tirto.id - Baca artikel pertama dari Seri Inspirasi Edukator Ms. Rachel pada tautan berikut: Cerita di Balik Popularitas Ms. Rachel, YouTuber Idola Anak-Anak
Pada 2019, Rachel Griffin Accurso (42) asal Maine, Amerika Serikat memulai kanal YouTube berisi konten-konten video edukatif untuk membantu perkembangan bahasa bayi dan toddler, atau anak-anak usia dini 1 sampai 3 tahun.
Dikenal sebagai Ms. Rachel—dengan rambut diikat kuda, aksesori bando berwarna pink, wajah sumringah bahagia, dan suara lembut sarat perhatian—karakternya yang energetik selalu disambut penuh sukacita oleh anak-anak di penjuru dunia.
Edukator anak usia dini yang memiliki latar belakang pendidikan musik ini awalnya terdorong untuk membuat program Songs for Littles di YouTube setelah mendapati anak pertamanya, Thomas, didiagnosis dengan speech delay atau keterlambatan bicara.
Bersama suaminya, komposer musik Aron Accurso, mereka memproduksi video-video interaktif untuk membantu anak-anak mengenal kosakata, warna, angka, dan lagu-lagu sederhana.
Konten mereka di YouTube, kini bernaung di kanal bernama Ms Rachel – Toddler Learning Videos, tak sekadar digemari oleh anak-anak, melainkan orang dewasa terutama ibu-ibu.
Gaya bicara Rachel yang khas, konsisten, berikut atmosfer positif nan menyenangkan dari video-videonya membuat orang-orang dewasa yang menonton programnya ikut merasa tenang dan gembira.
Di TikTok dan Instagram, sempat bermunculan tren lucu yang memperlihatkan orang tua diam-diam menonton video-video Ms. Rachel saat anak-anaknya sedang tidur.
Ketika hari ini platform digital dipenuhi oleh konten-konten tidak mendidik yang berpotensi merugikan anak-anak, sosok Ms. Rachel membawa harapan dan pembelajaran.
Tidak sekadar menciptakan lagu dan metode komunikasi yang menarik dan interaktif, Ms. Rachel berhasil menciptakan ruang aman di internet, baik bagi anak-anak maupun orang tua mereka.
Sepak terjang Rachel tidak terbatas pada produksi konten-konten edukatif.
Ibu dua anak ini dikenal pula sebagai sosok yang peduli terhadap isu-isu kemanusiaan, tak terkecuali menyangkut kesejahteraan anak-anak yang menjadi korban di wilayah-wilayah berkonflik.
Demikian tulis Rachel pada salah satu unggahannya di media sosial pada bulan Maret silam.
Penuturan Rachel di atas mencerminkan keseriusannya, sebagai figur publik dengan sebuah panggung, untuk bertanggungjawab memanfaatkan popularitasnya demi kebaikan bersama—dalam hal ini merujuk pada anak-anak usia dini yang menjadi fokus Ms. Rachel.
Persis satu tahun yang lalu, Rachel meluncurkan kampanye penggalangan dana melalui Cameo, platform yang memungkinkan kita untuk memesan konten video yang dipersonalisasi dari artis idola.
Hanya dalam kurun waktu beberapa jam, Rachel menerima 500 permintaan video dari orang tua yang ingin anak-anaknya disapa olehnya.
Dana yang telah dibayarkan, total mencapai 50 ribu dolar, kemudian disumbangkan kepada organisasi independen pemenuhan hak anak Save The Children untuk disalurkan kepada anak-anak di Gaza, Sudan, Republik Demokratik Kongo, dan Ukraina.
Save The Children mengalokasikan dana yang terkumpul tersebut sebagai Anggaran Darurat, disiapkan khusus untuk anak-anak terdampak konflik, bencana alam, dan krisis lainnya.
Menariknya, ada saja warganet yang berkomentar negatif pada Rachel, menganggapnya telah mengecualikan anak-anak Israel dan mengabaikan penderitaan mereka.
Menurut pernyataan resmi UNICEF, satu tahun setelah serangan 7 Oktober 2023, setidaknya 14 ribu nyawa anak melayang di Gaza.
Anak-anak di Gaza telah kehilangan akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas. Sedikitnya 335 ribu anak di bawah usia 5 tahun berisiko mengalami malnutrisi.
Malnutrisi dan ancaman kelaparan pada anak-anak turut menjadi perhatian Rachel. Sedari tahun kemarin, situasi mereka di Gaza sudah diangkat di akun media sosialnya.
Pada bulan Desember lalu, bekerja sama dengan lembaga PBB melalui World Food Programme, Rachel kembali menyorot kesulitan pangan yang menimpa anak-anak di Gaza, Sudan, Haiti, dan Mali.
Yang mengherankan, kepedulian dan keprihatinan Rachel terhadap anak-anak Palestina dan mereka yang terjebak dalam situasi krisis justru menjadi target serangan dari organisasi pro-Israel.
Pada awal bulan April kemarin, grup advokasi akar rumput pro-Israel yang berbasis di Amerika Serikat, StopAntisemitism, melayangkan seruan kepada Jaksa Agung Pam Bondi untuk menyelidiki “apakah Ms. Rachel menerima pendanaan dari pihak asing guna menyebarkan propaganda anti-Israel dan memengaruhi opini publik”.
Organisasi yang berdiri sejak 2018 ini gencar menelusuri pihak-pihak yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap komunitas Yahudi, berusaha keras agar mereka menghadapi konsekuensi di dunia nyata. Konsekuensi ini, di antaranya seperti kehilangan pekerjaan atau dikeluarkan dari sekolah.
StopAntisemitism menuding Rachel sebagai “corong propaganda Hamas” karena konsistensinya menyuarakan keprihatinan terhadap anak-anak Gaza melalui berbagai platform akun media sosialnya.
Meski begitu, Rachel tidak gentar.
Saat diwawancarai oleh media Inggris The Independent pada Januari kemarin, Rachel menegaskan urgensi untuk mengadvokasikan kesejahteraan anak-anak korban kekerasan perang, termasuk di Gaza.
“Aku tidak bisa memalingkan muka dari besarnya dan beratnya penderitaan yang kulihat setiap hari. Aku paham tentang pentingnya tahun-tahun pertama perkembangan otak anak dan dampak seumur hidup dari trauma dan kekurangan gizi pada otak. Ini akan menjadi kegagalan umat manusia apabila kita tidak dapat menyediakan makanan, air, perawatan medis, tempat tinggal, dan pendidikan kepada anak-anak, serta tidak melindungi anak-anak dari kekerasan.”
“Aku tidak setia pada diriku sendiri apabila tidak memanfaatkan platform-platform yang kumiliki untuk bersuara demi anak-anak, di mana pun mereka berada,” imbuhnya lagi.
Dalam wawancara dengan jurnalis Mehdi Hazan dari media progresif Zeteo yang rilis minggu ini, Rachel kembali menegaskan bahwa “diam bukanlah sebuah pilihan” ketika isu yang diangkat berkaitan dengan penderitaan anak-anak Gaza.
“Sungguh menyedihkan ketika orang-orang menganggap pembelaan terhadap anak-anak yang mengalami penderitaan tak terhingga sebagai hal yang kontroversial,” kata Rachel lagi, “Menurutku, justru kontroversial kalau kita diam saja.”
Rachel masih merasa heran dengan pihak-pihak yang menganggap advokasinya terhadap anak-anak Palestina otomatis menunjukkan dirinya pilih kasih atau abai terhadap kesejahteraan anak-anak di tempat lain.
Rachel percaya, semua anak di dunia, di mana pun mereka berada, berhak tumbuh di lingkungan yang aman—bebas dari ancaman kelaparan, kekerasan, teror perang, dan berbagai wujud trauma lainnya.
Ya, anak-anak mungkin mengagumi Ms. Rachel sebagai sosok yang menghibur dan mendidik. Pada waktu sama, keberanian YouTuber ini juga menginspirasi orang dewasa agar tidak tinggal diam terhadap ketidakadilan yang menimpa anak-anak di seluruh dunia.
Rachel bukan sekadar pendidik, musisi, atau kreator konten. Ia adalah simbol dari ibu masa kini yang mengerahkan empatinya untuk mendorong perubahan nyata.
Berawal dari dorongan murni untuk membantu anaknya yang mengalami speech delay, tokoh Ms. Rachel telah menciptakan komunitas global yang saling mendukung perkembangan anak dan memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan.
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































