Menuju konten utama

"Namanya Juga Anak-Anak" adalah Kekonyolan Membenarkan Perundungan

Orang dewasa tidak boleh menormalisasi sikap buruk anak mereka, termasuk merundung. Sikap yang terbentuk sejak kecil akan menempel hingga dewasa.

Sejumlah siswa mengikuti kampanye "Stop Bullying" di Medan, Sumatera Utara, Senin (12/11/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana/pras.

tirto.id - “Maklumi saja, namanya juga anak-anak.”

Terdengar familier dengan kalimat tersebut? Ya, itu adalah “mantra” banyak orang tua yang menormalisasi perbuatan buruk anak mereka. Biasanya sih berkaitan dengan perilaku yang mengganggu kenyamanan orang lain seperti tidak sopan atau mau menguasai semua hal yang mereka inginkan.

Contoh yang paling nyata dan dekat adalah perundungan. Acapkali orang tua pelaku mengatakan hal itu kepada orang tua korban saat misalnya mediasi oleh guru. Respons ini kemudian tidak berakhir ke mana-mana selain perundungan yang terus berlanjut--bahkan ke korban lain.

Di satu sisi pelaku tak pernah memahami kesalahannya. Di sisi lain korban justru harus “berdamai” dengan perlakuan yang ia terima dan terus-terusan bersembunyi. Sementara beberapa tahun kemudian pelaku dengan mudah melupakan perlakuan buruk mereka, korban menanggung beban jangka panjang yang mengganggu mental, bahkan berakhir dengan kematian.

Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum adalah salah satu contoh orang tua (dan sayangnya juga seorang pejabat publik) yang tidak paham bahwa menormalisasi kebengalan adalah hal keliru. Baru-baru ini ia santer disorot dan dikritik karena menormalisasi perundungan sekaligus kekerasan seksual anak di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Untuk menyegarkan ingatan Anda, ini adalah peristiwa meninggalnya seorang bocah yang baru berusia 11 salah satunya karena depresi. Ia depresi karena teman sebayanya memaksa dia bersetubuh dengan kucing, merekam kekerasan seksual itu, lantas videonya beredar luas di internet.

Uu menyarankan kasus ini diakhiri dengan cara damai. Dalihnya: “candaan anak-anak.”

Kata Uu, kasus serupa sudah lazim terjadi sejak ia kecil. Ia kemudian memberi contoh bahwa di kampung halamannya, Cikatomas, pernah ada anak dipaksa bersetubuh dengan kerbau dan ayam. “...ya saat usia SD-SD, begitu. Itu candaan lah, ya. Itu biasa, pak.”

Uu belakangan mengoreksi ucapannya, tapi lagi-lagi menjadikan “candaan” sebagai pleidoi. “Yang saya sampaikan saat saya bercanda dengan rekan media. Teman dengan teman suka saling ledek. Itu biasa,” katanya dalam jumpa pers di Gedung Sate, Bandung, Senin (25/07/2022).

Pak Uu harus paham bahwa prinsip dalam bercanda adalah semua pihak yang terlibat merasa lucu dan terhibur. Jika cuma satu pihak yang senang, sementara pihak lain tidak atau malah sampai tersakiti, itu bukan lagi bercandaan seperti yang Anda maksudkan.

Lihat, kan, bagaimana menormalisasi perundungan di masa kecil membawa pengaruh buruk saat dewasa? Anak akan tumbuh menjadi orang seperti Uu, orang yang menganggap enteng perundungan dan menjadikannya sekadar senda gurau.

Merundung adalah Kebiasaan, Bukan Khilaf

Anak kecil belum paham batas benar dan salah. Itulah pemikiran para generasi tua yang menormalisasi kebiasaan buruk anak.

Alih-alih mengoreksi, mereka optimistis perilaku-perilaku semacam itu akan gugur dengan sendirinya saat si anak beranjak dewasa. Masalahnya harapan mereka terlalu muluk. Sebuah riset menemukan anak-anak cenderung meneruskan perilaku yang terbentuk sejak kecil hingga dewasa.

Mereka yang terbiasa menahan emosi sejak kecil, misalnya, akan tumbuh menjadi introvert dewasa. Begitu pula dengan tukang rundung. Perilaku ini bisa menjadi sifat yang permanen karena anak merasa bahagia mendapat apa yang mereka inginkan.

Kesimpulan deduktif yang terakhir terkonfirmasi oleh studi lain dari Utterly Global, organisasi yang mengampanyekan anti-perundungan. “Sebanyak 60 persen anak yang pernah jadi pelaku perundungan di kelas 6-9 setidaknya punya satu catatan kriminal di usia 24 tahun,” demikian tertulis dalam situs resmi mereka.

Infografik Normalisasi Kenakalan Anak

Infografik Normalisasi Kenakalan Anak. tirto.id/Fuad

Tentu saja tidak ada anak yang dilahirkan menjadi pelaku perundungan, pun pelaku kekerasan. Perilaku buruk mereka dibentuk oleh lingkungan. Orang tua dan dewasa di sekitar anak adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas perilaku buruk si anak. Anak-anak cenderung akan meniru apa yang dilakukan oleh orang tua mereka. Persis!

Jadi, jika orang tua tak menerapkan batasan baik-buruk secara ketat, bahkan menormalisasi perundungan dan pelecehan, maka begitu pula anak mereka akan berperilaku. Ketika anak menjadi pelaku perundungan bahkan kekerasan seksual, tentu perlu dipertanyakan bagaimana pola asuhnya.

Psychology Today menyebut bibit pelaku perundungan mulai dibentuk sejak anak berusia 2 tahun. Pada usia tersebut juga perilaku buruk anak harus ditangani dengan tepat. Menurut psikolog sekaligus penulis buku Raising Kids in the 21st Century Sharon K. Hall, anak-anak sudah bisa belajar konsep baik-buruk, benar-salah, bahkan sebelum umur 2.

Intinya, kalimat “namanya juga anak-anak” sama sekali tak bisa dijadikan alasan apalagi pembenaran untuk melanggengkan perilaku buruk mereka.

Baca juga artikel terkait KENAKALAN ANAK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Rio Apinino