Menuju konten utama

Move Forward Party, Harapan Baru Gerakan Prodemokrasi Thailand

Partai prodemokrasi sokongan kaum muda Thailand, Move Forward Party, punya segudang janji kampanye dan cita-cita progresif. Akankah usahanya berjalan mulus?

Move Forward Party, Harapan Baru Gerakan Prodemokrasi Thailand
Pita Limjaroenrat, pemimpin partai progresif Move Forward Party, melambaikan tangan kepada para pendukungnya, di Bangkok, Senin, 15 Mei 2023. AP Photo/Wason Wanichakorn)

tirto.id - Rakyat Thailand baru saja merayakan pesta demokrasi. Dalam pemilihan umum yang berlangsung pertengahan Mei silam, antusiasme warga dilaporkan tinggi—tingkat partisipasi mencapai rekor 75 persen atau menembus 39 juta pemilih.

Move Forward Party, reinkarnasi dari Future Forward Party, partai prodemokrasi idola kaum muda yang dibubarkan tiga tahun silam, meraup dukungan terbesar dengan nyaris 14 juta suara. Partai sosial demokrat progresif yang kritis terhadap kekuasaan elite militer ini berhasil menguasai 152 dari 500 kursi anggota dewan majelis rendah (DPR).

Bertengger di posisi kedua dengan 141 kursi adalah sesama penentang junta militer, Pheu Thai Party. Partai populis liberal ini merupakan warisan mantan perdana menteri berpengaruh Thaksin Shinawatra (berkuasa 2001-2006). Partai-partai yang berasosiasi dengan figur Thaksin selalu menjuarai lima pemilu terakhir sejak 1998 sampai hari ini.

Kemenangan Move Forward Party mustahil dipisahkan dari latar dinamika politik yang mewarnai Negeri Gajah Putih selama sembilan tahun terakhir.

Pemilu kemarin adalah pemilihan kedua sejak kudeta 2014. Sejak saat itu Thailand dikuasai junta militer pimpinan Jenderal Prayut Chan-o-cha. Lima tahun kemudian, pemilu pertama terselenggara, namun banyak pihak menilainya sarat kecurangan. Hasilnya, partai sokongan militer menang (baca: dimenangkan)—kelak membuka jalan Jenderal Prayut untuk berkuasa kembali sebagai perdana menteri.

Tak berapa lama, iklim politik mengeruh akibat demonstrasi besar yang dimotori oleh pelajar dan mahasiswa. Aksi massa sejak 2020 ini dipicu oleh putusan pengadilan membubarkan partai oposisi populer di parlemen, yang tidak lain adalah Future Forward Party, atas tuduhan pelanggaran keuangan—disinyalir sarat motif politik.

Pengamat menilai Future Forward diberantas karena dicap “ancaman eksistensial” hegemoni Jenderal Prayut. Hal ini diperkuat karena sejak didirikan pada 2018 mereka telah dijerat 25 kasus hukum, termasuk pernah diadili karena dugaan makar untuk menggulingkan monarki sampai tuduhan konyol tentang asosiasinya dengan grup konspirasi Illuminati.

Aksi protes bukan sebatas luapan kekecewaan atas pembubaran Future Forward. Tuntutan demonstran melebar jadi seruan agar Jenderal Prayut diturunkan, parlemen dibubarkan, serta diakhirinya segala bentuk persekusi terhadap pengkritik pemerintah dan konstitusi terbaru (sejak 2017) yang dikontrol elite militer.

Mereka juga menuntut reformasi monarki Thailand karena dinilai sudah melakukan memboroskan uang negara, terlalu dekat dengan militer, dan ikut campur dalam pemerintahan. Thailand menganut sistem monarki konstitusional—raja sebagai kepala negara dan perdana menteri kepala pemerintahan—namun kenyataannya pejabat militer lebih sering memutar roda pemerintahan dengan dukungan halus dari monarki.

Isu yang juga disorot dalam aksi protes adalah Pasal 112 KUHP Thailand tentang lèse-majesté, hukum kontroversial yang bisa memenjarakan rakyat sampai maksimal 15 tahun apabila berani menghina monarki.

Di masa lalu, lèse-majesté dibuat untuk melindungi anggota keluarga kerajaan dari fitnah atau penistaan. Menurut berbagai organisasi HAM, pada hari ini ia sudah dijadikan senjata politik oleh rezim militer untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik.

Sejak kudeta 2014 sampai awal 2018, terdapat sedikitnya 98 kasuslèse-majesté –salah satunya menyangkut penistaan terhadap anjing peliharaan mendiang Raja Bhumibol. Lalu, sejak gerakan prodemokrasi tahun 2020 sampai sekarang, setidaknya 244 orang pernah dijerat hukum lèse majesté hanya karena menyuarakan pendapat. Kasus mereka kerap dikaitkan dengan makar sampai kejahatan siber (karena berpendapat atau berkomentar di media sosial).

Seperti bisa diduga, sederet tuntutan massa dalam aksi demo yang baru mereda pada 2021 di atas tidak digubris oleh pemerintahan Jenderal Prayut. Ini terjadi seiring marak laporan tentang demonstran yang direpresi.

Agenda Progresif Move Forward Party

Meskipun aksi massa prodemokrasi berakhir melempem, segelintir tokoh partai politik masih mencoba berjuang. Tak lama setelah Future Forward Party dibubarkan, sedikitnya 50 dari 65 anggota partai yang menjabat posisi wakil rakyat memutuskan pindah ke Move Forward Party, sesama partai oposisi di parlemen.

Move Forward sudah berdiri sejak 2014—dipimpin oleh pengusaha muda nan karismatik dari keluarga kaya raya, Pita Limjaroenrat.

Dilansir dari Bangkok Post pada 2020 silam, alumnus sekolah pascasarjana Harvard University dan MIT ini menegaskan partainya adalah “babak baru dari Future Forward” yang akan “menjunjung niat, ideologi, dan semangatnya” serta “menjadi harapan bagi rakyat yang putus asa.” “Kami akan mengembalikan demokrasi ke negara ini, mengakhiri kediktatoran dan membangun negara hukum yang semua warganya setara,” imbuhnya.

Dalam wawancara terpisah, Pita berkomitmen meneruskan kebijakan-kebijakan inti yang sudah diperjuangkan Future Forward, di antaranya mengakhiri sistem birokrasi terpusat, mereformasi pendidikan, menghapus wajib militer, dan memberantas seluruh warisan militer pascakudeta 2014.

Termasuk menjadi perhatian mereka adalah mengatasi polusi udara akut (yang baru-baru ini sampai membuat 200 ribu warga Bangkok perlu mendapat perawatan di rumah sakit) dan kesempatan kerja lebih luas bagi kaum muda.

Di samping itu, tentu saja, Move Forwardmendukung amandemen lèse-majesté. Sedininya pada awal 2021, mereka sudah mengajukan RUU agar pelanggaran lèse majesté tidak lagi dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang mengancam keamanan nasional, dengan hukuman lebih ringan (maksimal setahun penjara, denda sampai 300 ribu baht atau Rp120 jutaan). Mereka juga ingin mengurangi anggaran negara untuk lembaga-lembaga milik monarki.

RUU tersebut memang strategis untuk menuai dukungan kaum muda yang mendambakan reformasi, namun tak butuh waktu lama untuk ditolak oleh Sekretariat DPR karena dianggap tidak konstitusional.

Agenda progresif Move Forward lainnya berkaitan dengan hak-hak kaum minoritas LGBT. Salah satunya adalah melegalkan pernikahan pasangan sesama jenis agar mereka bisa mendapatkan hak dan menjalankan kewajiban sebagaimana pasangan heteroseksual. Beberapa istilah dalam hukum perkawinan juga rencananya akan mereka ubah agar lebih inklusif (“laki-laki” dan “perempuan” menjadi “orang/individu”, “suami” dan “istri” menjadi “partner/pasangan”).

Selain itu, mereka ingin memberikan kebebasan pada setiap orang untuk menampilkan panggilan gender pada kartu identitas penduduk atau tidak.

Lebih jauh lagi, Move Forward mendukung regulasi industri seks dan pekerja seks, sektor yang dinyatakan ilegal (dikriminalisasi dalam Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Prostitusi tahun 1996) dan rentan distigmatisasi oleh masyarakat luas yang secara sosiokultural cenderung konservatif di bawah ajaran Buddha—kepercayaan mayoritas penduduk.

Dilansir dari artikel Neha Wadekar yang diterbitkan Foreign Policy dan Fuller Project, sedininya sejak pertengahan 2022 mereka sudah menyusun RUU yang isinya mendukung pengecekan secara acak untuk memverifikasi lisensi kerja dan usia pekerja serta memastikan apakah ada penyalahgunaan narkoba dalam pelaksanaannya.

RUU dari Move Forward turut membahas lokasi yang dilarang jadi tempat praktik atau sasaran iklan (dekat kuil peribadatan, bangunan sekolah) serta, tentu saja, bagaimana pemerintah bisa menarik pajak dari industri tersebut (menurut laporan tahun 2015 oleh perusahaan riset pasar gelap Havocscope, nilai industri seks di Thailand mencapai 6,4 miliar dolar per tahun—setara dengan tiga persen Produk Domestik Bruto kala itu).

Kendati demikian, RUU ini tidak terlalu kencang gaungnya selama masa pemilu, meskipun aktivis pendukung industri seks masih berharap pemerintah baru akan memperjuangkannya jadi undang-undang.

Masa Depan Belum Pasti

Tidak semua janji kampanye dan RUU yang diperjuangkan Move Forward mendapat sinyal hijau setelah dikompromikan dengan partai-partai koalisi. Hal ini terungkap dalam nota kesepakatan tanggal 22 Mei antara Move Forward dan tujuh partai lain, termasuk Pheu Thai, yang berencana membangun pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Pita.

Ambisi reformis terkait amandemen lèse-majesté tidak disinggung sama sekali—tak lain karena dipandang terlalu memecah belah dan berpotensi menjauhkan Move Forward dari partai-partai berpengaruh, terutama Pheu Thai, dan kubu konservatif promonarki yang suaranya masih dibutuhkan untuk memperkuat posisi koalisi baru mereka di parlemen.

Terdapat 23 poin yang akan diprioritaskan koalisi Move Forward. Di antaranya, dilansir dari Bangkok Post, menyusun konstitusi baru yang lebih demokratis, meloloskan RUU pernikahan sesama jenis, desentralisasi pemerintahan (mengalokasikan anggaran kepada provinsi agar dikelola secara mandiri), mengubah aturan wajib militer jadi bersifat sukarela, dan merestrukturisasi tarif listrik untuk menekan biaya hidup warga.

Selain itu, mereka sepakat untuk mereformasi institusi kepolisian, militer, layanan sipil, dan proses peradilan. Mereka juga ingin menghapus dominasi korporat besar dalam industri minuman beralkohol, memberi bantuan finansial lebih besar untuk pelaku UMKM, mendorong petani berorganisasi, mendukung industri perikanan yang lestari, dan memperkuat hak-hak pekerja.

Legalisasi ganja yang baru diresmikan tahun lalu tidak luput dari perhatian. Move Forward dan Peau Thai Party pernah berargumen bahwa implementasi legalisasi ganja tidak berjalan mulus—malah mendorong konsumsi rokok ganja dan gagal mendorong kesejahteraan petani ganja karena tingginya biaya investasi. Bersama koalisi baru, mereka ingin meregulasikan ulang ganja agar diklasifikan sebagai narkoba yang pemakaiannya terbatas untuk keperluan medis, alih-alih rekreasional.

Infografik Pemilu Thailand

Infografik Pemilu Thailand. tirto.id/Fuad

Di balik yang cita-cita yang ambisius dan progresif—kontras dari tatanan politik konservatif nan kaku di bawah pemerintahan militer-monarki selama ini—jalan Move Forward Party dan partai-partai koalisi untuk mewujudkannya masih diwarnai sejumlah tantangan.

Meskipun koalisi Move Forward bisa menguasai sekitar 300 dari 500 kursi DPR, mereka tetap membutuhkan tambahan kursi dari partai-partai konservatif yang sebelumnya bergabung dengan koalisi pemerintah militer (seperti Partai Demokrat yang promonarki dan Bhumjaithai yang tahun lalu meloloskan UU liberalisasi ganja). Sebabnya, sesuai konstitusi 2017, masih ada 250 anggota Senat yang ditunjuk elite militer yang akan ikut menentukan perdana menteri baru nanti.

Selain itu, dikutip dari tulisan dosen Australian National University Greg Raymond di The Conversation, bukan tidak mungkin tatanan politik Thailand yang konservatif akan mencari segala cara untuk tidak memvalidasi pemerintahan baru pimpinan Move Forward.

Sudah banyak kasus di masa lalu tentang partai-partai progresif yang dibubarkan, termasuk partai pendahulu Future Forward. Kandidat perdana menteri Pita pun sempat diperkarakan atas tuduhan kepemilikan saham di perusahaan media, sementara Pheu Thai Party terancam dibubarkan karena dituduh melibatkan figur-figur di luar partai untuk menjalankan urusan internal.

Demikianlah, di mana saja kolong langit ini kekuatan lama tidak bakal begitu saja menyerahkan kekuasaan mereka.

Baca juga artikel terkait THAILAND atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino