tirto.id - Langit malam Yogyakarta tampak lebih khusyuk dari biasanya. Ribuan manusia, dari penjuru kota hingga luar negeri, menyatu dalam suasana syahdu di Kagungan Dalem Bangsal Pancaniti, Kompleks Kamandungan Lor, Keraton Yogyakarta. Malam itu bukan malam biasa melainkan malam satu Suro, pertanda tahun baru dalam penanggalan Jawa dan Islam.
Suasana hening menyelimuti bangsal. Abdi dalem duduk tenang, membacakan tembang-tembang macapat, syair penuh makna yang mengandung doa dan pujian, dilantunkan dengan penghayatan mendalam.
Satu per satu baitnya mengalun, menembus malam yang mulai larut, menenangkan batin siapa pun yang mendengarnya.
Tak ada gemuruh, tak ada sorak. Hanya kesunyian yang anggun, seolah seluruh Keraton sedang menarik napas panjang untuk menyambut perjalanan spiritual yang akan dimulai.
Aparat keamanan bersiaga di setiap sudut, memastikan kekhusyukan tetap terjaga. Ini bukan acara yang penuh gegap gempita; ini adalah acara budaya yang sakral.
Malam makin tua, menjelang tengah malam. Ribuan orang yang telah hadir sejak selepas Isya bersiap menyongsong prosesi Mubeng Beteng, tradisi mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta sejauh kurang lebih lima kilometer dalam diam, sebagai bentuk penyucian batin dan refleksi diri.
Makin malam, derap kunjung orang tak terbendung menyelimuti area Bangsal Pancaniti. Seolah, semua menunggu dan berlalu-lalang mesra di sela-sela bacaan lantunan macapat.
Tepat pukul 00.00 WIB, dentang lonceng keraton berbunyi dua belas kali. Dentang itulah pertanda awal dimulainya Mubeng Beteng. Ribuan massa berdiri serempak, wajah-wajahnya menggambarkan semangat dan kekhidmatan. Abdi dalem perlahan mengangkat bendera-bendera, membentuk barisan terdepan. Tak hanya bendera merah putih sebagai lambang kebangsaan, tetapi juga bendera abdi dalem lainnya, walaupun tak ada embusan angin malam itu.
Gesekan telapak kaki dengan tanah mulai terdengar, harmoni langkah kaki yang menciptakan irama keheningan. Barisan pertama bergerak pelan namun pasti keluar dari Bangsal Pancaniti, menuju Alun-Alun Utara, melintasi Titik Nol Kilometer, lalu ke barat melewati Beteng Lor Kulon, ke selatan di Benteng Kidul Kulon, berlanjut ke timur di pojok Beteng Kidul Wetan, dan terakhir ke utara melewati pojok Beteng Lor Wetan sebelum kembali ke titik awal.
Antusiasme Warga Sampai Tren Lini Masa
Di tengah lautan manusia itu, ada sosok Dela, seorang perempuan asal Lampung yang kini menetap dan bekerja di Yogyakarta. Baginya nuansa ini adalah pengalaman pertamanya mengikuti tradisi Mubeng Beteng. Rasa ingin tahunya akhirnya terpuaskan untuk ikut andil dalam ritual khusyuk serta menyelami budaya yang ia temui di tampilan beranda Tiktok akhir minggu lalu.
“Awalnya cuma liat di TikTok, eh ternyata menarik banget. Banyak juga yang lelah dan akhirnya menepi di tengah jalan. Tapi buatku ini pengalaman yang sangat berkesan,” tutur Dela malam itu.
Selepas prosesi selesai, kepada Tirto.id, Dela bertekad bahwa di waktu mendatang ia tak ingin melewatkan kesempatan untuk dapat ikut kembali sebagai peserta. Baginya, ini bukan sekadar jalan kaki, tapi kesempatan memahami roh budaya Yogyakarta secara langsung.
Berbeda dengan Dela, Taqwana, seorang pria asal Jepara yang bekerja di sebuah hotel di Yogyakarta, memilih tidak ikut dalam barisan. Ia berdiri di pinggir jalan dekat Alun-Alun Utara, diam, khidmat, menunggui dan memperhatikan orang-orang yang ikut ritual.
“Pulang dari kerja, saya langsung ke sini. Saya pengen tahu seperti apa budaya menyambut Satu Suro di Yogyakarta,” katanya. Selama hampir satu jam ia menunggu, matanya tak ingin lepas dari jalanan, memastikan dirinya tak melewatkan pemandangan sakral itu.
Menyambut Tahun Baru dengan Tenang dan Khusyuk
Tradisi ini tak lepas dari inisiatif para abdi dalem. KMT Projosuwasono, seorang pengajar macapat di Keraton Yogyakarta, menceritakan bahwa Mubeng Beteng bukanlah keinginan dalem, melainkan hajat dari kawulo dalem, dari inisiatif para abdi dalem yang ingin menyambut tahun baru Jawa dengan laku batin yang tenang dan khusyuk.
Penanggalan Jawa sendiri, lanjutnya, merupakan ciptaan Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang menyatukan kalender Saka dengan kalender Hijriah. Dimulai dari tahun Saka 1555, kini tahun Jawa telah mencapai angka 1959, tahun Je Dal.
Dalam siklusnya, Jumat Kliwon yang jatuh tepat pada 1 Suro hanya terjadi setiap delapan tahun sekali.
Di sisi lain, Projosuwasono juga menyinggung bahwa pembacaan macapat sebelum prosesi Mubeng Beteng bukan sekadar hiburan, tapi juga upaya menjaga semangat para hadirin yang telah menunggu sejak sore.
“Tembang-tembang itu merupakan tafsir dari surat Al-Fatihah, dibuat oleh para wali seperti Sunan Kalijaga. Jadi ini bukan sekadar nyanyian, tapi doa dan pujian untuk keselamatan negara dan seluruh rakyat,” ujarnya.
Berbeda dengan Surakarta yang mengadakan kirab kebo bule atas perintah raja, Mubeng Beteng adalah wujud laku budaya dari rakyat untuk rakyat. Namun, kehadiran keluarga Keraton tetap terasa. Tradisi ini juga diikuti oleh Kanjeng Pangeran Haryo Yudonegoro (mantu dalem) serta Pangeran Purbodiningrat.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, yang turut hadir di Keraton malam itu, tak menampik jikalau tradisi Mubeng Beteng mengandung nilai-nilai luhur spiritual dan refleksi.
“Ini bukan sekadar jalan kaki, melainkan perjalanan batin yang sarat dengan niat, keteguhan, dan penguatan spiritual dalam menyambut tahun baru,” tuturnya, dalam sambutan acara Mubeng Beteng.
Tradisi ini, menurut Dian, adalah bekal batin untuk menyongsong masa depan. Ia berharap, doa-doa yang dipanjatkan sepanjang prosesi menjadi perlindungan untuk Sri Sultan (Ngarso Dalem), Garwo Dalem, para putra-putri dan kerabat beliau, serta seluruh masyarakat Yogyakarta.
“Semoga kesejahteraan dan keselamatan juga menyertai nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan setiap pribadi yang menjalaninya. Mari kita jaga dan lestarikan tradisi ini bersama, agar tetap lestari sepanjang masa,” katanya, menutup sambutan.
Dari tembang macapat hingga langkah-langkah kaki yang sunyi, Mubeng Beteng tak hanya menjadi laku budaya tetapi juga peristiwa spiritual kolektif, tempat manusia menyelami makna waktu, sejarah, dan keheningan yang menyucikan jiwa.
Penulis: Abdul Haris
Editor: Fadli Nasrudin