MacArthur segera melakukan desentralisasi kekuatan agar pasukannya bisa bersaing dengan para gerilyawan militan itu.
Di sisi lain, memasuki tahun 1900, isu anti-imperialisme mengalami perkembangan yang signifikan di AS. William Jennings Bryan, calon presiden dari Partai Demokrat, menjadi salah satu pelopor utama gerakan anti-imperialis. Melihat perkembangan itu, Presiden Aguinaldo menaruh harapan besar. Ia berharap McKinley kalah dalam pemilihan presiden AS. Menurut Aguinaldo, kemenangan Bryan akan membuat pasukan AS ditarik pulang dari Filipina. Dan harapan itu lagi-lagi gagal terwujud. Pada November 1900, McKinley terpilih kembali.
Setelah dilantik sebagai Presiden AS untuk periode kedua, sikap McKinley semakin tegas terhadap Filipina. Pada Maret 1901, Brigadir Jenderal Frederick Funston yang menerima amanat untuk mengamankan keadaan, langsung merangkul kelompok suku Macabebe yang pro-AS untuk mengepung markas Aguinaldo di wilayah terpencil di Luzon. Dalam kepungan itu, Aguinaldo ditangkap. Ia dipaksa bersumpah untuk setia pada pemerintah AS dan mendesak para pengikutnya untuk menyerah. Perlawanan pasukan gerilya akhirnya berhasil dilumpuhkan dan Filipina jatuh ke tangan AS.
Editor: Irfan Teguh Pribadi