tirto.id - Apa yang terlintas di benak ketika perempuan membeli pakaian dalam yang “seksi” seperti lingerie, thong, g-string, bustier, babydoll, atau bodysuit?
Saya yakin banyak yang menghubungkannya dengan “aktivitas seksual”. Tanpa menganulir jawaban tersebut--karena toh memang ada yang menggunakannya demikian--saya mau bilang bahwa pakaian dalam bagi perempuan adalah bentuk independensi, apresiasi, dan cinta kepada diri sendiri.
Selama ini cara berpakaian kita seolah “diatur” oleh norma dan budaya sekitar. Perempuan dituntut harus berpakaian tertutup, sopan, dan tidak terlihat menggoda. Jika terbuka atau terlihat lekuknya, tak jarang label “nakal” atau “murahan” langsung tersemat. Sebagai perempuan, kita seolah tak punya ruang untuk melihat diri sendiri sebagai individu utuh.
Sementara pakaian dalam karena tak dilihat orang lain, maka ia terbebas dari nilai, aturan, dan norma kesopanan. Kita bisa melihat citra diri yang berbeda ketika memakai lingerie. Setidaknya begitulah perasaan sebagian perempuan saat pertama kali menjajal produk fesyen satu ini, seperti juga diceritakan Ida Swasti, 26 tahun, kepada Tirto.
“Aku pernah dapat hadiah G-string tapi lama nggak dicoba, suatu saat aku iseng pakai dan jalan keluar. Kok aku merasa seksi dan rasa percaya diriku naik, padahal nggak ada yang lihat,” ungkap Ida. Sejak saat itu ia kecanduan membeli pakaian dalam “cantik” bukan sekadar bra atau celana dalam polos.
Secara historis lingerie umumnya dipakai untuk menarik pasangan secara seksual. Sebuah studi mengungkapkan tikus jantan cenderung memilih tikus betina dengan “lingerie”. Respons serupa dipersepsikan sejajar dengan manusia.
Namun kiwari kita berada di masa perempuan berdaya atas diri sendiri. Tak perlu punya pasangan untuk bisa terlihat cantik, seksi, dan memesona dengan lingerie. Seperti Ida, kita bisa memakai pakaian dalam bagus kapan pun, bahkan meski tengah melajang.
Ketika pertama kali mencoba G-string, Ida masih berusia 17 tahun. Bagi dia, para lajang perlu sesekali mengapresiasi diri dengan menjajal lingerie. Bahkan jika memiliki pasangan, penting untuk tidak menempatkan ekspektasi berlebih terhadap respons mereka. Ringkasnya: mencintai diri sendiri.
“Takutnya kalau bawa prinsip untuk pasangan malah banyak kecewanya, ketika tidak sesuai ekspektasi nanti kecewa, rasa percaya diri kita jadi turun,” kata Ida.
Ide membangun rasa percaya diri perempuan dengan menggunakan lingerie juga diungkapkan Carolyn Mair, psikolog perilaku, penulis buku The Psychology of Fashion (2018). Pakaian dalam berkualitas bagus, ungkap Mair, dapat memelihara kesejahteraan mental, meski tidak aktif secara seksual. Dan dengan citra diri positif perempuan akan terlihat lebih menarik secara fisik.
Meski tak ada yang melihat, memakai lingerie membuat kita berdiri, berjalan, berbicara, dan menggerakkan tangan secara berbeda. Lingerie membangkitkan feminitas, kebebasan seksual, dan kekuatan perempuan. Buku The Psychology of Fashion (2018) banyak mengeksplorasi hubungan kenyamanan berbusana dengan proses kognitif manusia.
“Pakaian benar-benar bisa bikin kita berdaya!” sebut Mair merujuk konsep "enclothed cognition”, yakni ketika psikologi pakaian memengaruhi tak cuma cara orang lain memandang kita, tapi bagaimana kita memandang diri sendiri secara beda.
Responden perempuan dalam studi terbitan Journal of Consumer Culture sepakat menyimpulkan pakaian dalam sebagai perubahan identitas. Perempuan tak perlu khawatir terhadap penilaian orang lain dalam mengekspresikan kreativitas mereka yang kuat, menantang, berani, dan asli. Mereka dapat memvalidasi diri sendiri, alih-alih mencari dari orang lain.
Lingerie untuk Semua
Lima tahun lalu saya iseng membeli dua merek lingerie produksi lokal. Karena sebelumnya tak punya pengalaman membeli produk pakaian dalam “cantik”, jadi saya pikir semua pakaian dalam sama saja. Dengan iklan dan contoh pemakaian menggunakan model-model berbadan sureal--berisi tapi ramping di bagian perut dan betis--saya membayangkan referensi pemakaian serupa.
Apa daya dengan berat badan dan cup bra di bawah rata-rata, tak ada yang pas di badan. Ukurannya terlampau longgar, bahannya panas, berbau sangit, dan gatal. Setelah itu saya kapok membeli lingerie lokal. Namun, membeli merek ternama juga ternyata bukan tanpa masalah. Selain harganya lumayan menguras kantong, ukuran dan modelnya juga kurang variatif.
Produsen lebih banyak menjual pakaian dalam ukuran standar, agak susah mencari lingerie “lucu” yang mengakomodasi ukuran tubuh besar. Apalagi mengharapkan mereka memakai model dengan bentuk tubuh umum: gemuk, kurus, punya selulit, atau stretch mark (gurat regangan). Tantangannya tambah susah ketika dihadapkan pada produksi lokal.
Peluang itu kemudian dilirik Ida, dari hobi mengoleksi lingerie, kini ia menjadi salah satu produsen lokal besar di Indonesia. Ia paham betul sulit mencari lingerie produksi lokal dengan kualitas bagus dan harga terjangkau. Walhasil celah itu ia isi dengan membuka brand Nipplets pada tahun 2016.
“Kami mengampanyekan ‘Real People Real Body’ supaya semua orang relate dengan muse (model) Nipplets,” ujarnya.
Sama seperti merek pakaian dalam lain, awalnya Nipplets juga memakai konsep umum dalam berjualan lingerie: hanya menyediakan ukuran standar dengan referensi model kaukasian. Pertengahan 2019 Ida mulai sadar bahwa trik pemasarannya usang dan tak menjangkau semua perempuan.
Kemudian ia membuka kerjasama bagi siapa pun perempuan yang bersedia menjadi model. Tentunya dengan ukuran dan bentuk tubuh “normal”. Sekarang jika menengok galeri Nipplets, kita bisa menemukan referansi pemakaian dengan bermacam bentuk badan, bahkan untuk ibu hamil sekalipun.
Dalam periode peralihan itu pun saya mulai menjajal Nipplets, persis ketika mengandung anak pertama. Saya ingat betul “Odette Babydoll” yang saat itu memasang model ibu hamil adalah produk perdana yang saja jajal, gaun berwarna salem dengan potongan tinggi hingga bagian paha atas.
“Aku mau orang jadi relate sama Nipplets, menerima tubuh mereka, dan mencintainya. Ketika perempuan sudah merasa ‘full’ dengan diri sendiri maka kita akan berdaya,” kata Ida.
Sejak kampanye ‘Real People Real Body’ diluncurkan, Nipplets mendapat banyak respons positif. Penjualan mereka juga naik hingga 10 kali lipat, meski secara minor ada saja konsumen yang protes soal referensi model dengan badan normal.
“Mereka bilang jadi tidak tertarik beli lingerie Nipplets. Tapi itu juga cuma 1 persen, mayoritas dukung kampanye kita,” tambah Ida.
Editor: Irfan Teguh