tirto.id - “Musim hujan, jangan lupa untuk selalu siap jas hujan ya. Oh ya, misalnya lagi di Wonosari dan ketemu codot bacem, tolong belikan buat Bapak.”
Begitu isi pesan pendek dari Bapak buat saya pada 2018. Beliau adalah penggemar segala rupa makanan tradisional dan kadang-kadang pilihannya sedikit tak biasa. Meski perjalanan dinas saya termasuk menyambangi beberapa pasar dari di Kabupaten Gunungkidul, permintaan Bapak tidak saya wujudkan.
Membayangkan kelelawar hitam saja sudah membuat bergidik, apalagi menyantapnya dengan bumbu gula Jawa. Selain itu saya juga mempertimbangkan kondisi kesehatan Bapak yang sebenarnya sudah tidak bisa lagi makan sembarangan. Apalagi, makan daging kelelawar bisa menyembuhkan asma adalah mitos semata.
Sebagai gantinya, saya membawa setoples belalang goreng seharga sebagai buah tangan. Saat musim liburan tiba, sepanjang jalan utama dan area wisata di Gunungkidul akan banyak ditemui pedagang tiban yang menjual camilan belalang goreng. Tidak sedikit juga pedagang yang memperlihatkan proses memasaknya.
Belalang kayu sebenarnya adalah hama tanaman di ladang petani, yang kemudian disulap menjadi lauk dan cemilan kaya protein oleh warga Gunungkidul. Makan belalang hampir mirip makan udang sungai ukuran kecil sekulit-kulitnya yang dibumbui bawang, garam dan ketumbar.
Selain rasa asin gurih, ada varian rasa pedas manis – yang kata penjualnya, paling banyak diminati pembeli berusia muda. Namun, varian rasa gurih menurut saya adalah pilihan paling aman bagi yang kadang masih ragu-ragu dan sedikit tidak tega. Rasa ini juga aman karena kita paling akrab dengan rasa gurih --halo micin!
Sebenarnya menyantap makanan yang berbeda dari kebiasaan banyak orang sudah saya mulai dari kecil. Hingga kemudian saya dewasa, daftar makanan "ekstrem" ini bertambah seiring seringnya saya tugas ke daerah dan negara yang berbeda.
Saya masih ingat bagaimana ini bermula.
Suatu sore di tahun 90-an, Bapak mengajak pergi jajan sate di belakang Pasar Kranggan, Yogyakarta. Warungnya kecil, bangunan semi pemanen dengan kapasitas pembeli tidak lebih dari 8 orang.
“Kalau sudah dikasih kecap, kamu beri merica ya, biar nanti enak dan anget di perut,” kata Bapak sambil memberi contoh.
Tanpa curiga sedikitpun saya lahap menyantap 5 tusuk sate yang tersaji di atas piring beling motif bunga bersama nasi putih setengah porsi. Bapak memesan dua gelas jeruk nipis yang sayangnya disajikan dengan air yang baru saja dijerang, super panas.
Sembari menunggu minuman sedikit dingin, rasa amis mulai muncul meski sedikit samar. Saat menunggu ibu pemilik warung mencarikan piring kecil untuk menuang minuman demi mempercepat proses pendinginan, mata saya tertumbuk pada tempelan poster di dekat dapur berbunyi “Spesial Bulus”.
Astaga! Saya terkena akal bulus Bapak.
Ternyata saya makan bulus, labi-labi. Pantas saja amisnya dan rasanya berbeda dengan sate pada umumnya. Mungkin karena sate dimakan saat masih panas, amisnya tidak begitu kentara. Selain itu pedasnya merica bubuk juga membuat amisnya berkurang.
Pengalaman itu sungguh traumatis.
Terlepas dari aneka keterkejutan karena pengalaman rasa yang baru dan berbeda, mencicip makanan-makanan tak biasa ini sebenarnya menarik. Ada banyak sensasi dan informasi baru yang diterima sebelum dan sesudah makan. Makanan tak biasa ini juga berkaitan erat dengan keseharian, kebiasaan, juga kultur seseorang. Ada makanan yang asing, bahkan ekstrem, tapi sangat umum bagi orang lainnya. Pengalaman ini sungguh seru. Ada yang bikin kapok, bikin ragu, tapi ada juga yang membuat ketagihan.
Swike goreng buatan tetangga berada di urutan pertama makanan tak biasa yang paling cocok di lidah saya. Saya ingat betul rasanya sampai sekarang meski pengalaman itu sudah berlalu lama sekali. Daging kataknya empuk, teksturnya mirip daging ayam bagian paha bawah. Digoreng kuning keemasan, kaki katak yang dilumuri bumbu dan tepung berubah menjadi kriuk dengan rasa bawang putih yang terasa pas. Satu piring nasi pun tak cukup saking enaknya. Sama seperti saat saya makan daging rusa bumbu habang khas Kalimantan Tengah.
Kesamaan dari dua makanan ini: 20 menit setelah makan, perut dan dada rasanya hangat.
Di Desa Mantup, Ponorogo, saya sempat merinding dan maju mundur sebelum mencoba botok tawon, yang lebih sering disebut geneman tawon oleh penduduk lokal. Perlu sekitar 15 menit untuk menyakinkan diri sebelum berani memasukkan sendokan pertama ke dalam mulut.
“Enak kok, Mbak. Kalau Mbak pernah makan laron, ini nggak jauh beda,” bujuk seorang kawan asli Ponorogo yang menjadi pemandu perjalanan waktu itu.
Dadar laron memang pernah menjadi primadona anak-anak sebaya di kampung saya setiap pagi saat musim penghujan tiba. Seorang teman masa kecil pernah berseloroh bahwa dadar laron adalah kornet Jawa, hanya berjarak satu level di bawah daging kornet sapi dalam kaleng yang hanya bisa kami makan pada saat-saat tertentu karena mahal.
Seperti lazimnya botok, geneman tawon menggunakan kompisisi bumbu dapur dari bawang merah, bawang putih, ketumbar, sedikit trio jahe-kencur-kunyit, garam, dan cabai rawit. Bumbu-bumbu ini ditumbuk kasar sebelum dicampur dengan parutan kelapa dan sarang tawon beserta dengan larva tawon yang tidak beruntung. Setelah semuanya dicampur, adonan botok akan dibungkus daun pisang dan dikukus sampai matang.
“Sarang tawonnya aman kok mbak, sebelum dikukus sudah direbus dulu,” jelas Ibu Parti pemilik resep meyakinkan.
Ibadah makan siang kala itu menjadi lebih lama dan syahdu. Berkali-kali daun pisang pembungkus botok saya bolak-balik sembari menyakinkan diri. Di sebelah botok tawon, bersiap makanan cadangan yakni garang asem yang juga menjadi andalan menu Bu Parti.
Suapan pertama ternyata mulus. Rasa gurih dari kelapa parut mendominasi disusul rasa pedas dan hangat karena jahe dan kencur. Saat sendok mulai dalam membelah botok tawon, rasa manis mulai hadir tipis-tipis. Saat dikunyah, sarang tawon dan larva tawon memberi sensasi tersendiri, sedikit kenyal dan seperti ada yang pecah di mulut.
Saya berusaha keras untuk menikmati makanan, mengenali lapisan-lapisan bumbu sambil terus meyakinkan diri bawah makan siang ini akan baik-baik saja. Efek gatal karena alergi adalah kecemasan yang mungkin saya bisa terjadi. Untungnya makan siang ini berjalan lancar sampai suapan terakhir.
Yuk, coba lagi!
Editor: Nuran Wibisono