Menuju konten utama

Mereka yang Melawan Omnibus Law Cipta Kerja di MK

Beberapa pihak memilih menggagalkan UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, ketika yang lain memilih jalanan. Sebagian pesimistis itu akan berhasil.

Mereka yang Melawan Omnibus Law Cipta Kerja di MK
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

tirto.id - Undang-undang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) meski belum bernomor. Per 12 Oktober 2020, panitera MK sudah menerima dua berkas pendaftaran.

Judicial review pertama dilayangkan DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS), serikat pekerja yang kantornya terletak di Karawang, Jawa Barat. Pemohon, Ketua Umum Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafidz, menguji materi UU Cipta Kerja: Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka 44.

Dengan dasar dokumen UU Cipta Kerja yang mereka pegang--saat ini banyak versi beredar--pasal 81 angka 15 dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan, dan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu; pasal 81 angka 19 yang menghapus Pasal 65 UU Ketenagakerjaan tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja; dan pasal 81 angka 25 mengakibatkan perhitungan upah minimum lebih rendah ketimbang PP 78/2015.

Lalu pasal 81 angka 29 yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan mengakibatkan tidak adanya sanksi bagi perusahaan yang lalai membayar upah lebih rendah dari upah minimum; pasal 81 angka 44 mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan yang tidak mewajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.

“Mohon kiranya yang mulia majelis hakim konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan: mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” tulis Deni Sunarya dalam berkas gugatan.

JR kedua dilayangkan oleh karyawan kontrak Dewa Putu Reza dan pekerja lepas Ayu Putri. Mereka mengatakan UU Cipta Kerja tidak memberikan kepastian pengangkatan sebagai pegawai tetap karena Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dihapus--berdasarkan dokumen yang mereka pegang; merampas hak pekerja untuk hidup layak karena menghapus uang penghargaan masa kerja; dan menambah beban pekerja karena menghapus ketentuan istirahat mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja dan jam lembur diperpanjang.

Mereka berharap majelis hakim mengabulkan permohonan secara keseluruhan.

“Menyatakan Pasal 59, 156 ayat (2) dan (3), Pasal 79 ayat (2) b, dan Pasal 78 ayat (1) b pada bagian Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tulis kuasa hukum Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dalam berkas gugatan. Kuasa hukum lain bernama Seira Tamara Herlambang.

Permohonan dua pekerja ini pada Kamis 15 Oktober kemarin direvisi dan digabung dengan permohonan yang didaftarkan oleh Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi (GEMA-PHK). Mereka tidak lagi mengajukan permohonan uji materiil (substansi peraturan), tapi uji formil (tata cara penyusunan peraturan).

Kuasa Hukum GEMA-PHK Victor Tandiasa mengatakan dalam konferensi pers ia dan kawan-kawan mendaftarkan permohonan uji formil untuk menggagalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan. Menurutnya peraturan itu “cacat formil dan tidak layak diundangkan.” Salah satunya karena draf yang disahkan dalam rapat paripurna pada 5 Oktober tidak sama dengan draf yang akan ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Victor sengaja mengajukan permohonan meskipun nomor UU Cipta Kerja belum keluar. Tujuannya agar ketika nomor sudah ditentukan, MK dapat langsung menggelar sidang.

Pada akhirnya ia mengaku optimistis “MK mengabulkan permohonan ini meskipun sejak berdiri, jarang mengabulkan [uji formil].”

Pakar Hukum Tata Negara dan Direktur HICON Law & Policy Strategic Hifdzil Alim menilai JR berpeluang besar dikabulkan. “Potensinya besar karena UU CK (Cipta Kerja) mendapat penolakan secara luas dari publik. Juga masih terjadi polemik di DPR,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu (14/10/2020).

Masing-masing klaster sebaiknya diuji secara terpisah sehingga menghasilkan banyak permohonan, katanya. Ia juga menyarankan agar dilakukan uji formil, yaitu menguji prosedur/tata cara penyusunan undang-undang, lantaran “formil penyusunan juga bermasalah.”

Yang Ragu

Pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti justru meragukan kans keberhasilan menggagalkan UU Cipta Kerja lewat MK. Menurutnya revisi UU MK telah mengunci beberapa hakim agar bersimbiosis dengan legislatif dan eksekutif.

Salah satu perubahan dalam revisi UU MK adalah memperpanjang masa jabatan hakim hingga berumur 70 tahun.

“Patut dibaca bahwa ini upaya untuk 'menjinakkan MK'. Coba cek live streaming sidang revisi UU KPK, itu kelihatan hakim-hakim mana yang sangat bias dan menyudutkan pemohon. Ini bisa terjadi terus dan mungkin makin menguat,” katanya saat dihubungi reporter Tirto, 6 Oktober lalu.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga sudah jauh-jauh hari meminta bantuan agar MK juga turut serta membantu pemerintah yang tengah merancang omnibus law--kendati itu hanya pernyataan politis.

Dosen hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga pernah bilang bahwa aspek politis jadi batu sandungan menggagalkan UU Cipta Kerja di MK. Zainal menyebut revisi UU MK ini “isinya cuma pil tidur untuk para hakim MK.”

Tapi juru bicara MK Fajar Laksono memastikan sebaliknya. Ia bilang MK “akan proses setiap permohonan sesuai dengan ketentuan dan hukum acara.” Ia juga mengatakan kepada reporter Tirto, Rabu, “semua putusan MK, terutama yang memuat legal policy baru, wajib untuk ditindaklanjuti oleh adressat putusan, termasuk pembentuk UU.”

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino