Menuju konten utama

Moeldoko Soal Penolak UU Cipta Kerja: Mau Diajak Bahagia Kok Susah?

Moeldoko heran kenapa banyak orang menolak UU Cipta Kerja. Menurutnya peraturan ini baik-baik saja.

Moeldoko Soal Penolak UU Cipta Kerja: Mau Diajak Bahagia Kok Susah?
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko tiba di gedung KPK untuk menghadiri acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (ANPK) di Jakarta, Rabu (26/8/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengomentari masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja yang disahkan oleh legislatif pada Senin 5 Oktober lalu. Purnawirawan TNI ini heran mengapa ada yang menolak peraturan yang ia sebut dapat "menyederhanakan regulasi" dan dapat mengubah "wajah Indonesia" ini.

"Wajah Baru Indonesia adalah wajah rakyat. Wajah bahagia di mana kita punya harga diri, punya martabat. Rakyat yang mempunyai daya saing, punya peluang dan karier, serta punya masa depan," kata Moeldoko dalam siaran pers, Sabtu (17/10/2020).

"Mau diajak bahagia saja kok susah amat?" tambahnya.

Ia lantas menyinggung pentingnya UU Cipta Kerja dengan memberikan contoh ada 33 juta orang yang mendaftar menjadi peserta program Kartu Prakerja. "Betapa besar kebutuhan lapangan kerja saat ini," katanya. "Melalui UU Cipta Kerja ini, membuka kesempatan yang luar biasa bagi pengusaha kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi. Mereka yang tadinya mengurus perizinan panjang dan berbelit, nanti cukup lewat satu pintu saja."

Mantan Kasad dan Panglima TNI ini mengatakan ada paradoks dalam penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Di sisi lain menurutnya publik kerap mengeluh soal "birokrasi yang lamban, berbelit, menyebalkan" yang "membuat tidak ada kepastian bagi siapa pun." Tapi di sisi lain, ketika UU Cipta Kerja dibuat untuk mengatasi itu, "masyarakat menolak."

Ia juga menyinggung orang-orang yang menolak peraturan ini, termasuk "banyak tokoh", yang menurutnya "sesungguhnya belum memahami isi sepenuhnya." "Mereka menyampaikan keberatan isi substansi dari undang-undang yang mungkin itu konsep sebelum disahkan," klaimnya.

"Jadi jangan buru-buru komplain berlebihan padahal belum memahami penuh, isi dan substansi dari versi terakhir UU Cipta Kerja ini," katanya.

Meski begitu, menurutnya pemerintah memang sudah bisa memprediksi UU Cipta Kerja "memang memunculkan risiko dan perdebatan." Dan Presiden Joko Widodo, katanya, "berani mengambil risiko."

Salah satu alasan publik menolak UU Cipta Kerja sebetulnya persis karena peraturan ini justru potensial memperkeruh tumpang tindih regulasi. Di klaster Ketenagakerjaan saja, harus ada 19 aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP). Total peraturannya jauh lebih banyak karena UU Cipta Kerja memengaruhi 79 UU.

Segala peraturan turunan ini harus dirampungkan dalam waktu tiga bulan saja. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan berharap segala regulasi turunan itu substansinya baik tapi disusun dalam waktu singkat "nyaris mustahil."

Sementara terkait klaim penciptaan lapangan kerja yang bakal jadi ujung banyaknya investasi, ekonom senior Faisal Basri bilang justru investasi--dalam arti investasi fisik--di Indonesia tidak buruk. Bahkan di Asean, katanya, "Indonesia juaranya."

Ia bilang analisis masalah pemerintah keliru, sehingga solusinya pun--UU Cipta Kerja--salah kaprah.

Terakhir, alasan masyarakat menolak peraturan ini adalah karena sejak awal ia tidak partisipatif. Bahkan sampai naskah ini tayang pun, UU Cipta Kerja versi final belum tersedia.

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino