Menuju konten utama

Lajang dan Tetap Bahagia

Dalam lima tahun terakhir ada peningkatan angka perceraian. Sebanyak 70 persen gugatan cerai diajukan oleh pihak istri. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama menyebutkan perpisahan ini karena ketidaksiapan menikah seperti tidak ada tanggung jawab, persoalan ekonomi, dan kehadiran pihak ketiga.

Lajang dan Tetap Bahagia
Ilustrasi wanita dan bahagia [foto/shutterstock]

tirto.id - Nasib terbaik adalah jatuh cinta dan menikahi orang yang kita sayangi. Tapi kita tahu, kadang yang tertulis di hati tidak selalu sama dengan yang tertulis di buku nikah. Beberapa orang memilih untuk menikahi orang lain ketimbang orang yang dia cintai, bukan karena tak mampu, tapi itu adalah hal paling masuk akal yang bisa dilakukan. Beberapa bersedia melajang seumur hidup, karena tahu, lebih baik mati sendiri daripada mengkhianati yang benar-benar dicintai. Tapi hidup bukan soal menikahi orang yang kita sukai bukan? Kadang tidak menikah adalah upaya mencintai diri sendiri.

Apakah menikah itu penting? Karena kita tahu, apa yang dipersatukan dalam pernikahan sering kerapkali dipisahkan pengadilan melalui perceraian. Jika kemudian berpisah mengapa menikah? Pernikahan kerap kali dianggap satu tolok ukur kematangan dan kesuksesan seseorang. Di banyak adat, pihak perempuan kerap kali mendapat beban lebih untuk menikah. Mereka dituntut untuk sesegera mungkin menikah agar terlepas dari stigma tidak laku, perawan tua, atau bahkan perempuan yang tidak baik.

Jennifer Aniston, seorang aktris, menulis esai brilian tentang mengapa perempuan semestinya tak perlu lagi dibebankan hal semacam ini. Ia menilai saat ini perempuan mengalami objektifikasi dan dituntut untuk tunduk sesuai selera masyarakat yang patriarkis. Perempuan dituntut untuk menikah, punya anak, bisa merawat anak dan melayani suami. Pertanyaannya kemudian apakah menikah membuat seseorang bahagia?

Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Pew Research diketahui bahwa di Amerika Serikat, orang-orang yang saat ini berusia 35 tahun akan menjadi lajang untuk selamanya. Riset itu menunjukan bahwa milenial di Amerika Serikat tak lagi menganggap pernikahan itu penting. Angka anak muda Amerika Serikat yang tidak tertarik untuk menikah terus naik empat tahun terakhir dan tertinggi sejak 50 tahun terakhir.

Ada tiga alasan mengapa milenial di Amerika Serikat tidak tertarik untuk menikah. Pertama mereka belum mendapatkan orang yang tepat, kedua belum stabil secara finansial, dan terakhir belum siap untuk berkomitmen panjang. Menariknya, meski menolak menikah, banyak anak muda Amerika Serikat yang tinggal bersama pasangannya. Mereka menganggap tinggal bersama kekasih lebih stabil daripada pernikahan resmi. Perempuan dalam hal ini adalah pihak yang paling dominan menentukan sikap, karena saat ini perempuan lajang di Amerika Serikat lebih banyak daripada laki-laki yang lajang.

Tirto.id beberapa waktu lalu melakukan survei terkait fenomena ini. Kami ingin mengetahui sikap perempuan di Indonesia terkait pernikahan. Apakah mereka tertarik untuk menikah atau tidak. Target responden kami berusia 17-40 tahun dengan menggunakan instrumen penelitian kuisioner dan metode sampel non probability. Mayoritas responden berada di rentang usia: 21-26 tahun sebanyak 56,9 persen, sementara yang berusia kurang dari 20 tahun hanya 11,9 persen. Mayoritas responden yang mengikuti riset ini berasal dari Jakarta (34,2 persen), diikuti oleh Yogyakarta (8,8 persen), Surabaya (6,6 persen), Bandung (6,3 persen), dan Semarang (3,6 persen).

Dari survei itu diketahui pula sebanyak 72,8 persen responden menyatakan bahwa mereka single atau tidak memiliki pacar/pasangan. Sisanya 27,2 persen yang menyatakan memiliki pasangan. Dari seluruh responden, sebanyak 24,9 persen menyatakan mereka tidak menginginkan pernikahan. Dengan kata lain, 24,9 persen perempuan yang kami survei, baik sudah memiliki pacar atau pun lajang, menyatakan tidak ingin menikah. Sedangkan, mayoritas perempuan dalam survei kami masih menginginkan pernikahan (75,1 persen).

Untuk Jakarta, sebanyak 32,7 persen perempuan di kota ini menyatakan tidak ingin menikah. Melihat proporsinya yang lebih tinggi dibandingkan nasional (24,9 persen), maka dapat diartikan bahwa perempuan yang hidup di kota besar memiliki kecenderungan untuk memilih tidak menikah. Kebanyakan perempuan yang tak ingin menikah dalam survei kami berasal dari golongan usia 23 – 40 tahun.

Ini menunjukkan semakin bertambah usia seorang wanita, keinginannya untuk menikah semakin rendah. Menariknya fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Sebuah lembaga statistik Korea Selatan pada 2014 merilis data survei mereka. Diketahui bahwa angka perempuan yang tidak tertarik untuk menikah di negara itu masih sangat tinggi. Sebanyak 43,2 persen perempuan di Korea Selatan menganggap pernikahan bukan hal yang penting dan ini terjadi pada usia 30 tahunan.

Stephanie Coontz, sejarawan dari Evergreen State College di Washington, meneliti tentang sejarah dan konstruksi sosial pernikahan. Ia menemukan bahwa konsep pernikahan yang kita kenal sebenarnya sebuah konsep absurd yang memiliki banyak cela. Dalam bukunya yang berjudul Marriage, a History: From Obedience to Intimacy, or How Love Conquered Marriage, ia meneliti relasi lelaki dan perempuan dalam pernikahan sejak 5.000 tahun terakhir.

Coontz menyebut pernikahan dalam banyak peradaban di masa lalu terjadi karena alasan ekonomi dan politik. Juga merupakan persatuan dari dua orang yang diatur dan diselenggarakan oleh keluarga, gereja dan komunitasnya. Kate Bolick, penulis di The Atlantic, menyebut bahwa kerap kali perempuan merupakan pihak yang paling dirugikan dalam pernikahan. Mereka kerap kali hanya sekadar pilihan, alternatif, dan subjek ketimbang rekan setara. Namun seiring berjalannya waktu, perempuan mulai terdidik dan menyadari potensi diri mereka. Akibatnya, kesadaran perempuan akan pilihan untuk menentukan nasibnya sendiri pun semakin meningkat.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag) menyebutkan, angka perceraian di Indonesia lima tahun terakhir terus meningkat. Pada 2010-2014, dari sekitar 2 juta pasangan menikah, 15 persen di antaranya bercerai. Angka perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia tahun 2014 mencapai 382.231, naik sekitar 100.000 kasus dibandingkan dengan pada 2010 sebanyak 251.208 kasus. Menariknya 70 persen dari perceraian ini merupakan gugatan dari pihak perempuan.

Dalam survei kami juga menemukan dari responden yang telah memiliki pasangan, mayoritas menyatakan ingin melanjutkan hubungannya ke pernikahan sebanyak 77,1 persen. Sementara perempuan yang lajang dalam survei kami sebanyak 25,6 persen menyatakan tidak memiliki keinginan untuk menikah. Alasannya beragam mulai dari tidak memiliki ketertarikan dengan pernikahan (29 persen), menikah akan menambah masalah dalam hidup (17 persen) dan menghambat dalam menggapai karier dan cita-cita yang dimiliki (16 persen) dan terakhir tidak ingin memiliki anak (5 persen).

Survei ini menunjukkan bahwa ada kesadaran perempuan-perempuan di Indonesia untuk melawan tabu dan mengejar kesuksesan diri. Meminjam lagu Beyonce, “All the single ladies Now put your hands up, I can care less what you think.”

Baca juga artikel terkait KEBAHAGIAAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Indepth
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti