Menuju konten utama
Kekerasan Seksual di Ponpes

Menteri PPPA: Hukum Berat Pelaku Pemerkosaan di Ponpes Batang

Menteri PPPA menegaskan pelaku layak dihukum seberat-beratnya dan mendapat hukuman maksimal.

Menteri PPPA: Hukum Berat Pelaku Pemerkosaan di Ponpes Batang
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga saat jumpa pers tentang eksploitasi seksual dan perdagangan anak di Jakarta, Senin (17/2/2020). ANTARA/Dewanto Samodro/pri.

tirto.id - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras pemerkosaan yang dilakukan Wildan Mashuri Amin (57), seorang pengasuh pondok pesantren di Batang, Jawa Tengah.

Menurut laporan KemenPPPA, Wildan diduga melakukan pemerkosaan dan pencabulan terhadap 25 santriwati yang belajar di pesantrennya.

Menteri PPPA Bintang Puspayoga, berharap pelaku pemerkosaan dihukum pidana berat dan maksimal.

“Orang tua mempercayakan anaknya untuk dididik dalam sebuah lembaga pendidikan agar menjadi anak yang cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia, tetapi mereka justru mendapat kekerasan dari oknum pendidiknya. Ini sangat memilukan dan kami menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual,” kata Bintang, di Jakarta, Selasa (18/4/2023).

Menteri PPPA meminta penanganan hukum oleh Polres Batang diproses dengan mempertimbangkan aspek keadilan bagi korban.

Berdasarkan hasil koordinasi KemenPPPA dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, korban kekerasan seksual sebanyak 25 anak, meliputi 21 anak korban pemerkosaan dan 4 anak korban pencabulan yang diduga terjadi dalam rentang waktu 2019 hingga 2023.

Menteri PPPA menegaskan pelaku layak dihukum seberat-beratnya dan mendapat hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, pada pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) terduga pelaku dapat diancam dengan hukuman pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar.

“Selain itu, dapat dikenakan pidana tambahan berupa tindakan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku dan pemasangan alat pendeteksi elektronik,” ujar Bintang.

Menteri PPPA menjelaskan, korban berhak mendapat restitusi, berpedoman pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juncto UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Restitusi, Kompensasi, Bantuan Saksi, dan Korban juncto PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.

“Pada Ayat (2) (UU TPKS Pasal 30) menyatakan ganti kerugian tersebut berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat TPKS; penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat TPKS,” jelas Bintang.

Menteri PPPA menerangkan, pihaknya terus berkoordinasi untuk memastikan korban mendapat penanganan psikis yang tepat dan sesuai dengan kebutuhannya.

“Korban telah mendapatkan pendampingan hukum berupa pelaporan dan pemeriksaan visum di kepolisian oleh tim DP3AP2KB Kabupaten Batang, kemudian pemulihan psikis awal dari psikolog Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah dan trauma healing dari tenaga Pekerja Sosial Sentra Terpadu Kartini Temanggung.

KemenPPPA akan terus memastikan para korban mendapatkan perlindungan dan rasa aman serta proses pendidikan para santri tidak terbengkalai,” sambung Bintang.

Menteri PPPA mendorong seluruh pihak yang dekat dengan lingkungan korban dapat membantu pemulihan dengan tidak memberi stigma negatif kepada para korban.

“Menteri PPPA pun mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan untuk berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak,” pesan Bintang.

Masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL DI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri