tirto.id - Pernah dengan nasihat lama soal pernikahan yang kurang lebihnya berbunyi seperti ini: “Jika Anda seorang pria, menikahlah. Tapi jangan repot-repot mengikat tali pernikahan jika Anda perempuan.”
Anjuran tersebut memang tak berlaku di Indonesia. Mau laki-laki atau perempuan, mereka sama-sama dikejar pertanyaan “kapan nikah” jika dirasa sudah berumur menurut standar sosial. Tapi tuntutan berumah tangga lebih besar dibebankan kepada perempuan.
Jika tidak juga menikah, mereka akan mendapat label “perawan tua”. Tatanan patriark membuat mereka punya “masa kedaluwarsa” berdasarkan usia. Melewati usia 30 tahun, jika masih melajang juga, tetangga bahkan saudara tak segan menyejajarkan mereka dengan nilai sebuah barang: “tak laku”
Tentu tak ada kalimat derogatory serupa bagi laki-laki--“perjaka tua”, misalnya. Bahkan nilai mereka dianggap makin positif ketika bertambah umur. “Makin tua makin jadi,” begitulah masyarakat memberi pemakluman.
Tapi, saudara, tenang sajalah. Faktanya ukuran kebahagiaan tidak berkorelasi dengan pernikahan atau anak.
Para perempuan yang memutuskan melajang sudah seharusnya merasa mujur karena predikat “perawan tua” atau stigma “terlalu pilih-pilih” sudah tak relevan. Kalian bisa menampar balik konstruksi mayoritas dengan memaparkan sebuah fakta: perempuan lebih bahagia jika melajang.
Seorang profesor ilmu sosial dari London School of Economics, Paul Dolan, memvalidasi hal ini. Malah, katanya, perempuan lajang dan tidak punya anak menjadi subkelompok paling bahagia dalam populasi perempuan.
“Laki-laki diuntungkan dengan pernikahan karena lebih sedikit risiko, mendapat lebih banyak tunjangan (istri dan anak), dan berumur lebih panjang dibanding jika melajang,” terang Dolan seperti dinukil dari The Guardian.
Dolan yang turut menulis buku bertajuk Happy Ever After (2019) mengutip bukti dari American Time Use Survey (ATUS) yang membandingkan tingkat kebahagiaan dan kesengsaraan pada individu yang melajang, menikah, dan bercerai.
Dari sisi kesehatan, pasca-menikah laki-laki cenderung lebih sehat. Sementara perempuan menikah punya risiko kesehatan fisik dan mental lebih tinggi dibandingkan dengan rekan yang melajang.
Singkatnya, sekali lagi, perempuan lebih bahagia jika melajang.
Jadi narasi soal pernikahan dan kehadiran anak adalah tanda kesuksesan adalah omong kosong belaka.
Studi dari ATUS yang ditulis kembali oleh Dolan seharusnya jadi pedoman saudara dan tetangga usil yang suka nyinyir soal relasi pribadi orang lain. Khawatirnya, karena komentar nyinyir itu, seorang perempuan jadi tertekan dan terpaksa menikah dengan lelaki yang tidak tepat, membuatnya jadi tak bahagia, dan justru mati lebih cepat.
Laki-laki yang Sulit Melajang
Setelah menikah dan memiliki anak, kehidupan perempuan berubah hampir 180 derajat. Tubuhnya, interaksi sosialnya, jati dirinya, tujuan hidupnya, semua berubah. Sementara laki-laki memang punya tambahan tanggung jawab, tapi kehidupan mereka tak banyak berbeda dari lajang.
Bahkan mungkin lebih enak karena dalam banyak relasi perempuanlah yang harus melayani tetek bengek keperluan lelaki.
Jika mereka punya anak, dalam relasi ini praktis si perempuan harus mengurus dua bayi: si anak dan suami sebagai si bayi besar.
Penelitian oleh Institute for Clinical Evaluative Sciences (ICES) memperkuat anggapan bahwa lelaki memang lebih baik menikah untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, tak bisa lepas dari pengasuhan perempuan.
“Kesepian dan perilaku berisiko tinggi berkontribusi pada tingkat kematian ayah tunggal,” demikian tulis studi yang dipublikasikan di situs The Lancet Public Health.
Penelitian di Kanada ini menunjukkan bahwa ayah tunggal punya nilai paling buruk dalam segi kesehatan dibanding ibu tunggal atau suami-istri. Risikonya tak tanggung-tanggung: lebih tinggi tiga kali lipat dari kelompok lain.
Para peneliti melacak data kesehatan 871 ayah tunggal, 4.590 ibu tunggal, 16.341 ayah berpasangan, dan 18.688 ibu berpasangan selama rata-rata 11 tahun, dimulai pada 2001. Hasilnya menyatakan para ayah tunggal punya risiko penyakit kronis seperti kanker dan kardiovaskular.
Mereka jarang makan buah dan sayuran, serta lebih sering mengonsumsi minuman keras.
“Sangat mencolok, ayah tunggal cenderung tidak punya relasi yang bisa meningkatkan kesehatan, produktivitas, dan kesejahteraan mereka,” kata Maria Chiu, penulis utama studi ini.
Ketiadaan relasi ini membuat mereka kesepian yang akhirnya mengganggu pola tidur, meningkatkan stres, melemahkan sistem kekebalan tubuh, dan menurunnya fungsi kognitif serta kardiovaskular.
Terlepas dari dua penelitian yang telah dijabarkan, jika konstruksi sosial soal pernikahan bisa diubah, mungkin semua kelompok bisa merasa bahagia dan sehat. Tak perlu lagi ada perempuan menikah yang haus validasi, atau perempuan lajang yang tersakiti, dan laki-laki yang jadi bayi besar bagi istrinya.
Semua paham porsinya masing-masing, saling menghargai, membantu, dan meringankan beban satu sama lain.
Semoga bisa terwujud suatu saat nanti.
Editor: Rio Apinino