Menuju konten utama
Fadhli Ramadhanil

Peneliti Perludem: UU Pemilu Bisa Menyulitkan Jokowi Sendiri

Jokowi pun harus berjuang untuk mendapat sokongan memenuhi presidential threshold di angka 20 persen (perolehan kursi DPR) atau 25 persen (raihan suara sah nasional).

Peneliti Perludem: UU Pemilu Bisa Menyulitkan Jokowi Sendiri
Presiden Joko Widodo menaiki mobil golf menuju Pusat Primata Schmutzer ketika mengunjungi Kebun Binatang Ragunan Jakarta, Kamis (29/6). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Setelah melalui perdebatan alot dan diwarnai aksi walkout sejumlah fraksi di DPR, Undang-Undang (UU) Pemilu akhirnya disahkan secara aklamasi. Salah satu poin penting yang terdapat di dalam undang-undang tersebut adalah penetapan presidential threshold di angka 20 persen (perolehan kursi DPR) atau 25 persen (raihan suara sah nasional) bagi partai yang ingin mengusung calon presiden di Pemilu 2019.

Apa konsekuensi yang mungkin terjadi dari keputusan itu?

“Menyulitkan Presiden Jokowi sendiri jika nanti mencalonkan diri kembali menjadi presiden periode 2019-2024,” kata peneliti hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadhli Ramadhanil melalui pesan singkat kepada Tirto, Jumat (21/7).

Fadhli mengatakan Jokowi harus berusaha mengumpulkan dukungan politik minimal sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional. Dalam konteks ini, tidak ada yang menjamin partai-partai politik di DPR, termasuk yang saat ini menjadi koalisi pemerintah, akan memberikan dukungan dengan mudah kepada Jokowi.

“Tidak ada yang bisa menjamin, bahwa Presiden Jokowi akan dengan mudah mengumpulkan syarat dukungan pencalonan presiden senilai 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah pemilu nasional,” ujarnya.

Fadhli mengatakan ketentuan angka ambang presidensial dalam UU Pemilu tidak relevan dengan penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif yang berlangsung serentak pada 2019 mendatang. Argumentasi sederhananya, kata Fadhli, tidak ada basis angka hasil pemilu legislatif yang bisa dijadikan dasar untuk prasyarat pencalonan presiden, karena pemilu parlemen dan presiden dilaksanakan secara serentak.

“Sebagaimana Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak, di mana Pemilihan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD akan dilaksanakan di waktu yang bersamaan,” katanya.

Menurut Fadhli, presidential threshold juga bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NKRI 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden.

Selain bermasalah secara kontitusional, secara politik ketentuan ambang batas pencalonan presiden juga akan menimbulkan persepsi bahwa Presiden Jokowi tengah membatasi kesempatan partai atau warga negara lain bisa maju menjadi pasangan calon presiden.

Perdebatan sengit yang terjadi dalam RUU Pemilu, menurutnya, menunjukkan kepentingan jangka pendek para pembentuk undang-undang. Salah satunya adalah naiknya jumlah minimal sumbangan dana kampanye kepada peserta pemilu tapi tidak diiringi pengaturan akuntabilitas, transparansi, pengawasan, penegakan hukum, dan sanksi bagi peserta pemilu yang melanggar.

“Tidak ada perdebatan tajam nan serius, untuk membangun sebuah sistem elektoral yang jauh lebih kuat, berkeadilan, dan demokratis berdasarkan pengalaman pemilu dan proses elektoral sebelumnya,” katanya.

Politikus Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo membantah Undang-Undang Pemilu yang disahkan pemerintah bersama DPR hendak membatasi jumlah pesaing Jokowi di pemilu presiden 2019. Menurutnya, angka presidential threshold yang berlaku di UU Pemilu sekarang sama dengan yang digunakan saat pemilu presiden 2009 dan 2014.

“Jadi saya kira di dalam praktik kita sudah memiliki pengalaman untuk itu. Perdebatan konstitusionalitasnya menurut saya sudah berakhir,” kata Arif di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (20/7).

Arif mengatakan partainya mempersilakan pihak-pihak yang ingin mengajukan judicial review (uji materi) RUU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Termasuk apabila uji materi itu diajukan oleh partai politik yang berbeda pandang dengan pemerintah. “Itu adalah ranah dan kewenangan Mahkamah Konstitusi,” tuturnya. “Jangankan partai politik, setiap orang pun memiliki hak [mengajukan gugatan].”

Menurut Arif, MK tidak mempersoalkan besaran presidential threshold dalam pemilu, sebab MK memandang penentuannya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (DPR). “Kalau pembentuk undang-undang mau memutuskan 0 persen, 15 persen, 20 persen, itu adalah kewenangan pembentuk undang-undang,” katanya.

Berbeda dengan Arif, Sekretaris Jendral DPP Partai Muzani menilai angka presidential threshold dalam RUU Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa akhirnya Gerindra meninggalkan ruang sidang paripurna sebelum RUU disahkan menjadi UU.

“Gerindra setuju untuk mengambil keputusan pada malam hari ini. Tapi jika ada isu presidential threshold yang akan diambil pada malam hari ini, itu tetap akan berlawanan dengan konstitusional dan undang-undang dasar di negara ini,” kata Muzani.

Baca juga artikel terkait RUU PEMILU atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maulida Sri Handayani