Menuju konten utama

Merajut Tradisi, Menerobos Digital: Kisah Nyata Aksara Nusantara

Teknologi menjadi jembatan utama bagi pelestarian warisan budaya.

Merajut Tradisi, Menerobos Digital: Kisah Nyata Aksara Nusantara
Header Perspektif Heru Nugroho. tirto.id/Fuad

tirto.id - Di tengah gempuran teknologi yang terus mendefinisikan ulang cara kita hidup, muncul sebuah pertanyaan mendasar: bagaimana warisan budaya kita bisa tetap relevan dan lestari? Sering kali, kemajuan teknologi dan tatanan nilai budaya dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan, menciptakan kekhawatiran bahwa identitas luhur kita akan tergerus oleh arus digital.

Namun, dari perjalanan yang telah saya lalui dalam upaya menjaga warisan bangsa, saya berani katakan bahwa harmonisasi antara tatanan nilai budaya dan teknologi bukanlah sekadar jargon, melainkan sebuah keniscayaan yang sedang kita wujudkan secara konkret.

Perjalanan Merajut Dua Dunia: Belajar dari Lapangan

Beberapa waktu, saya berkesempatan terlibat dalam dua inisiatif penting yang secara sempurna menggambarkan simfoni antara budaya dan teknologi. Ini bukan hanya tentang konsep, melainkan tentang implementasi nyata yang dampaknya mulai terasa.

Salah satunya adalah upaya digitalisasi aksara Nusantara. Di sini, teknologi menjadi jembatan utama bagi pelestarian. Saya menjadi bagian dari proses mendigitalisasi aksara-aksara kuno seperti Jawa, Sunda, dan Bali ke ranah digital, setelah melalui standarisasi Unicode yang dilakukan bersama beberapa pegiat aksara nusantara, baik yang tinggal di dalam dan luar negeri.

Langkah fundamental ini membuat aksara-aksara tersebut memiliki kode unik, sehingga bisa diketik, dibaca, dan ditampilkan dengan benar di berbagai perangkat digital—mulai dari ponsel cerdas hingga aplikasi media sosial yang kita gunakan setiap hari. Menyaksikan warisan nenek moyang kini bisa hidup dan berinteraksi di dunia maya adalah sebuah capaian yang patut disyukuri.

Apa sebenarnya peran Unicode dalam hal ini?

Unicode adalah standar internasional yang menyediakan cara untuk merepresentasikan teks dari berbagai bahasa dan aksara di komputer. Ibaratnya, Unicode adalah kamus global yang memberikan "nama sandi" unik untuk setiap karakter, termasuk aksara Nusantara. Tanpa Unicode, setiap komputer atau software bisa jadi "tidak mengerti" bagaimana menampilkan aksara kita, sehingga digitalisasi menjadi mustahil. Dengan terdaftar di Unicode, aksara Nusantara dapat diakses dan digunakan secara universal di berbagai sistem operasi dan aplikasi, memastikan keberlanjutan dan relevansinya di era digital.

Lebih jauh, keberhasilan pendaftaran ke Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk mendapatkan SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk font dan tata letak keyboard aksara Nusantara adalah bukti nyata bagaimana sebuah tatanan teknologi yang baku dapat mengakomodasi dan melestarikan kekayaan budaya. Ini memastikan aksara tidak hanya ada, tapi juga mudah diakses dan digunakan oleh generasi muda, membuat mereka kembali akrab dengan aksara leluhur di keseharian digital mereka.

Saat ini, saya juga sedang terlibat dalam upaya advokasi pengakuan aksara Nusantara sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO. Di sini, nilai budaya tampil di panggung global, tetapi dengan dukungan teknologi sebagai alat komunikasi dan koordinasi. Keterlibatan dalam proses ini membuka pemahaman saya akan dimensi geopolitik dan diplomasi budaya yang melekat pada upaya pelestarian. Pengakuan UNESCO bukan sekadar label, melainkan validasi global yang meningkatkan harga diri bangsa dan memberikan kekuatan hukum serta moral untuk melestarikan dan melindungi warisan tersebut.

Peran UNESCO

Ketika sebuah elemen budaya, seperti aksara, diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO, ia mendapatkan pengakuan internasional. Pengakuan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran global terhadap kekayaan budaya tersebut, tetapi juga sering kali membuka pintu bagi dukungan, pendanaan, dan program pelestarian yang lebih luas. Ini adalah bentuk diplomasi budaya yang kuat, menegaskan identitas dan kebanggaan nasional di mata dunia.

Yang menarik, ada strategi kolaborasi dengan Suriname, negeri di mana komunitas Jawanya masih memelihara aksara Hanacaraka dan Pegon. Upaya penyusunan proposal bersama ini sedang kami lakukan untuk dibawa ke UNESCO. Ini menunjukkan bagaimana teknologi komunikasi memungkinkan kita untuk merajut kerja sama lintas benua, membuktikan bahwa budaya kita hidup melampaui batas geografis dan memperkuat argumen di mata dunia.

Harmoni adalah Tindakan, Bukan Sekedar Kata

Dari kedua pengalaman ini, saya menyadari betul bahwa upaya digitalisasi (teknologi) dan pengajuan ke UNESCO (budaya) bukanlah pilihan yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Unicode dan SNI adalah fondasi teknis yang memungkinkan aksara kita beradaptasi dengan era digital, sementara pengakuan UNESCO memberikan legitimasi, visibilitas, dan dorongan moral yang tak ternilai bagi kelangsungan hidup aksara. Keduanya saling mengisi dan memperkuat: sebuah aksara yang sudah terdigitalisasi akan lebih mudah diterima dan diakui secara global, dan sebaliknya, pengakuan global akan memicu lebih banyak minat serta sumber daya untuk upaya digitalisasi dan penggunaannya.

Inilah yang membuat saya yakin, harmonisasi antara budaya dan teknologi tidaklah abstrak. Ia termanifestasi dalam setiap baris kode yang memungkinkan aksara Jawa muncul di layar ponsel dan dalam setiap upaya kolektif komunitas untuk menggunakan aksara mereka secara aktif di dunia digital.

Masa Depan yang Berakar Kuat

Masa depan yang kita dambakan adalah menempatkan teknologi, termasuk kecerdasan buatan yang semakin maju, tidak menjadi penyebab pudarnya budaya, melainkan menjadi kekuatan yang transformatif. Ia memungkinkan kita untuk melestarikan, memperkaya interaksi sosial yang manusiawi, dan yang terpenting, memperkuat identitas bangsa kita.

Sebagai seorang pelaku budaya dan praktisi industri internet, saya bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalanan ini. Sebuah perjalanan yang membuktikan bahwa dengan kesadaran kolektif, dialog antar generasi, dan komitmen nyata dari semua pihak, kita bisa merajut tatanan nilai budaya dan teknologi menjadi permadani indah yang membentang menuju masa depan yang harmonis, beradab, dan berakar kuat pada jati diri Nusantara.

*Penulis adalah Pelaku Budaya & Praktisi Industri Internet

Baca juga artikel terkait DIGITALISASI atau tulisan lainnya dari Heru Nugroho

tirto.id - Kolumnis
Penulis: Heru Nugroho
Editor: Zulkifli Songyanan