tirto.id - Di depan anggota dan pimpinan Komisi X DPR RI pada 29 September 2025, Erick Thohir mengaku sudah dua pekan berjibaku menyusun skema bantuan dana pensiun atlet dan pelatih berprestasi. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) anyar ini mengatakan sudah mengusulkan anggaran dana untuk mantan atlet dan pelatih ke Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.
Purbaya disebut Erick terbuka dengan usulan permintaan alokasi anggaran untuk para pahlawan olahraga Indonesia, yang gantung sepatu. Meski begitu, Erick belum dapat memastikan lini masa realisasi anggaran dan jumlah uang yang bakal dikucurkan Kementerian Keuangan. Masih perlu kajian lebih lanjut ujarnya
Erick juga mengatakan penususnan skema dana pensiun atlet berkaca dari kebijakan beberapa negara lain. Dia sesumbar bahwa sudah waktunya negara memperhatikan nasib mereka yang telah mengibarkan bendera Merah Putih di atas podium juara.
“Sudah waktunya para pahlawan bangsa, kita benar-benar hormati dan tolok ukurnya [pemberian penghargaan pensiun] ada. Kalau di India ada, Cina ada, kenapa Indonesia tidak ada?” tutur Erick.
Tolok ukur yang dia maksud adalah seberapa besar prestasi atlet, baik di level regional seperti Sea Games dan Asian Games hingga tingkat dunia macam Olimpiade. Ketua Umum PSSI ini bilang kajian soal dana terus berlangsung di Kemenpora, sehingga dia meminta parlemen selaras dengan kerja-kerja ini.
“Mohon dukungan dengan segala kerendahan hati, jalan berlikunya cukup menarik, tapi InsyaAllah kalau niat kita sama-sama,” ujarnya.
Bagaimana Cina Memberi Penghargaan untuk Pensiunan Atlet?
Rerata usia pensiun atlet di Cina berkisar antara 27 tahun untuk atlet perempuan dan 29 tahun bagi laki-laki. Nasib mereka yang gantung sepatu bisa terbilang mujur, jika berhasil naik podium juara di ajang sekaliber Olimpiade.
Dalam sebuah liputannya soal nasib para atlet di Negeri Tirai Bambu, Wainao mencatat sedikitnya ada 319 juara Olimpiade yang lahir dan besar di Tiongkok daratan, antara tahun 1984 hingga akhir 2024.
Di Cina, banyak atlet juara Olimpiade yang pensiun menduduki posisi pemerintahan yang beririsan dengan kerja-kerja keolahragaan. Bahkan, tak jarang, para mantan juara Olimpiade menempati kursi-kursi pimpinan Kementerian terkait sektor olahraga.
“Mereka [pensiunan atlet] yang biasanya memulai perjalanan politik di dalam lembaga olahraga dan secara bertahap menanjak pangkat, menduduki peran seperti wakil ketua Federasi Wanita atau sekretaris Liga Pemuda Komunis di tingkat provinsi,” tulis Wainao.
Para pensiunan atlet, yang bisa menduduki pos pemerintahan bukan sembarang. Sebab, rerata telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sehingga setelah masa pensiun, ijazah pendidikan menjadi modal mereka menjadi aparatur sipil negara.

Sembari itu, para atlet digenjot kemampuannya sesuai bidang olahraga, yang mengikuti parameter negara Soviet. Para atlet digembleng di pusat-pusat pelatihan milik negara, alih-alih swasta.
Di level pemberdayaan atlet dari segi pendidikan, pemerintah Cina sejak memulai reformasi di era Deng Xiaoping, medio akhir 1970. Sejak era yang akrab dikenal ‘ekonomi terencana’ ala Xiaoping, olahraga telah dipisahkan dari pendidikan umum di Cina. Dan olahraga menjelma menjadi sebuah pekerjaan, dengan penekanan spesialisasi masing-masing cabang olahraga.
Memasuki tahun 2000, Cina memperluas jangkauan penerimaan mahasiswa baru dari pensiunan atlet. Bahkan, mereka yang menjadi mahasiswa perguruan tinggi tidak dibebankan mengikuti ujian masuk. Walhasil, bekal intelektualitas di bangku perkuliahan menuntun pensiunan atlet merambah di luar dunia olahraga secara teknis dan praktikal.
“Kebijakan ini memperluas kemungkinan 'kehidupan kedua' bagi para juara Olimpiade. Semakin banyak dari mereka yang mengejar posisi akademis di universitas olahraga atau institusi umum, seringkali meraih gelar seperti profesor madya atau bahkan dekan,” masih mengutip laporan majalah berita yang berkantor pusat di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Wainao.
Pensiunan atlet senam menempati porsi terbanyak di level pemerintahan maupun di luar sistem. Adapun pensiunan cabang olahraga lain, macam loncat indah, bulu tangkis, dan bola voli memilih jalur karier alternatif.
Di antaranya adalah Li Ning, seorang atlet senam yang moncer periode 1980-an setelah meraih tiga medali emas, dua perak dan satu perunggu di Olimpiade Los Angeles, Amerika Serikat. Li Ning memilih kelanjutan hidup sebagai pebisnis.
Setelah pensiun pada tahun 1988, ia mulanya bergabung dengan Guangdong Jianlibao Group. Hingga akhirnya dia mendirikan jenama peralatan olahraga dengan nama dia sendiri. 'Li Ning' kini menjadi salah satu produk asal Tiongkok yang telah mengglobal, mulai dari sepatu, raket hingga pakaian olahraga.
Regulasi soal Pensiunan Atlet
Sementara di Tanah Air, sejauh ini, hanya ada satu ketentuan hukum tertinggi yang mengatur soal penghargaan bagi atlet, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Beleid itu digadang-gadang sebagai "penyempurnaan" dari UU Nomor 3/2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Menilik regulasi teranyar, setidaknya hanya ada satu pasal, yaitu Pasal 99 yang menjelaskan apresiasi atau pemberian penghargaan kepada atlet. Ayat 4 poin peraturan itu menyebut: "Penghargaan Olahraga dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, kesejahteraan, danf atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan."
Terkait syarat pemberian penghargaan kepada atlet diatur lebih lanjut melalui regulasi yang sudah ada sebelum UU Keolahragaan terbit, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2014 tentang Pemberian Penghargaan Olahraga. Pada pasal 5 Perpres tersebut dijelaskan bahwa minimal atlet mesti meraih juara tingkat daerah, nasional dan/atau internasional. Pertimbangan prestasi lain adalah jika mampu memecahkan rekor cabang olahraga tertentu di tingkat daerah, nasional dan/atau internasional.
Jika bisa menembus kriteria itu, pemerintah, disebut menjamin kemudahan memperoleh kesempatan pendidikan, kemudahan memperoleh pekerjaan dan kemudahan memperoleh izin ketenagakerjaan atau keimigrasian.
Teranyar, Perpres yang menjadi aturan teknis UU Keolahragaan masih digodok pemerintah. Pada November 2024, Plt. Biro Hukum dan Kerja Sama saat itu, Mulyani Sri Suhartuti mengatakan rancangan Perpres terkait dapat rampung pada akhir 2024. Meski telah berganti tahun, belum ada Perpres yang dimaksud.
Dalam UU Keolahragaan dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN), sebenarnya juga diatur soal jaminan sosial, yang menyangkut pula jaminan hari tua. Namun realitanya tidak semua atlet mendapatkan hak jaminan tersebut.
Selain itu, seturut penelusuran Harian Kompas pada 2021, dana pensiun memang pernah diserahkan kepada mantan atlet yang meraih medali Olimpiade sejak Seoul 1988.
Adapun total penerimanya sebanyak 37 atlet peraih medali Olimpiade dan Paralimpiade. Semua dana pensiun berasal dari APBN. Nominalnya yakni Rp 20 juta per bulan untuk peraih medali emas. Sedangkan, peraih medali perak memperoleh Rp 15 juta per bulan dan peraih perunggu sebesar Rp 10 juta per bulan.
Namun, jaminan hari tua yang berupa dana pensiun itu terhenti pada 2017 atau setahun setelah masa pencairan dana. Jaminan hari tua itu tak kunjung dikasih tersebab benturan aturan Kementerian Keuangan, yang menerangkan bahwa dana pensiun hanya jatah ASN.
Jangan Berujung Gimik
Pengamat olahraga Anton Sanjoyo mengatakan, wacana kebijakan dana pensiunan atlet sudah menjadi jualan dari Menpora ke Menpora. Namun hingga kini belum ada beleid hukum yang jelas mengatur detail apa dan berapa yang diterima pensiunan atlet.
Anton mengaku sempat diminta pihak Kemenpora, pada masa Menteri Mahadi Sinambela (1999-2000), untuk mendata pensiunan atlet yang berhak menerima bantuan. Tapi, kerja selama enam bulan itu tidak berbuah hasil apapun. Daftar 300 pensiunan atlet hanya di atas kertas, tanpa ada tindak lanjut.
“Tidak menghasilkan keputusan hukum yang mengikat baik Kepmen (Keputusan Menteri) sampai Keppres (Keputusan Presiden) tidak ada. Jadi ini bukan tarik ulur, tapi memang tidak dituntaskan implementasi wacananya,” kata Anton kepada Tirto, Selasa (30/9/2025).
Menurut Anton, birokrasi menjadi salah satu isu kenapa kebijakan dana pensiun mentok saat itu. Kata dia, pertemuan-pertemuan yang dilakukan Kemenpora kala itu hanya fokus pada bahasan anggaran, tanpa membicarakan sistem yang mengatur mekanisme penyaluran dana pensiun.
“Kalau sistemnya belum dirumuskan, ya jadi percuma. Kalau pun duit terkumpul, itu akan jadi bancakan. Jadi harus dibikin sistem pengawasan, keuangan, penyalurannya [lebih dulu],” ujar Anton.
Anton menekankan mekanisme penyaluran bantuan dana pensiun mesti dilakukan secara adil. Sehingga, mesti ada parameter prestasi seorang atlet yang kemudian diganjar bantuan saat masa pensiun. Penegasan kriteria ini penting agar tidak terjadi perdebatan soal pilih kasih.
“Misal atlet yang pernah ikut Sea Games dan Olimpiade tanpa medali, mereka berhak dapat bantuan pensiun atau tidak? Apakah peraih medali emas Olimpiade haknya lebih tinggi dibanding peraih medali perak atau di level kompetisi di bawahnya? Tapi menurut saya mereka yang pernah ikut kompetisi level internasional meski tanpa medali, berhak dibantu masa pensiunnya,” jelas Anton.
Tak ketinggalan bagi atlet daerah, Anton menyarankan juga mesti ada kategorisasi atlet yang berhak menerima bantuan pensiun secara detail. Ditambah, mesti ada sinergi dengan pemerintahan daerah terkait anggaran.
Pria yang juga wartawan senior ini megnatakan, sinergi dengan Kementerian Dalam Negeri juga kudu dilakoni karena mau tak mau otoritas Pemda berkelindan dengan birokrasi Kemendagri.
“Misalnya atlet PON, kan tidak bisa ditanggung negara atau pusat. Lantas perlu ada APBD. Mumpung Erick dekat dengan presiden, seharusnya dia bisa menjembatani kepentingan atlet daerah dengan Kementerian Dalam Negeri yang bisa mengkoordinir kepala daerah terkait menggerakkan inisiatif bantuan mantan atlet,” kata dia.
Selain itu, Anton menekankan perlu adanya pendampingan secara konsisten bagi pensiunan atlet yang diberikan bantuan. Sebab, jenis bantuan bisa saja tidak sebatas berupa uang setiap bulan, tapi permodalan usaha yang diharapkan meningkatkan ekonomi.
“Atlet harus didampingi karena seumur hidup kan atlet tersita waktunya untuk latihan. Sehingga mereka tidak punya keahlian apa-apa selain di bidang olahraga yang ditekuni,” ucapnya.
Kata Anton, skala prioritas menjadi penentu apakah akan ada kebijakan progresif dan berkelanjutan untuk pensiunan atlet. Dia menilai keberlangsungan nasib pensiunan atlet sudah sejak lama tidak menjadi prioritas pemerintah. Padahal, seorang Menpora memiliki banyak relasi kerja yang bisa mengeksekusi wacana menjadi kebijakan.
“Ini karena kemauan menteri sendiri dan kemauan deputi untuk menuntaskan itu tidak ada,” kata Anton merujuk penilaiannya saat terlibat kerja-kerja di masa Menpora Mahadi.
Sehingga, dia mewanti-wanti Erick agar lekas menjelaskan detail kebijakan dana pensiun atlet ini. Jika wacana kebijakan ini merujuk pada negara lain, maka sepatutnya Erick memahami betul cara memanusiakan atlet negara tersebut.
“Cina punya tiga tonggak pembangunan, termasuk olahraga yang sudah pasti kebijakannya ter-cover regulasi tertinggi, termasuk masa depan atlet saat pensiun. Jadi, kalau mau meniru Cina, ya harus dari sekarang,” tuturnya.
Menurut Anton Menpodar perlu gerak cepat dan taktis. Mengingat proses pembentukan regulasi yang akan memakan waktu panjang.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































