tirto.id - Persepsi mengenai orang-orang lajang tak pernah berpindah dari arena kontestasi. Dengan membawa aneka justifikasi, mulai dari moralitas agama dan budaya, keuntungan ekonomi, hingga alasan kesehatan fisik dan mental, orang-orang yang menistakan kelajangan berupaya meyakinkan sekitarnya untuk menyepakati kebaikan menikah.
Namun, nilai tradisional yang satu ini kini mendapat tantangan baru dari pesatnya perkembangan teknologi informasi yang sedikit banyak membawa dampak terhadap pilihan hidup seseorang. Tren yang berkembang belakangan ini memperlihatkan kecenderungan milenial untuk menunda atau bahkan tidak tertarik pada perkawinan.
Definisi ulang mengenai kesuksesan dan kebahagiaan pun jamak ditemukan pada orang-orang usia produktif yang sedari dulu dilekatkan dengan stigma negatif bila belum atau memilih tidak menikah.
Saat nama Ira Koesno naik daun lantaran menjadi moderator debat pertama pilkada DKI Januari silam, orang-orang pun memotret sisi personalnya, termasuk statusnya yang masih lajang. Ia menjadi representasi perempuan berkarier gemilang, dianggap cerdas, dan memiliki pesona secara fisikal.
Dengan segala potensi yang ia miliki plus mengingat usianya yang sudah 40an, sebagian orang berpikir bahwa lumrah bagi Ira untuk menyandang titel sebagai istri seseorang, tetapi kenyataan berbicara sebaliknya sehingga ia menjadi bahan perbincangan di dunia digital. Ira muncul sebagai ‘anomali’ di mata masyarakat yang masih menganggap penting status perkawinan dan tampilan fisik seseorang.
Beberapa menyayangkan dirinya yang belum juga menikah, sementara yang lainnya memuja Ira yang dipandang lebih mengedepankan karier.
Budaya yang Melanggengkan Anuptafobia
Tak bisa dimungkiri bahwa konstruksi sosial membentuk pola pikir orang tentang dirinya sendiri, termasuk soal status perkawinannya.
Memiliki pengalaman seksual di luar perkawinan masih menjadi hal terlarang di masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, melembagakan hubungan menjadi pilihan prioritas untuk dapat memenuhi kebutuhan biologis seseorang, di samping itikad untuk meneruskan keturunan. Hal ini pada akhirnya menimbulkan suatu paranoid dalam diri sebagian orang yang belum memiliki pasangan hidup.
Dari kacamata psikologi, ketakutan seseorang untuk menjadi lajang sepanjang hidupnya disebut dengan anuptafobia. Hal ini berseberangan dengan gamofobia yang diartikan sebagai ketakutan terhadap pernikahan.
Dalam The Encyclopedia of Phobias, Fears, and Anxieties (3rd ed.), Ronald M. Doctor et. al. menyebutkan, orang mengalami anuptafobia karena merasa dunia ini dipenuhi oleh pasangan-pasangan. Kecemasan akan tumbuh tua dan tetap menyendiri merupakan salah satu perwujudan dari anuptafobia.
Gagasan bahwa cinta merupakan kebutuhan mendasar manusia sebagaimana dinyatakan Baumester & Leary (1995) juga mendorong orang terjerumus dalam ketakutan ini. Padahal, yang kerap luput disadari, bentuk dari cinta itu dapat beragam dan berasal dari mana saja, tak mesti dari partner romantis semata.
Besarnya pengaruh media sosial dewasa ini dikatakan Lauren Martin dalam situs Elite Daily sebagai pemicu ketakutan akan hidup sendiri ini. Ide mengenai perkawinan yang diwariskan dari para orangtua dilanggengkan oleh media sosial, contohnya melalui sejumlah posting mengenai rencana pernikahan, kehidupan berkeluarga, dan lain sebagainya.
Tak pelak, orang-orang yang mengalami anuptafobia pun kerap berupaya sedemikian rupa untuk memiliki relasi romantis dengan orang lain, termasuk dengan orang yang sebenarnya tak benar-benar disukai atau dicintainya. Ini menjadi dampak negatif pertama yang disoroti Martin.
Orang dengan anuptafobia juga cenderung bergantung dengan keberadaan seorang pendamping dan lupa bahwa kebahagiaan dapat diraih sendiri. Dongeng-dongeng percintaan yang berakhir bahagia selamanya seolah menjadi kebenaran tunggal di kepala orang-orang ini terlepas dari banyaknya informasi terkait beratnya konsekuensi dan tanggung jawab yang mesti dipikul dengan menikah.
Mengamini Media yang Merayakan Kelajangan
Menurut hasil penelitian yang dilansir situs Bentley University, usia perkawinan laki-laki dan perempuan beberapa dekade belakangan ini telah bergeser dari 23 untuk laki-laki dan 20 untuk perempuan pada 1960-an menjadi 29 untuk laki-laki dan 27 untuk perempuan.
Angka perkawinan pun kian merosot menjadi 70 persen sejak periode boomers (91 persen), late boomers (87 persen), dan era Gen X (82 persen). Data dari Pew Research juga menyebutkan bahwa sebanyak 25 persen milenial berpotensi tidak menikah sepanjang hidupnya.
Banyak argumen yang digunakan di berbagai media untuk menentang stigmatisasi lajang. Tengok saja film How To Be Single (2016) yang memberi citra baru bagi perempuan lajang. Sederet drama dan komedi romantis Hollywood sebelumnya membombardir penonton dengan gagasan indahnya relasi romantis dan khayalan hidup bahagia selamanya hingga cerita-cerita berakhir pahit-manis menjadi kurang populer di masyarakat.
Lantas ketika film yang dibintangi Dakota Johnson ini muncul, mereka yang mulanya tersisih akibat adanya stigmatisasi buruk lajang seolah mendapat penguatan. Pun demikian dengan lagu-lagu bertema lajang dan bahagia yang berupaya menggeser pelabelan terhadap orang-orang yang memilih tak berpasangan.
Theresa E DiDonato Ph.D menulis dalam situs Psychology Today dengan mengutip pernyataan Spielmann et al. (2013) bahwa seseorang yang memilih melajang akan terbiasa hidup independen, tetapi tetap mampu memelihara relasi yang kuat dan intim dengan teman-teman dan keluarga.
Associate professor di Loyola University Maryland ini pun menyatakan, dengan berfokus pada koneksi yang dimiliki seseorang dan mengembangkan hal-hal yang menjadi ketertarikannya, si lajang mampu mewujudkan hidup yang lebih sehat tanpa perlu meresahkan persoalan romansa.
Pengutamaan karier menjadi hal yang paling sering didengar dari testimoni orang-orang yang melajang. Hal ini menjadi justifikasi lain mengapa orang memilih tidak menikah.
Psikolog dan penulis buku Singled Out: How Singles Are Stereotyped, Stigmatized, and Ignored, and Still Live Happily Ever After, Bella DePaulo, Ph.D. mengungkapkan, orang-orang lajang dapat menikmati kebebasan berkarier tanpa perlu memikirkan apa kata pasangan, di mana harus bekerja, atau apakah pekerjaan yang dijalani sekarang cukup untuk mendukung relasi yang sedang dijalani. Fleksibilitas seorang lajang akan membantunya menapaki tangga karier lebih tinggi, demikian papar DePaulo dalam situs Greatist.
Deborah P. Hecker pun memberikan argumen yang sejalan dengan DePaulo dalam situs yang sama. Penulis Who Am I Without My Partner?: Post-Divorce Healing and Rediscovering Your Self ini mengatakan, “Sebagai orang dewasa, tujuan Anda adalah menjadi otonom atau independen secara psikologis.”
Memahami diri sendiri dengan lebih baik dipandang Hecker lebih prioritas, termasuk di dalamnya bagaimana seseorang mengenali identitasnya dan kemampuan untuk berempati, mencintai, mengontrol agresi, sehingga di kemudian hari dapat menciptakan relasi yang sehat dengan orang lain. Inilah yang kerap terlupakan saat seseorang berada dalam relasi romantis dengan orang lain yang dianggap sebagai kekurangan dalam kacamata DePaulo.
Tarik menarik antara dua kubu ini pun tak jarang membuat orang mengalami disonansi kognitif alias kegalauan. Sejumlah fakta-fakta yang disodorkan berbagai saluran informasi bertabrakan dengan nilai yang dipercayai sejak dulu.
Ucapan-ucapan seperti “kapan menikah?” dan “Sudah umurnya, lho. Tunggu apa lagi?” dianggap sebagai sesuatu yang wajar dilontarkan kepada para lajang tanpa menyadari bahwa hal ini tak berbeda dengan intimidasi yang mengusik konsep diri seseorang.
Segelintir orang beruntung mampu mempertahankan pendirian melajang dengan aneka jawaban. Sementara yang lainnya, patah arang dan termakan stigmatisasi buruk lajang dan lupa bahwa bahagia seyogyanya dimulai dari perasaan kecukupan diri terlebih dulu.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani