Menuju konten utama

Ada Target Laba di Balik Kampanye dengan Model Sintal

Bagi produsen, ini bukan semata soal "menerima bentuk tubuhmu apa adanya."

Ilustrasi plus size model. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Seorang wanita dengan ekspresi wajah ceria menari diiringi lagu bertempo cepat. Ia hanya mengenakan pakaian dalam yang berwarna kontras dengan warna kulit cokelatnya. Nama wanita itu Tina. Meski bukan model profesional, ia tampil dalam sebuah video iklan Misguided, lini pakaian dalam asal Inggris.

Dalam video itu ia berkata bahwa tak seorang pun bisa menentukan apa yang pantas atau tidak pantas ia kenakan. Kamera menyorot lekuk tubuh tina dengan selulit di beberapa bagian. Hal ini tidak membuatnya merasa malu. Tayangan tersebut ditutup dengan tulisan #makeyourmark, judul kampanye yang diakan Misguided pada Desember 2017. Proyek ini bertujuan mengingatkan kembali tentang perlunya menghargai diri apa adanya.

Kampanye tersebut melengkapi sejumlah kampanye tentang tubuh wanita yang beberapa tahun ke belakang mulai disuarakan. Dua tahun lalu, Lane Bryant, lini pakaian dalam pertama yang awalnya fokus memproduksi pakaian dalam bagi wanita berisi, menciptakan kampanye #ImNoAngel. Dalam kampanye tersebut, ditunjukkan beberapa wanita berbadan sintal menggunakan pakaian dalam yang mengucapkan opini mereka tentang tubuh.

Salah satu pelopornya ialah Tess Holliday. Ia adalah model yang biasa menggunakan pakaian berukuran 22 (XXL). Setelah menandatangani kontrak dengan sebuah agensi model di Amerika Serikat, ia menjadi sampul majalah People, dengan kisah tentang dirinya sebagai model berukuran 22 pertama di Amerika Serikat.

Namun, Tess tak berhenti di situ. Ia tidak ingin membatasi kepopulerannya hanya dengan menjadi sampul majalah. Ia pun memulai kampanye #effyourbeautystandards.

Kampanye tersebut dimulai pada tahun 2012. Melalui akun media sosial, Tess menyampaikan pesan kepada para perempuan dengan ukuran tubuh seperti dirinya untuk menolak aturan-aturan yang membatasi diri mereka. Kini, #effyourbeautystandards telah memiliki 368.000 pengikut di Instagram dan tagarnya telah tersemat pada sekitar 2,7 juta unggahan, rata-rata foto selfie dan foto busana yang dikenakan seseorang. Umumnya, unggahan itu dilengkapi caption yang berbunyi motivatif.

Majalah Time menyebut Tess sebagai salah satu orang berpengaruh dalam internet. Meski demikian, Tess masih mengingat reaksi orang saat mendengar ia berkata bahwa dirinya seorang model.

“Mereka seperti baru mendengar kabar kalau saya baru saja membunuh seseorang,” kata Tess kepada Telegraph. Tess ialah ibu seorang anak yang selalu punya mimpi menjadi seorang model. Sebelum mimpi itu terwujud, ia sempat bekerja sebagai penata rias.

Kampanye berikutnya seputar ukuran tubuh digagas oleh model Stefania Ferrario. Ia menggagas gerakan #droptheplus. Gerakan ini dibuat untuk melawan perisakan yang kerap dialami model berukuran tubuh lebih berisi. Stefania menganggap ‘plus size’ bukan kata positif. Oleh karena itu, ia mengajak publik, terutama mereka yang bergerak di industri mode, untuk mengganti kata tersebut dengan ‘curve’.

Hal yang menjadi perhatian utama #droptheplus ialah dampak dari penggunaan kata plus size di ranah publik. Dalam situs resmi kampanye ini, tertulis bahwa bila seorang wanita muda melihat foto seorang perempuan yang sangat sehat dengan caption ‘plus size model’ di bawahnya, hal tersebut berpotensi membuat tubuh mereka dianggap lebih besar dari yang seharusnya. Pendeknya, istilah plus size mengasumsikan ukuran badan yang lebih besar dari ukuran "normal" atau di luar kenormalan.

Hal ini bisa mempengaruhi seseorang dalam memandang dirinya dan bisa berdampak pada kesehatan mental serta fisik mereka. Di samping itu, gerakan ini juga hendak memperbaharui regulasi perekrutan model. Para model yang direkrut harus memenuhi indeks masa tubuh ideal. Regulasi itu telah berlaku di sejumlah negara seperti Italia, Spanyol, Israel, dan Swedia.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/01/15/pakaian-dalam-plus--mild--nadya.jpg" width="860" alt="infografik pakaian dalam plus" /

Virgie Trovar, seorang aktivis dan dosen, berkata bahwa ada masa dalam hidupnya di mana ia menghabiskan hari dengan berdiet. Pada masa itu, selain mengontrol makan, ia pun melakukan beragam olahraga. Namun, Virgie mengaku setiap hal yang dilakukannya ini tidak pernah membuatnya merasa puas.

Lantas ia mencoba mengganti pola pikir dengan menanamkan pemikiran tentang menjaga diri dan mencintai diri. Dua sudut pandang itu ia anggap sesuai untuk memandang tubuhnya sendiri. Virgie memutuskan untuk membentuk gerakan #losehatenotweight. Akun Instagram Virgie kini memiliki 34.000 pengikut, dan #losehatenotweight memiliki 62.000 unggahan.

Situs i-D menuliskan bahwa satu klik yang dilakukan di media sosial sanggup membawa perubahan. Apakah hal tersebut berupa tanda like pada status seseorang, meneruskan unggahan Twitter, atau menandatangani petisi.

“Hal yang dibutuhkan ialah keberadaan seseorang untuk menantang narasi dominan dari tubuh perempuan. Selebihnya, brand besar akan mulai mendengarkan hal tersebut,” tulis i-D.

Keuntungan di Balik Kampanye

Namun, tentu saja, di atas semua kampanye sikap positif terhadap tubuh, ada keuntungan yang hendak diraup. Brand Lane Bryant pernah mencoba merekrut wanita yang bukan seorang model profesional untuk menjadi penampil pada berbagai platform marketing mereka, termasuk media sosial.

Memakai model yang bukan model betulan ternyata membuat lini ini yakin mampu meningkatkan penjualan mereka menjadi $50 juta.

Logikanya sederhana. Sebuah baju bisa saja tampak bagus hanya karena dikenakan oleh supermodel berbadan kurus, tapi belum tentu cocok dipakai oleh orang berbadan montok. Namun, jika baju dalam iklan dikenakan oleh "perempuan pada umumnya", pemirsa iklan lebih mungkin merasa terhubung dan menganggap pakaian itu juga akan pantas dipakai olehnya.

Sebuah video kampanye yang dilansir oleh label busana Refinery 29, misalnya, memperlihatkan perkataan seorang wanita yang mengungkap bahwa tayangan yang ada di televisi tidak pernah membuat dirinya merasa terhubung dengan apa yang ditampilkan. Anggapan serupa terjadi pula dalam ranah produk lingerie.

Berbagai kampanye tentang ukuran tubuh terlihat berjalan beriringan dengan pembaruan konsep dari iklan produk pakaian dalam wanita. Victoria Secret tidak lagi jadi patokan utama. Muncul iklan-iklan yang menampilkan tubuh model apa adanya dan hal tersebut justru meningkatkan penjualan produk. Adore Me, lini produk lingerie asal New York merasakan hal ini.

“Pembeli lebih suka melihat figur yang realistis dan berlekuk di dalam iklan,” tulis The Independent.

Baca juga artikel terkait WANITA atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Maulida Sri Handayani