Menuju konten utama
Pilpres 2024

MK Siap Putuskan Batas Usia Cawapres, Benarkah untuk Gibran?

MK siap putuskan batas usia Capres-Cawapres. Benarkah untuk muluskan langkah Gibran?

MK Siap Putuskan Batas Usia Cawapres, Benarkah untuk Gibran?
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di acara Hari Veteran Nasional di Solo, Kamis (10/8/2023). ANTARA/HO-Humas UNS

tirto.id - Isu putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, akan menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto menghiasi headline berbagai media belakangan ini.

Sejumlah DPC Partai Gerindra di berbagai daerah pun turut mengembuskan isu yang sama: mendeklarasikan duet Prabowo-Gibran. Di antaranya DPC Gerindra Lombok Tengah, DPC Gerindra Jakarta Timur, hingga DPD Gerindra Jawa Barat.

Isu Gibran bakal maju ini berdekatan dengan uji materi batas usia Capres-Cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan diputuskan pada Senin, 16 Oktober 2023 pukul 10.00 WIB.

Langkah Gibran terhalang oleh umur. Saat ini, dia berusia 36 tahun, sementara batas usia Cawapres adalah 40 tahun.

Prabowo sendiri mengakui bahwa pihaknya akan mengumumkan nama Cawapres usai sidang pembacaan putusan MK mengenai usia batas usia Capres-Cawapres pada Senin, 16 Oktober.

"Ya kita tunggu keputusan MK," kata Prabowo, Rabu, 11 Oktober 2023.

Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming sempat mengomentari soal gugatan MK. Dia meminta publik tidak terus mengaitkan hal itu dengan dirinya dan fokus saja pada pihak penggugat. Gibran bahkan mengaku tidak tahu tentang jadwal putusannya.

Deklarasi dukung pasangan Prabowo-Gibran di Kudus

Sejumlah pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra membacakan deklarasi mendukung Prabowo-Gibran di Kantor DPC Gerindra, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (11/10/23). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/tom.

MK akan Putuskan Gugatan Capres-Cawapres

Mahkamah Konstitusi (MK) siap bacakan putusan hasil uji materi batas usia Capres-Cawapres pada Senin, 16 Oktober 2023 pukul 10.00 WIB.

Ketua MK, Anwar Usman telah mengkonfirmasi bahwa keputusan akhir sudah disepakati oleh MK dalam Rapat Permusyawatan Hakim (RPH) yang dihadiri oleh sembilan orang hakim MK pada Selasa petang, 10 Oktober 2023.

Antara News melaporkan, uji materi batas usia Capres-Cawapres itu menyasar Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menyebut bahwa batas usia minimal Capres-Cawapres adalah 40 tahun.

Gugatan perkara uji materi diajukan oleh beberapa pihak termasuk Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), meminta batas usia Capres-Cawapres diubah menjadi 35 tahun.

Sementara itu, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Garuda Yohanna Murtika meminta MK mengubah kalimat dalam regulasi itu menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah”.

MK tolak uji materi UU Cipta Kerja

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/10/2023). Majelis hakim MK menolak permohonan para pemohon untuk perkara nomor 40/PUU-XXI/2023 karena dinilai tidak beralasan menurut hukum. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

Kritik yang Terjadi Bila MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

Sejak uji materi terhadap batas usia minimal Capres-Cawapres dibunyikan, banyak yang menganggap ini adalah salah satu manuver politik jelang Pilpres 2024.

Pihak yang menjadi sorotan utama ketika membahas batas minimal usia Capres-Cawapres adalah putra sulung Presiden Jokowi Dodo sekaligus Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka.

Pasalnya, tidak sedikit yang mengira bahwa gugatan uji materi di MK ini adalah salah satu upaya untuk memuluskan rencana mengusung Gibran menjadi Cawapres. Sebab, saat ini Gibran masih berusia 36 tahun sehingga masih terkendala regulasi.

Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, mengatakan MK harus sangat berhati-hati dalam memberikan keputusan.

Dia mengingatkan, para hakim MK supaya terbebas dari kepentingan politik saat mengambil keputusan. Menurut Airlangga, harga diri MK akan dipertaruhkan dalam keputusan perkara ini.

“Mengambil kebijakan yang langsung berhubungan dengan kontestasi antar kekuatan politik dapat mengundang kritikan terkait dengan dimensi etik, seperti imparsialitas. Dalam konteks ini, maka yang dipertaruhkan adalah muruah dari Mahkamah Konstitus,” ucap Airlangga dikutip Antara News.

Airlangga juga menjabarkan, apabila memang MK mengabulkan gugatan, dikhawatirkan MK akan dianggap sebagai alat politik dari kekuasaan.

Dia menggarisbawahi banyaknya desas-desus di balik gugatan itu yang menyebut jika gugatan dikabulkan, Gibran akan dipinang jadi Cawapres dalam Pilpres 2024.

Bila memang terjadi, Airlangga menilai, hal itu akan otomatis mempengaruhi harga diri Presiden Jokowi, yang akan dianggap publik menggunakan lembaga MK dalam strategi kekuasaannya.

Sebagai catatan, Ketua MK, Anwar Usman adalah ipar Presiden Jokowi. Pada Mei 2022 lalu, Anwar Usman resmi menjadi suami Idayati, adik Jokowi, usai menjalani akad nikah di Gedung Graha Saba Solo.

Dengan demikian, Airlangga memberi saran kepada MK, jika memang akan mengabulkan gugatan, akan lebih bijak disertai dengan catatan tambahan yang menyatakan bahwa keputusan itu mulai berlaku setelah Pilpres 2024.

“Sehingga, MK tetap dapat menjaga integritasnya dan tidak terseret oleh pusaran kekuasaan dalam kontestasi electoral Pilpres 2024,” pungkasnya.

Tidak hanya Airlangga, Pengamat Hukum dan Tata Negara sekaligus dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti, pada Rabu, 11 Oktober 2023 juga memberikan tanggapannya terkait uji materi batas usia Capres-Cawapres.

Bivitri dengan tegas mengatakan, jika ditilik dari kacamata keilmuan, seharusnya MK memang tidak menerima gugatan itu. Sehingga, kata dia, regulasi itu seharusnya memang tetap 40 tahun.

MK saat ini, menurut Bivitri, diduga sedang menghadapi desakan yang akan merusak sistem ketatanegaraan Indonesia.

Tidak hanya itu, Bivitri juga menyinggung bahwa perkara perubahan aturan Pemilu tidak seharusnya diputuskan oleh lembaga yudikatif, melainkan tugas DPR dan pemerintah.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Hukum
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Alexander Haryanto