tirto.id - Wacana pembangunan Light Rail Transit (LRT) di kawasan Bandung Raya mulai berhembus sejak periode kedua kepemimpinan Gubernur Ahmad Heryawanl, sekitar tahun 2016. Selain diklaim sebagai cara mengurai kemacetan, moda transportasi layang ini digadang-gadang menjadi penunjang aksesibilitas Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang juga mulai dibangun sejak awal 2016.
Namun, wacana pembangunan LRT terhenti di tahun ketiga. Padahal pada 2019 itu, lelang sudah dibuka, dan pemenang jatuh ke tangan Singapore Mass Rapid Transit (SMRT). Korporasi yang dimiliki Temasek Holdings ini menang lelang sebesar Rp3,2 triliun buat menggarap koridor I LRT Bandung.
Kala itu Gubernur Jawa Barat, yang sudah berpindah ke Ridwan Kamil, mengatakan ihwal titik lintasan LRT sudah ditentukan dan pengerjaan konstruksi segera digarap. Tapi nyatanya tak ada implementasi sampai tahun 2025 ini.
Satu di antara faktor pembatalan proyek adalah tarif yang dinilai kelewat mahal, yakni Rp90 ribu per penumpang lantaran tak disubsidi. Lain itu, kajian studi proyek juga dianggap pemerintah daerah belum matang.
Pemerintah Kota Bandung akhirnya memutuskan terminasi proyek dengan SMRT pada 2020. Mereka kemudian mengatakan bakal melakukan tender ulang, meski belum bisa memastikan kapan kajian studi proyek rampung. Melihat progresnya, dari tahun 2020 sampai 2022, praktis tidak ada perkembangan wacana proyek yang berarti.
Barulah setahun kemudian, akhir 2023, Presiden ke-7 Joko Widodo mengeluarkan instruksi. Jokowi mengarahkan Penjabat Pelaksana Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin untuk mempercepat kajian studi.
Titah Jokowi keluar setelah Kereta Cepat Jakarta-Bandung rampung. Proyek tersebut merupakan program unggulan Jokowi, yang belakangan disebut menjadi bom waktu buat PT Kereta Api Indonesia (KAI).
“Pak Presiden meminta agar kajian LRT di Kota Bandung ke arah selatan segera dilaksanakan, karena harus segera dilakukan transportasi publik yang berbeda, yang benar-benar baru,” kata Bey, melansir Detik.
Tak lama kemudian, Dinas Perhubungan Jawa Barat mengungkap pembangunan LRT Bandung ditarget mulai 2027. Kadishub Jabar saat itu Koswara bilang ada pembangunan dua koridor yang menjadi prioritas. Anggaran untuk dua jalur koridor itu diestimasikan tembus Rp26 triliun yang semuanya berasal dari skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU.
Merujuk dokumen pra-studi kelayakan LRT Bandung, koridor I membentang dari kawasan Babakan Siliwangi sampai Leuwipanjang. Untuk sampai dari ujung ke ujung mesti melintasi 15 stasiun yang di dalamnya melintasi enam kecamatan. Adapun koridor II terbentang lintasan rel yang terdiri 16 stasiun. Belasan stasiun menghubungkan kawasan Kebon Kopi hingga Antapani.
Memasuki 2025, Kementerian Perhubungan melangsungkan pertemuan dengan Pemerintahan Perancis. Dalam temu bilateral itu, Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi mengatakan proyek LRT Bandung juga ikut disinggung.
Pada tahun yang sama, di bawah Gubernur Dedi Mulyadi, proyek LRT kembali digaungkan. Dedi bersama Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menyepakati berbagi beban pembangunan proyek. Dedi bilang sudah membicarakan alokasi anggaran Rp1 triliun kepada Pj Gubernur Jabar Bey untuk mendukung proyek tersebut.
“Kalau saya sih sudah salaman, pasti saya wujudkan. Tinggal persoalan Rp1 triliun dibagi 3/4:1/4 bisa enggak? [Maksudnya] 3/4 provinsi dan 1/4 kota,” ujar Dedi saat berbincang dengan Farhan.
LRT Bandung Solusi Macet Kota Bandung?
Pakar transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan tarik-ulur proyek LRT Bandung berpangkal dari ketidaksiapan fiskal dan kajian studi proyek. Pemangku kepentingan Kota Bandung, termasuk Jawa Barat semestinya lebih dulu memetakan apa kebutuhan transportasi massal yang menjawab masalah kemacetan.
Bandung menjadi kota yang menggantikan Jakarta sebagai kawasan termacet di Indonesia. Menurut laporan tahunan TomTom Traffic Index 2024. Dalam laporan itu, waktu perjalanan per 10 kilometer perjalanan di Kota Bandung disebut rata-rata tembus 32 menit 37 detik. Dengan rerata waktu tempuh itu, diperkirakan waktu yang hilang akibat macet sewaktu jam sibuk mencapai 108 jam dalam setahun.
“Membangun kereta itu mahal, apalagi kalau layang (LRT). Sekitar 5 tahun lalu saja, per kilometernya senilai Rp500 miliar. Itu belum [termasuk biaya pembangunan] sarana prasarananya,” kata Djoko kepada Tirto, Senin (22/9/2025).
Djoko mengatakan masuknya modal swasta atau asing tak sekonyong-konyong. Para investor bakal melihat prospek proyek secara detail. Jika keuntungan dinilai tak sebanding dengan biaya produksi, maka investor bisa saja mengurungkan niat.
“Kalau ke swasta, mereka akan berpikir soal kemampuan membayar masyarakatnya. Karena apapun transportasi publik itu pasti ada subsidi untuk bisa beroperasi,” kata dia.

Dia mengingatkan subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk KRL Jabodetabek saja tembus Rp1,6 triliun untuk 1,1 jutaan penumpang setiap harinya. Sehingga, skema KPBU bakal menempatkan Indonesia dalam posisi sulit membayar utang.
Meski begitu, Djoko mengatakan pemerintah bisa menyiasati swasta atau asing agar melirik proyek LRT Bandung melalui cara pemberian kompensasi. Sebab, mengandalkan cuan dari operasional LRT tidak akan menambal beban utang. “Opsi yang bisa ditawarkan ke swasta adalah pemberian akses untuk aset properti sebagai kompensasi karena minimnya pendapatan dari penumpang. Itu hitung-hitungan dari pemda dan pusat. Itu yang juga jadi pertimbangan swasta mau masuk,” ujar dia.
Ihwal kajian studi, Djoko mewanti-wanti perlu adanya pembahasan secara menyeluruh. Jika yang menjadi ekspektasinya adalah sebagai pengumpan atau feeder bagi Kereta Cepat Jakarta-Bandung, semestinya transportasi pendukung lainnya diperhitungkan juga eksistensinya.
Oleh karena itu, tidak perlu memaksakan pembangunan LRT jika memang tidak mengatasi persoalan.
Terlebih, kawasan Bandung yang ramai perumahan. Hal ini harus jadi pertimbangan utama dalam kajian studi sebelum memutuskan proyek dilanjut. Integrasi LRT dengan transportasi lain dinilai akan sulit menjamin penumpang sampai rumah dengan terus menggunakan transportasi umum. Alih-alih kajian studi tidak bersifat detail, kata Djoko, proyek LRT justru akan sulit dipasarkan ke investor.
Hal senada juga diungkap Senior Transportation Associate ITDP Indonesia Mizandaru Wicaksono. Keberadaan transportasi umum lainnya yang selama ini beredar bakal menjadi titik pertimbangan investor. Keberadaan LRT dinilai akan tumpang tindih dengan angkot hingga bus.
“Kalau menggunakan KPBU, sulit rasanya bagi swasta [masuk], kalau belum melihat keuntungan sehingga sulit lanjut,” kata Mizandaru kepada Tirto, Senin (22/9/2025).
Sehingga, dia mengingatkan perlu ada penentuan ulang lintasannya dalam kajian studi teranyar. Tak kalah penting, titik stasiun juga mesti ditentukan secara serius.
“Integrasinya kami mendorong ke rute yang belum terlayani. Karena biasanya rute-rute yang belum terlayani angkot, justru penumpangnya akan jauh lebih sedikit. Ujung-ujungnya tidak mengakomodir kepentingan masyarakat,” tutur dia.
Pendekatan yang bisa diambil misalnya, mengintegrasikan operator angkutan umum yang telah ada untuk menjadi pengumpan bagi LRT Bandung.
Masalah konflik sosial dan kerja sama dengan pihak swasta atau asing, juga mesti dipikirkan pemerintah. Pakar kebijakan publik, Agus Pambagio yang pernah terlibat dalam kajian studi Kereta Cepat Jakarta-Bandung, mengingatkan dua hal tersebut.
Sebab wilayah Bandung padat pemukiman dengan kontur tanah berundak atau naik-turun. Sehingga penggusuran tidak bisa terelakan.
“Mau gusur berapa orang? Belum lagi saat pembangunan, mau bikin macet seperti apa? Lalu skema KPBU, saya tidak setuju karena KPBU dengan BUMN Karya misalnya, kan (mereka) di ujung tanduk dan sekarang merger,” ungkapnya kepada Tirto, Senin (22/9/2025).
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































