tirto.id - Charles L. Liston hanya perlu satu ronde untuk memukul KO Floyd Patterson dan mengklaim diri sebagai jagonya tinju kelas berat. Sonny, begitu nama bekennya, sukses merebut gelar juara dari Patterson pada 1962. Kala itu, Sonny Liston memang sudah mulai ditakuti lawan-lawannya di ring tinju. Maklum, tampilan fisiknya intimidatif, sementara kekuatan pukulannya dianggap sebagai salah satu yang paling keras sepanjang sejarah tinju dunia.
Johnny Tocco, pelatih tinju yang pernah menangani Sonny Liston, George Foreman, dan Mike Tyson, sempat mengakui bahwa pukulan Liston adalah yang terkuat di antara ketiga jagoannya.
Selain itu, para pandit tinju menilai jangkauan pukulan dan determinasinya juga turut melanggengkan jalan Sonny jadi kampiun. Terbukti, hampir setahun kemudian, dalam tanding ulang sebagai syarat mempertahankan gelarnya itu, Sonny kembali memukul jatuh Patterson. Tak ayal, Sonny Liston jadi nama paling beken dalam dunia tinju kelas berat tahun 1963.
Henry Cooper, jawara tinju dari Inggris sempat melontarkan keengganannya berhadapan dengan Liston. Jim Wicks, manajer Cooper kala itu bahkan berkilah ia tak ingin berpapasan di jalan dengan Liston.
Akan tetapi, status dan kejayaan itu rupanya tidak lama hinggap dalam hidup Sonny Liston. Setahun kemudian, keputusannya menerima tantangan si mulut besar Cassius Clay, barangkali jadi salah satu keputusan yang paling ia sesali sepanjang hidupnya.
Cassius Marcellus Clay Jr, sang penantang, adalah anak muda yang tumbuh di jalan dan sudah terobsesi menjadi petinju hebat. Di usianya yang baru 22 tahun, Clay tercatat sudah sepuluh tahun berkompetisi di tinju amatir dan mencatat 100 kemenangan dengan 5 kali kekalahan. Prestasi tertingginya adalah medali emas Olimpiade Musim Panas di Roma tahun 1960 untuk kategori Light Heavyweight.
Pada masa ketika sentimen rasialis masih sangat kental dalam kehidupan sehari-hari, Clay sempat mengaku membuang medali emasnya ke sungai Ohio. Clay sakit hati karena ia dan seorang kawannya tidak diterima di rumah makan khusus orang kulit putih. Meski cerita itu banyak disangkal oleh orang-orang terdekatnya, tapi sentimen rasialis memang benar-benar terjadi.
Di tengah sentimen seperti itulah kesempatan melawan Sonny Liston tahun 1964, ia manfaatkan dengan maksimal untuk mendaki puncak tertinggi dalam panggung tinju dunia.
Sebelum melawan Liston, Clay sebenarnya sudah punya rekor profesional yang lumayan impresif. 19 kemenangan tanpa pernah kalah ataupun seri. Tapi semuanya melawan para petinju yang terbilang medioker. Nama paling beken yang pernah jadi lawannya kemungkinan adalah Archie Moore dan Henry Cooper, juara dari Inggris. Keduanya dalam pertandingan non-gelar. Clay jelas butuh menumbangkan petinju dengan nama besar untuk mencatatkan namanya dengan tinta emas buku rekor tinju dunia.
Pertandingan legendaris itupun akhirnya digelar pada 25 Februari 1964. Liston sang juara diunggulkan dengan perbandingan 7-1. Angka itu bukan muncul tiba-tiba. Meski punya rekor gemilang, Clay terbilang mati-matian memenangkan 19 pertandingan sebelumnya. Ia sudah merasakan dipukul jatuh beberapa kali sebelum akhirnya bangkit dan memutar balik keadaan.
Prediksi keunggulan Liston memang tidak bisa lepas dari kedekatannya dengan keluarga Lucchese, salah satu keluarga mafia paling ditakuti di Amerika. Keluarga Lucchese dikenal punya bisnis besar di olahraga tinju dan hampir semua kontrak pertandingan Liston dipegang oleh Frankie Carbo, anggota senior di keluarga Lucchese.
Isu kedekatan Liston dengan keluarga mafia itu tak sedikitpun membuat Clay gentar. Setelah kontrak pertandingan ditandatangani, ia segera berkoar-koar di media yang isinya tidak jauh dari ejekan dan provokasi besar-besaran terhadap lawan. Kelakuannya itu di kemudian hari selalu diulangi kala menghadapi lawan manapun. Ibarat perang urat syaraf, hampir semua lawan Clay jadi terpengaruh meski beberapa paham bahwa itu adalah sekadar aksi panggung, cara Clay mempromosikan pertandingan dan upaya membuat namanya lebih dikenal publik.
Di atas ring, Clay sudah bersiap di sudutnya dan melakukan pemanasan kecil sambil menunggu sang juara bertahan masuk. Pertandingan yang disiarkan oleh lebih dari 350 saluran televisi itu akan segera dimulai. Joe Louis, mantan juara tinju kelas berat dan salah satu legenda tinju dunia, duduk sebagai salah satu komentator.
Joe Louis pernah mempertahankan gelar juaranya 25 kali dan tahu persis bagaimana perasaan Sonny Liston menghadapi penantang yang berambisi merebut gelarnya. Membuka siaran televisi, pembawa acara Steve Ellis menanyakan prediksi Joe Louis tentang jalannya pertandingan.
“Cassius Clay sudah banyak bicara tentang pertandingan ini dan semua pernyataan yang keluar dari mulut besarnya itu akan dibuktikan di ronde pertama,” kata Joe Louis.
Beberapa saat kemudian Sonny Liston masuk ring dengan jubah tinju putih lengkap dengan penutup kepalanya. Sebelum pertandingan, ia sesumbar Clay tidak akan melewati ronde ketiga ketika berhadapan dengannya. Pagi hari sebelum pertandingan, ketika timbang badan wajib, ia bahkan merevisi pernyataannya dan berkata bahwa ia akan memukul jatuh Clay maksimal dalam dua ronde. Ia pun berjalan percaya diri dengan pandangan mata yang fokus meski di sekitarnya, lautan penonton bersorak kegirangan melihat gelaran tinju dunia akan segera dimulai.
Lonceng babak pertama dimulai dan sang juara bertahan yang sesumbar itu tampak bernafsu segera menghajar Clay habis-habisan. Ia terus bergerak maju menjaga jangkauan pukulannya. Di sisi lain, Clay memainkan strateginya dengan berkeliling ring setengah berdansa sembari mempertontonkan kelincahan kakinya. Strategi ini memang sering ia lakukan dan akhirnya menjadi slogan yang menjelaskan karakter bertinju yang sangat lekat di sepanjang karier profesionalnya.
"Melayang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah," tulis David Remnick dalam buku King of the World (1998:178).
Sesumbar dua ronde Liston ternyata keliru. Jual beli pukulan terjadi hingga ronde ke-6. Ketika lonceng tanda dimulainya ronde 7, Liston tidak berdiri dari sudutnya.
“Tunggu sebentar, tunggu sebentar, Liston tidak berdiri lagi,” kata Howard Cosell, jurnalis olahraga yang melaporkan dari sisi ring.
Clay yang segera menyadari itu langsung berdansa merayakan kemenangannya, sebelum akhirnya dirangkul oleh pelatih dan asisten lainnya. Mereka melonjak kegirangan, sementara penonton bersorak menjadi saksi juara baru tinju kelas berat.
Muhammad Ali dan Nation of Islam
Pertandingan pertama itu selesai dengan keputusan kemenangan Technical Knock Out (TKO) untuk Clay. Setelah itu, kejutan lain terus mengikuti kedua petinju ini. Sonny Liston ditangkap polisi pada 12 Maret dengan dakwaan ngebut di area permukiman warga dengan kendaraan tanpa lisensi dan membawa senjata api tanpa izin resmi. Di mobilnya itu, polisi bahkan menemukan botol vodka kosong.
Sementara itu, Clay membuat pernyataan yang menggemparkan publik tinju. Beberapa hari setelah pertandingan, ia mengatakan pada media massa bahwa ia telah bergabung dengan Nation of Islam pimpinan Elijah Mohammad. Kelompok yang dianggap sebagai pembenci orang-orang kulit putih ini bahkan sudah memberinya nama baru: Cassius X.
Beberapa bulan kemudian, nama Cassius X diubah lagi oleh Elijah Muhammad menjadi Muhammad Ali. Nama inilah yang kemudian dikenang dunia sebagai petinju paling hebat sepanjang masa.
Soal bergabungnya Muhammad Ali dengan Nation of Islam, harian Miami Herald menampilkan artikel beberapa minggu sebelum pertandingan melawan Liston. Dalam artikel itu, Cassius Clay Sr (ayah Ali), mengakui bahwa anaknya sudah bergabung dengan Nation of Islam sejak usia 18 tahun, ketika baru memenangkan medali emas Olimpiade. Ia juga menyebutkan bahwa Rudy (adik Ali) yang kerap menjadi lawan latih tandingnya, juga ikut gabung dengan organisasi itu.
“Mereka merusak kedua anak laki-laki saya. Orang-orang Muslim mengajarkan anak saya untuk membenci orang kulit putih, membenci perempuan, bahkan ibunya sendiri. Mereka membenci saya dan yang mereka inginkan hanyalah uang,” tuding Cassius Sr seperti dikutip The Pittsburg Press.
Padahal, Ali sempat menuturkan dalam salah satu biografinya karya Thomas Hauser, Muhammad Ali: His Life and Times (1992), bahwa ia tidak membenci ibunya dan hubungan mereka baik-baik saja.
"Ketika saya beralih agama, Tuhan ibu tetap menjadi Tuhan saya, hanya saja saya menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak suka mabuk, merokok, mencampuri urusan orang, atau mengganggu siapa pun. Tak seorang pun lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia," ungkap Ali.
Menurut Thomas S. Owens dalam buku Muhammad Ali (2011:14), ia telah memilih nama Cassius X persis sehari setelah melawan Liston.
“Bagi Ali, Clay adalah nama yang diberikan oleh pemilik budak pada leluhurnya untuk menunjukkan milik siapa mereka. Ia ingin dipanggil Cassius X, dan setelah menegaskan bahwa ia anggota Nation of Islam, ia menjadi Muhammad Ali, yang berarti yang terpuji”, tulis Owens.
Karena begitu seriusnya isu itu, promotor Bill MacDonald bahkan sempat mengancam membatalkan pertandingan, kecuali Ali mau menyatakan di depan publik bahwa ia bukan anggota Nation of Islam. Beruntung, meski ancamannya ditolak, pertandingan tetap digelar.
Muhammad Ali vs Sonny Liston Jilid II
Sesuai dengan kontrak yang mengatur pertandingan ulang, Sonny Liston dan Cassius Clay Jr alias Muhammad Ali kembali bertemu di atas ring. Kali ini, pertandingan yang rencananya digelar di Boston Garden itu dijadwalkan pada 16 November 1964. Meski kalah di pertemuan pertama, Liston tetap diunggulkan dengan angka 13-5.
Namun, tiga hari sebelum pertandingan kedua digelar, Ali harus dilarikan ke rumah sakit akibat hernia. Gelaran di Boston pun batal. Ketika menunggu jadwal baru, Liston justru terlibat kriminal lagi. Selain itu, masalah lisensi membuat pertandingan tidak bisa digelar di Boston.
Setelah promotor mendapatkan lokasi pengganti, pertandingan akbar itu pun akhirnya mendapat jadwal baru di Lewiston. Lagi-lagi, pertandingan diwarnai isu negatif soal kedekatan Ali dengan Nation of Islam. Kubu Liston bahkan sempat mengeluhkan ancaman yang datang dari kelompok itu ke tempat latihannya.
Pada malam pertandingan, fight announcer Johnny Addie sudah bersiap. Ia mengumumkan, wasit yang memimpin pertandingan kali ini adalah mantan juara dunia Jersey Joe Walcott. Namun, penonton yang memadati dengan antusiasme tinggi dibuat kecewa, pasalnya saat pertandingan baru berjalan setengah babak, Liston dipaksa mencium kanvas. Ia tersungkur setelah menerima pukulan kanan Ali yang hampir tak terlihat.
Beberapa detik setelah memukul jatuh Liston, Ali berteriak di sebelahnya, “Ayo bangun! Tidak akan ada yang percaya hasil ini.”
Teriakan itu berhasil diabadikan oleh fotografer olahraga Neil Leifer dan menjadi salah satu foto olahraga paling ikonis sepanjang masa. Meski sempat bangun, wasit Walcott tak mengizinkan Liston melanjutkan pertandingan. Maka sejak malam tanggal 25 Mei 1965, tepat hari ini 56 tahun lalu, Muhammad Ali diakui publik sebagai juara dunia tinju kelas berat sejati.
Editor: Irfan Teguh Pribadi