tirto.id - Lebih dari separuh milenium, tak ada manusia yang menyaksikan seorang Paus mengundurkan diri. Tradisinya, umat Katolik di dunia akan merayakan terpilihnya seorang Paus baru ketika Paus lama telah meninggal.
Paus Benediktus XVI adalah anomali.
Ia menggemparkan dunia saat mengumumkan pengunduran dirinya pada 11 Februari 2013. “Saya harus mengakui ketidakmampuan saya,” katanya dalam pidato berbahasa Latin. Beberapa pekan kemudian, pada 28 Februari 2013, tepat hari ini 7 tahun lalu, Paus Benediktus XVI secara resmi melepaskan jabatan kepausannya.
Dia beralasan sudah tak punya cukup kekuatan mental dan fisik untuk menjadi pontifex maximus bagi 1,2 miliar umat Katolik di seluruh dunia. Tapi tentu saja alasannya tak dimakan bulat-bulat oleh semua orang.
Sutradara Fernando Meirelles dalam film teranyarnya, The Two Popes, punya interpretasi sendiri. Dalam film keluaran Netflix yang dirilis pada akhir November 2019, Paus Benediktus XVI yang diperankan Anthony Hopkins sempat melempar sepotong dialog begini:
“Ada pepatah, Tuhan akan mengoreksi satu Paus dengan menghadiahi dunia seorang Paus lain. Aku ingin menyaksikan perbaikan itu.”
Ia tengah meyakinkan Kardinal Jorge Bergoglio—yang diperankan dengan mantap oleh Jonathan Pryce—tentang keputusannya mundur dari singgasana Paus. Bukan cuma kalimat itu yang mengejutkan. Di ujung film, spoiler alert, dalam adegan pengakuan dosa Paus Benediktus pada Kardinal Bergoglio, secara amat samar-samar kita akan mendengar nama Marcial Maciel disebut.
Bagi siapapun yang mengikuti berita mengenai Katolik dengan cukup baik, nama itu adalah konotasi buruk. Marcial Maciel Degollado, pendiri ordo imam Legionaries of Christ, adalah seorang pedofil berantai. Ia dekat dengan Paus Yohanes Paulus II, pemimpin Katolik sebelum Paus Benediktus, yang menyangkal dan “menyembunyikan” dosa-dosa Marcial Maciel.
Naskah yang ditulis Anthony McCarten (Theory of Everything, Darkest Hours, Bohemian Rhapsody) ini memang memotret alasan Paus Benediktus XVI memilih pensiun bukan cuma karena masalah kesehatan. Di ujung The Two Popes, sutradara Meirelles membingkai proses pengakuan dosa itu samar-samar, berjarak, dan seperti di bawah genangan air, dengan tujuan yang jelas: bahwa Paus Benediktus XVI mengakui kejahatan-kejahatan kekerasan seksual yang dilakukan para klerus Vatikan. Meski pengakuan dosa itu hanya jadi rahasianya dengan Kardinal Bergoglio, yang kelak jadi Paus penggantinya.
Tekanan pada Vatikan terkait terbongkarnya kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan para klerus (pastor, kardinal, uskup) memang jadi sorotan utama selama kepemimpinan Paus Benediktus XVI.
Dosa Vatikan
Lebih dari 30 tahun setelah skandal pertama kali meletus di Irlandia dan Australia dan 20 tahun setelah skandal itu melanda Amerika Serikat, para uskup dan pejabat Katolik di banyak negara Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia masih menyangkal bahwa pelecehan seksual terhadap para klerus ada di lingkungan mereka, atau berusaha untuk mengecilkan masalah tersebut.
Para korban pelecehan dan kekerasan seksual adalah anak-anak seminari baik laki-laki dan perempuan, juga para biarawati. Dalam beberapa kasus, biarawati dijadikan budak seks disertai tindak kekerasan dan dipaksa aborsi.
Kasus pelecehan seksual di lingkungan Gereja Katolik sudah menjadi kasak-kusuk sejak era kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II (1978-2005). Pada 1980-an, menanggapi gelombang tuntutan hukum atas kasus pelecehan di lingkungan gereja, para uskup di Amerika Serikat menginginkan agar Vatikan menindak para imam pedofil.
Mereka ingin agar orang-orang seperti itu segera dikeluarkan dari institusi demi nama baik. Tetapi Paus Yohanes Paulus II bergeming, sampai akhirnya tim Spotlight dari koran Boston Globemerilis laporan tiga tahun sebelum ia meninggal.
Mereka merilis 600 cerita korban pada 2002 silam, membuka tirai yang selama ini ditutup rapat-rapat. Kasus serupa juga dilaporkan terjadi di berbagai penjuru dunia seperti Australia, Republik Dominika, Belanda, Austria, Jerman, Spanyol, Swiss, Brasil, Irlandia, India, dan Amerika Serikat dengan pelaporan waktu kejadian yang berbeda-beda.
Indonesia pun tak luput dari cerita serupa. Vatikan mengirim tim penyidik untuk menyelidiki tuduhan terhadap mantan Uskup Keuskupan Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur, Mgr. Hubertus Leteng. Hubertus diduga terlibat dalam hubungan terlarang dengan seorang wanita dan menggelapkan dana gereja senilai lebih dari Rp1 miliar. Namun penyelesaian kasus Mgr. Hubertus juga menuai kritikan tajam pada Vatikan dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) karena ia hanya dipindahtugaskan ke Bandung.
Sepanjang kepemimpinan Benediktus XVI, ia sebenarnya tidak tinggal diam menyikapi kasus pelecehan seksual. Dua tahun penuh dari 2011 sampai 2012, sebanyak 385 pastor yang diduga kuat sebagai predator seksual didepak dari Gereja Katolik. Pada 2012 Paus Benediktus XVI juga mengadakan pertemuan yang dihadiri 100 perwakilan uskup dan membahas perkara kasus pelecehan seksual. Sang Paus pun meminta maaf kepada para korban dan berbicara tentang bagaimana cara menghilangkan kasus serupa ke depan.
Itu sebabnya banyak yang menyangsikan dan cenderung mengutuk penggambaran Paus Benediktus XVI yang ditampilkan amat konservatif dalam naskah McCarten. Salah satunya penulis Katolik John Waters yang menulis esai panjang membela Paus Benediktus XVI dengan judul "The Two Popes, Too Many Untruths".
Waters nyaris mengkritik semuanya: mulai dari pengetahuan musik Paus Benediktus XVI sampai sikap abainya pada kasus kekerasan seksual yang dipotret The Two Popes. “Keliru dan fitnah keji,” tulisnya.
Jurnalis John Cornwell dari Vanity Fair yang biasa menulis tentang Vatikan juga sempat membedah isi The Two Popes, membedakan fiksi dan fakta—yang katanya, “Menunjukkan sejumlah hal yang tak pernah terjadi, mulai dari penawaran pengunduran diri secara langsung Kardinal Bergoglio sampai Paus Benediktus XVI yang main piano.”
Buatnya sendiri, alasan Paus Benediktus XVI mundur yang paling masuk akal adalah ketidaksanggupan menghadapi tsunami masalah gereja di usia lanjut yang rentan. Meski di saat bersamaan Cornwell juga mempertanyakan kemasukakalan alasan itu, sebab semua Paus sebelum Benediktus XVI—setidaknya semua yang pernah dilihatnya seumur hidup—memang duduk di singgasana ketika sudah uzur.
“Mungkin memang ada alasan lain?” tulis Cornwell.
Hasrat Ingin Melihat Kepausan Berikutnya?
Benediktus XVI memang bukan Paus pertama yang pernah mengundurkan diri dari singgasana pemimpin tertinggi Vatikan. Paus terakhir yang mengundurkan diri adalah Gregorius XII pada 1415 untuk menghentikan perang saudara dalam gereja yang dikenal dengan nama Skisma Barat Besar. Sebelumnya, pada 1294, Paus Selestinus V mengundurkan diri setelah hanya lima bulan berkuasa. Dia berharap bisa kembali hidup di biara, tetapi penerusnya justru memenjarakan dia hingga meninggal.
Tapi Benediktus XVI tampaknya jauh lebih beruntung. Ia masih tinggal di Vatikan dan tidak dikembalikan jadi Uskup, melainkan bertitel Pope Emeritus. Dengan percakapan eksklusif dengan jurnalis Jorg Bremer, ia meminta dipanggil “Romo Benediktus” saja.
Sayangnya, keberadaan Benediktus XVI di Vatikan dinilai sebagian pihak sebagai hambatan buat agenda penerusnya, Paus Fransiskus, yang lebih progresif dan terkenal baik di kalangan liberal. Cornwell, dalam tulisan lain, mengatakan cara Paus Fransiskus dan Paus Benediktus mendengarkan konflik bisa memecah Gereja Katolik. Sebab Fransiskus memang sering jadi kepala berita karena keputusan-keputusannya yang berani dan berbeda dari paus-paus sebelumnya, termasuk Benediktus, misalnya dalam cara memandang penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual oleh klerus.
Meski sempat bersuara dan meminta maaf perihal kasus-kasus kekerasan seksual oleh klerus Gereja Katolik di seluruh dunia, Benediktus XVI juga menuai kritik lantaran ia tampak timpang dalam menegakkan doktrin gereja yang kaku. Sementara Paus Fransiskus telah menyerukan agar seluruh Gereja Katolik di dunia terbuka dan mulai serius menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Salah satu kasus mencolok yang menggambarkan kekakuan Benediktus XVI adalah kasus biarawati Margaret McBride yang duduk di komite etika di sebuah rumah sakit Katolik di Kota Phoenix, Arizona, AS. Ia dijatuhi ekskomuni (sanksi pengucilan karena pelanggaran berat) pada 2009 karena merestui aborsi kepada seorang pasien wanita yang sakit parah akibat gagal jantung dan sedang mengandung janin 11 minggu.
Dokter bilang bahwa jika wanita tersebut melanjutkan kehamilannya sampai sembilan bulan, risiko kematiannya mendekati 100 persen.
Kasus tersebut menyedot perhatian publik lantaran di saat bersamaan untuk menghukum predator seksual di Gereja Katolik butuh waktu berpuluh-puluh tahun dan berbelit-belit. Padahal apa yang dilakukan para pelaku pelecehan juga sama-sama menyalahi doktrin gereja dan tidak sedang menyelamatkan nyawa orang seperti yang dilakukan McBride.
Maka tak heran bahwa masih banyak orang yang menduga keputusan Paus Benediktus XVI untuk mengundurkan diri adalah karena tak sanggup mengurusi masalah-masalah besar yang dihadapi Vatikan. Namun jawaban itu hanya bisa dijawab sendiri oleh sang Paus Emeritus, yang, menurut Cornwell, mungkin saja ingin memenuhi “nafsu” terakhirnya yang terlalu kuat untuk bisa melihat dan bahkan memengaruhi kepausan berikutnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan