tirto.id - Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu yang disahkan pada paripurna DPR, Jumat dini hari (21/7/2017) masih menyisakan masalah. Sejumlah pihak mempersoalkan ketentuan Presidential Threshold yang mensyaratkan 20 persen suara partai di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra menilai ketentuan ambang batas tersebut berpotensi menghambat kandidat lain untuk berkontestasi dalam Pemilu 2019. Ia menuding aturan tersebut didesain untuk memunculkan calon tunggal, Joko Widodo yang akan diusung kembali oleh partai koalisi pemerintah, yaitu PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura dan PAN.
Sementara dukungan terhadap Prabowo Subianto yang didukung Partai Gerindra dan PKS, kata Yusril, kemungkinan besar tidak akan mencapai angka 20 persen. Kecuali Partai Demokrat ikut bergabung mengusung Prabowo. Namun, kata Yusril, melihat pengalaman selama ini hampir mustahil hal tersebut terjadi.
PBB sebagai parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, lanjut Yusril, tentu akan lebih sulit lagi dibanding partai-partai yang lain untuk mengusung calon presiden. Padahal partai yang dipimpinnya tersebut telah memutuskan untuk mengusung dirinya maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2019 mendatang.
Karena itu, ia akan mengajukan uji materi UU Penyelenggaraan Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai langkah terakhir menolak ketentuan tersebut. Menurut Yusril, perlawanan terhadap presidential threshold ke MK ini adalah jalan konstitusional terakhir yang dapat ditempuh setelah fraksi-fraksi yang menentang ketentuan presidential threshold di DPR kalah suara dalam pengesahan UU Pemilu.
“Saya sangat berharap MK akan bersikap benar-benar obyektif dan akademik menangani perkara yang sarat dengan kepentingan politik yang sangat besar ini,” kata Yusril dalam keterangan resmi yang diterima Tirto.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyadari bahwa UU Pemilu yang disahkan melalui proses yang cukup panjang itu akan direspons beragam oleh banyak pihak. Ia pun mempersilakan mereka yang tidak puas, khususnya terkait ketentuan presidential threshold untuk melakukan uji materi ke MK.
Namun, ia mengemukakan sejumlah alasan mengapa pemerintah optimistis ketentuan presidential threshold konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Salah satunya, kata Tjahjo, Putusan MK No.14/XI-PUU/2013 diputuskan di saat tahapan pilpres 2014 sedang berlangsung sehingga tidak serta-merta diberlakukan pada Pilpres 2014, tapi diberlakukan untuk Pilpres 2019.
Alasan lainnya, kata Tjahjo, Pileg dan Pilpres serentak baru pertama kalinya dilaksanakan pada Pemilu 2019. Artinya, yang menjadi rujukan presidential threshold adalah hasil Pileg 2014. Sementara untuk Pemilu 2024 yang menjadi rujukan ambang batas partai politik mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah hasil Pileg 2019.
Selain itu, kata Tjahjo, Pasal 6A UUD 1945 harus dibaca secara lengkap, misalnya ayat (5) yang mengatur soal tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wapres lebih lanjut diatur dalam UU. Dengan demikian, menurut Tjahjo, ketentuan presidential threshold adalah bagian dari tata cara pemilihan presiden dan wapres sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (5).
Apalagi, kata Tjahjo, presidential threshold memiliki manfaat positif dalam proses seleksi atau pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Menurut dia, presidential threshold telah digunakan dua kali pemilu dan hasilnya menunjukkan bahwa ketentuan tersebut sangat positif menjadi alat seleksi awal capres dan cawapres terpilih yang wajib mendapat dukungan suara lebih dari 50 persen dari total suara sah dalam pemilu.
“Jadi memang capres dan cawapres sejak awal didesain kelasnya sebagai calon pemimpin negara/nasional, bukan sekadar pemimpin lokal tertentu saja atau pemimpin kelompok atau golongan tertentu saja,” kata Tjahjo.
Terlepas dari argumentasi yang dibangun oleh pihak yang setuju maupun yang menolak ketentuan presidential threshold ini, hanya putusan MK yang diharapkan dapat mengakhiri polemik tersebut, sehingga polemik soal ambang batas pencalonan presiden tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan Pemilu 2019.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti