tirto.id - Di perkotaan, masyarakat tidak lagi sama. Mereka cenderung untuk terus mencari formula hidup bahagia. Pergeseran nilai pun tak terelakkan. Orang tidak lagi terikat dengan nilai agama dan sosial, yang ada adalah kebebasan. Termasuk menentukan apakah akan menikah atau tidak.
Riset tirto.id menunjukan, 24,9 persen perempuan di perkotaan enggan untuk menikah. Banyak alasannya, mulai dari sekadar tidak tertarik, ingin berkarier hingga tidak ingin direpotkan dengan keluarga.
Bagaimana sosiolog melihat perubahan ini. Simak wawancara tirto.id dengan Sosiolog Universitas Nasional Jakarta, Nia Elvina mengupas fenomena ini.
Riset tirto.id menunjukan hampir 25 persen wanita di perkotaan tidak ingin menikahi. Perubahan apa yang sebenarnya sedang terjadi di masyarakat kita?
Ini sebenarnya fenomena khas urban. Penyebabnya adalah sistem ekonomi kapitalis yang selama ini diterapkan di negara ini. Ada kekhawatiran besar soal ekonomi, bagaimana membiayai anak, takut tidak bisa hidup layak. Sistem ekonomi kita membuat orang seperti itu.
Fenomena ini sebenarnya sudah terjadi di negara maju. Ada Jepang dan Jerman yang sudah merasakannya. Anak mudanya tidak mau berkeluarga, tidak mau punya anak. Penyebabnya karena living cost-nya sangat tinggi.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, penggajian pekerja itu berdasarkan perorangan. Bukan keluarga. Kalau seorang bekerja dan gajinya itu mencakup untuk satu keluarga, mungkin orang mau untuk menikah. Karena kondisi itu, orang akhirnya berpikir, “ngapain menikah kalau cuma bikin tambah beban pikiran, mending melajang”.
Apa sudah sejauh itu pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat perkotaan?
Ya itulah faktanya. Saya kira seperti di Jakarta sudah banyak yang berpikir seperti itu. Tidak menikah itu sudah biasa sepertinya. Tuntutannya besar lho.
Apa sistem nilai yang dibangun masyarakat sudah tidak perngaruh? Di Indonesia kan agama relatif kuat dan menikah seperti sebuah kewajiban.
Iya betul, kita itu orang timur yang menjunjung tinggi nilai agama. Menikah seperti sudah kewajiban, ibadah. Tapi jangan lupa, basic utamanya adalah ekonomi. Keyakinan itu transenden, tapi ekonomi adalah kenyataan yang harus dihadapi.
Idealnya, pernikahan ini adalah sesuatu membuat orang nyaman dan bahagia. Tapi silahkan cek, angka perceraian itu tinggi bukan karena sudah tidak ada kasih sayang, tapi banyak karena masalah ekonomi. Sesuatu yang sakral, harus berhadapan dengan perut yang harus diisi.
Masalah utama bukan soal kasih sayang, itu alasan nomer keempat atau kelima. Kondisi ini yang akhirnya merubah pandangan orang, merubah kultur.
Apakah ini juga menjadi otokritik terhadap agama? Karena tidak sedikit juga yang memilih untuk hanya tinggal bersama tanpa status pernikahan.
Ada kegagalan agama menginternalisasikan nilai ke orang. Bagaimana orang mau menjalankan nilai agama kalau lingkungannya tidak mendukung. Ulama tidak care terhadap permasalahan sosial, padahal ini punya dampak besar. Kebanyakan mereka hanya mengatakan itu tidak benar, tidak sesuai dengan norma sosial di Indonesia. Tapi mereka tidak menyelesaikan masalah utamanya, ekonomi.
Termasuk yang menginginkan hidup bersama tanpa status perkawinan. Itu dianggap aib. Tapi yang ada dalam benak masyarakat urban, “yang penting gue nggak ganggu orang lain”. Mereka merasa kerja untuk dirinya sendiri dan memutuskan bebas melakukan apapun dengan batasan tidak mengganggu orang lain. Ironisnya, mereka itu hidup sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Sejak kapan kondisi ini mulai terbentuk di Indonesia?
Sejak orde lama runtuh, diganti orde baru, nilai-nilai seperti itu sudah mulai ditinggalkan, khusus di daerah perkotaan. Sistem ekonomi kapitalistik, membuat orang menjadi individualis, apa pun yang dikerjakan orientasinya profit.
Kalau kita sebagai masyarakat timur, yang dikenal ramah, suka menolong, menikah itu suatu yang dipandang wajib. Sekarang sudah nggak. Nilai bisa berubah.
Fenomena ini hanya perkotaan, di desa kedekatan, sistem kekerabatan masih tinggi. Keterikatan individu dengan masyarakatnya lebih tinggi. Di kota dalam satu komplek perumahan bisa jadi nggak kenal tetangga, mereka nggak akan rewel kalau ada yang belum nikah. Paling juga saudara-saudara terdekat yang rewel. Kenapa masih singel juga? Kalau di desa, semua pasti tanya.
Kalau ini fenomena ini terus berkembang, apa yang akan terjadi?
Kita kayak Jepang kalau begitu terus. Piramida penduduk kita bisa lebih banyak yang tua. Bisa seperti Jerman, mendatangkan anak-anak muda ke negara mereka, dengan beasiswa dan lainnya. Karena mereka kekurangan anak mudanya.
Ini seolah masalah sosial sepele ya, kecil, tapi kalau dibiarkan juga bahaya. Pemerintah harusnya juga pikir ini. Pemerintah harus sadar, soal ekonomi harus diselesaikan dulu sebelum bicara soal nilai pancasila dan lainnya.
Kalau soal nikah bukan sekadar kegalauan pribadi tapi masalah ekonomi, lantas apa yang harus dilakukan pemerintah?
Kita harus lihat masalah utamanya. Kalau saya melihat ini soal ekonomi. Ini yang merubah semua nilai. Ekstremnya begini, jangan minta orang memegang nilai religius kalau tidak mapan. Masyarakat perkotaan itu rasional dan realistis. Ngapain menikah, kalau malah tambah masalah. Pemerintah harus selesaikan masalah ekonomi, biar warganya tidak galau ingin nikah atau nggak.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti