tirto.id - MPR berharap UU Anti Terorisme dapat direvisi setelah terjadi kasus bom gereja di Samarinda, Kalimantan Timur, oleh pelaku yang ternyata pernah dipenjara sebelumnya dalam kasus terorisme.
Dalam peristiwa lemparan bom ke gedung Gereja Oikumene di Samarinda itu, satu balita bernama Intan Marbun Banjarnahor (2,5 tahun) akhirnya meninggal. Sementara itu, tiga balita lain luka-luka bakar di sekujur tubuh.
"Program deradikalisasi yang dijalankan selama ini tidak menjamin seorang teroris yang telah menjalani hukum, kemudian dibebaskan, tidak akan mengulangi lagi perbuatannya," kata Wakil Ketua MPR, Mahyudin, di Jakarta, kepada Antara, Sabtu (19/11/2016).
Mahyudin mencontohkan pelaku bom gereja di Samarinda, yang merupakan orang yang pernah dipenjara dalam kasus terorisme, kemudian dibebaskan dengan pengawasan, dan ternyata kecolongan karena pelaku mengulangi perbuatannya.
“Untuk mencegah perbuatan terorisme, harus dilakukan dengan merevisi berupa penguatan UU Anti Terorisme,” jelas Mahyudin.
Dia juga mengatakan penting penguatan Pancasila yang disampaikan antara lain melalui program sosialisai Empat Pilar oleh MPR untuk menunjukkan masyarakat tidak takut dan terus bersatu melawan terorisme.
"Kalau semua rakyat Indonesia dengan sebenar-benarnya mengamalkan Pancasila dengan baik, saya yakin di Indonesia akan lahir sebuah persatuan yang kuat, tidak bisa dipecah belah, dan tak bisa diobok-obok," ucap Mahyudin.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, berharap agar DPR RI dapat segera meloloskan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar terdapat keleluasaan menangani terorisme.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari