tirto.id - Menteri (P2MI), Abdul Kadir Karding, menyoroti maraknya kasus pemalsuan data identitas kependudukan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berangkat secara unprosedural alias ilegal. Temuan terbaru diketahui dari kasus seorang PMI bernama Sri Wahyuni yang harus dipulangkan ke tanah air dalam kondisi lumpuh.
"Kasus Ibu Sri Wahyuni ini harus menjadi perhatian kita karena kalau dari alamat KTP yang ada, kita cek di Lamongan, di Karanggeneng, tidak ditemukan nama Sri Wahyuni ini," kata Karding usai membesuk Wahyuni di RS Polri, Jakarta Timur, Minggu (1/6/2025).
Karding pun menyimpulkan Wahyuni merupakan korban pemalsuan data untuk pengiriman pekerja migran secara ilegal. "Dia pasti menjadi korban calo untuk dipalsukan KTP-nya, kemudian berangkat bekerja ke luar," ujar dia.
Wahyuni merupakan PMI yang dipulangkan dari Malaysia pada awal Mei 2025 lalu dalam kondisi lumpuh total akibat terkena stroke. Setelah pulang ke tanah air dengan difasilitasi oleh KBRI Kuala Lumpur dan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), Wahyuni menjalani perawatan lanjutan di RS Polri Jakarta.
Kasus pemalsuan data identitas diketahui saat Direktorat Kepulangan dan Rehabilitasi KP2MI mengurus pemulangan Wahyuni ke keluarganya. Wahyuni ternyata tidak berasal dari daerah sesuai alamat di data kependudukan yakni Kelurahan Karanggeneng, Kecamatan Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur. Fakta itu dipastikan berdasarkan klarifikasi resmi Pemerintah Desa Karanggeneng.
Alamat Wahyuni yang sebenarnya belum diketahui karena ia masih tidak bisa bicara akibat terkena stroke parah. Hingga kini, Wahyuni baru bisa merespons suara maupun sentuhan dengan menggerakkan sebagian kecil anggota tubuhnya.
Banyaknya kasus pemalsuan data seperti yang dialami oleh Wahyuni, kata Karding, menjadi perhatian khusus bagi KP2MI maupun pemerintah.
Para PMI nonprosedural atau ilegal berisiko sulit mendapatkan perlindungan. Sebab, data mereka sebagai pekerja migran tidak tercatat di KP2MI dan instansi pemerintah RI lainnya di luar negeri.
"Kita enggak tahu datanya, tetapi [PMI] yang nonprosedural cukup besar di negara-negara penempatan. Kalau di Malaysia bisa lebih dari ratusan ribu, di Arab Saudi juga lebih dari ratusan ribu," kata Karding.
"Karena tidak terdata, kemudian dalam penanganannya sangat sulit kita melindungi," ujar dia menambahkan.
Karding mengatakan, Kementerian P2MI menyadari perlu ada ekosistem yang mendorong pemberangkatan PMI hanya melalui prosedur legal. Salah satunya melalui pembentukan ekosistem di desa.
"Memang PR besar kita adalah membangun satu tata kelola atau ekosistem yang memungkinkan jangan sampai banyak orang berangkat secara nonprosedural atau ilegal. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah kita kembangkan di desa. Ekosistemnya kita bangun di desa, di tempat dia kantong-kantong PM (Pekerja Migran) itu."
KemenP2MI juga akan memperkuat kebijakan hukum dan meningkatkan pelayanan, serta melakukan sosialisasi untuk menyebarluaskan informasi terkait prosedur pekerja migran yang harus dipatuhi guna mencegah PMI berangkat secara ilegal.
Saat ini, Karding sedang berupaya mengantisipasi pemulangan kembali PMI dari Malaysia, terutama akibat kebijakan repatriasi di negara tersebut. Kebijakan repatriasi bisa membuat banyak PMI yang tidak memiliki dokumen atau terjerat masalah hukum dipulangkan secara paksa.
"Ini [kebijakan repatriasi di Malaysia] kita antisipasi. Kementerian sedang memikirkan caranya untuk memitigasi pemulangan yang pasti akan besar," kata Karding.
Editor: Addi M Idhom
Masuk tirto.id


































