Menuju konten utama

Menyukat Urgensi RUU Perampasan Aset Koruptor yang Diabaikan DPR

RUU Perampasan Aset tak masuk prolegnas prioritas 2021, padahal aktivis antikorupsi menilai itu penting agar keuangan negara bisa dikembalikan maksimal.

Menyukat Urgensi RUU Perampasan Aset Koruptor yang Diabaikan DPR
Tersangka kasus tindak pidana korupsi yang telah ditahan oleh KPK diborgol saat akan menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (2/1/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mendorong RUU Perampasan Aset Tindak Pidana masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2021 atau 2022. Sebab menurutnya regulasi tersebut “sejalan dengan kerangka regulasi RPJMN 2021 yang dibahas dan disepakati di Bappenas.”

“RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sejalan dengan salah satu agenda Presiden tahun 2020-2024, yaitu memperkuat stabilitas politik, hukum dan keamanan, dan transformasi pelayanan publik,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Dian mengatakan peraturan ini dapat menambal bolong regulasi yang eksis saat ini, yaitu belum optimalnya penyelamatan aset khususnya hasil tindak pidana yang sukar dibuktikan dan dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang meninggal dunia. RUU Perampasan Aset berpotensi mengembalikan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya. Ia juga diharapkan dapat memberi efek jera bagi pelaku korupsi.

Peneliti dari Transperancy Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola melihat konsep pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung mengikuti tersangka dan tidak menelisik aliran uang. “Pantauan TII, dari 2014-2018, ada kurang lebih 534 perkara tipikor namun penerapan delik pencucian uang dari UU TPPU di dalam dakwaan penuntut umum hanya 23. Sangat mungkin efek jera yang selama ini diharapkan tidak benar-benar hadir,” ujar Alvin kepada reporter Tirto, Kamis (18/2/2021).

Atas dasar itu, menurutnya, RUU Perampasan Aset memang penting untuk memberikan efek jera dan maksimalisasi pengembalian kerugian negara.

“Adanya regulasi ini juga akan memaksa aparat penegak hukum bekerja lebih profesional dan mau meningkatkan kapasitas mulai dari pelacakan hingga perampasan,” imbuh Alvin.

Meskipun Indonesia memiliki regulasi perjanjian timbal balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) sehingga dapat membawa hasil tipikor yang tersimpan di luar negeri, aturan itu belum cukup karena menurutnya “prosesnya sangat lambat dan harus menyesuaikan dengan proses peradilan kriminal di yurisdiksi luar negeri.”

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut pada semester pertama 2020 lalu, total kerugian negara karena korupsi mencapai Rp 39 triliun sementara vonis pengenaan uang pengganti hanya Rp 2,3 triliun. Menurut Kurnia, data di atas semestinya bisa mendorong DPR dan pemerintah untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset, agar praktik hukum tidak “sekadar memenjarakan tapi memulihkan kerugian keuangan negara.”

“Dengan regulasi ini nantinya penegak hukum tidak perlu khawatir jika ada pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebab, yang akan menjadi objek dari penanganan perkara adalah aset milik pelaku tersebut,” imbuh Kurnia.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendukung RUU Perampasan Aset masuk dalam prolegnas prioritas 2021. Melalui Plt Juru Bicara Bidang Penindakan Ali Fikri, KPK menilai regulasi tersebut “dapat memberikan pemasukan bagi kas negara yang bisa dipergunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat.”

Tak Diprioritaskan

Peraturan ini telah diinisiasi sejak 2008 dan pernah masuk program legislasi nasional jangka menengah sejak 2015. Namun, selalu gagal masuk prolegnas prioritas. Hasil rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan Menkumham hanya menyepakati 33 RUU masuk dalam prolegnas prioritas 2021 pada 14 Januari 2021. Di dalamnya lagi-lagi tak ada RUU Perampasan Aset.

Menurut Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi, tidak semua usulan bisa masuk prioritas. DPR perlu menakar beban dan target kerja. Belum lagi rancangan ini menurutnya tak disetujui semua pihak.

“Penyusunan prolegnas itu berdasar kesepakatan DPR, Kemenkumham, dan DPD. Salah satu pihak tidak setuju maka tidak bisa prioritas. Namanya usulan silakan saja, [tapi] kami bekerja bukan dasar desakan,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.

Sebelum RUU Perampasan Aset masuk prolegnas prioritas, menurut Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman, pemerintah perlu menyamakan pandangan terlebih dulu. Selain PPATK dan Kemenkumham, kementerian dan lembaga lain harus pro-aktif memberikan masukan. PPATK pun menurutnya “perlu menjelaskan urgensi RUU ini.”

“Setelah ada kesepahaman pemerintah tentang urgensi, baru diusulkan ke DPR untuk masuk dalam prolegnas. Jika mendesak, bahkan masuk prioritas,” ujar Erif kepada reporter Tirto, Kamis.

Baca juga artikel terkait PEMBERANTASAN KORUPSI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino