tirto.id - Ketika diterima sebagai mahasiswa untuk pertama kali dalam hidupnya, kekhawatiran utama Louise Geal, 59 tahun, adalah kesulitan menyesuaikan diri dengan teknologi terbaru selama kuliah.
Geal bahkan sempat ketakutan ketika diminta untuk open cam selama kelas daring dilakukan via Zoom.
Namun demikian, toh ia berhasil melalui proses itu semua.
Tatkala masih berusia belia, mengenyam pendidikan tinggi adalah hal mustahil, cerita Geal kepada ABC Australia.
Selama satu semester pertama menjalani masa studi sebagai mahasiswa CQUniversity, Geal mengaku merasa tidak percaya diri. “Tapi aku masih mau mencoba,” tutur Geal.
Sementara itu, Ellen McManus memutuskan untuk mengambil kuliah bisnis di Nottingham Trent University pada usia 36 tahun.
Menjadi ibu tunggal dengan tiga tanggungan anak, gelar sarjana yang ia raih berhasil membantunya keluar dari jurang kemiskinan.
“Pengalaman kuliah membuatku semakin percaya diri… tanpa gelar yang kumiliki, aku mungkin akan sulit lepas dari jebakan kemiskinan yang menghantui orang tua tunggal,” papar McManus kepada The Guardian.
McManus dan Geal bisa kita sebut sebagai lifelong learner, pembelajar sepanjang hayat.
Kadang-kadang, motivasi pertama yang muncul adalah untuk memenuhi rasa penasaran, kemudian baru diikuti oleh dorongan untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.
Satu hal pasti, McManus dan Geal memulai hari-harinya sebagai pembelajar dengan penuh keraguan dan perasaan malu karena takut bahwa dirinya sudah, atau akan, tertinggal.
Meski begitu, perlahan, ekosistem belajar di kampus membantu keduanya menjadi individu yang lebih tangguh dan percaya diri.
Bukan hanya untuk mengubah nasib, apa yang dilakukan mereka bisa juga didorong oleh pemenuhan rasa penasaran, keinginan untuk menambah keahlian baru, serta kesempatan untuk melakukan perubahan karier (career switch).
Rasa penasaran yang tidak pernah habis saat beranjak dewasa menandakan banyak hal di level individu.
Itulah salah satu hal yang dapat menjelaskan mengapa konsep belajar seumur hidup untuk kalangan dewasa sedang digalakkan di penjuru dunia.
Apabila lifelong learning berpotensi menciptakan lebih banyak komunitas masyarakat yang bahagia dan mampu berempati satu sama lain, mengapa tidak?
Meski universitas menjadi institusi yang berperan penting dalam pengalaman Geal dan McManus di atas, gagasan utama dari belajar sepanjang hayat adalah tidak adanya batasan terkait usia maupun wadah atau lembaga edukasi yang digunakan.
Laal dan Salamati menekankan bahwa lifelong learning tidak membatasi apa yang ingin dipelajari.
Bisa saja, materi yang dipelajari adalah aktivitas yang acap kali dianggap sepele atau kurang signifikan, seperti merajut, belajar tentang memancing, atau bahkan menulis ulasan film maupun buku.
Semua tergantung dengan apa yang ingin dicapai dan rasa penasaran semacam apa yang ingin dicari jawabannya.
Sementara itu, terkait dengan kebutuhan profesional, proses lifelong learning sedikit berbeda.
Profesionalitas tidak bisa dipisahkan dengan karier dan tuntutan atau kebutuhan ekonomi. Maka dari itu, seseorang dapat mempelajari dan menguasai kemampuan baru melalui berbagai program yang mengeluarkan sertifikasi profesional.
Tidak bisa dimungkiri, saat ini kita hidup di dunia yang tengah menghadapi situasi ekonomi tak menentu. Industri kerja semakin bergantung pada otomasi, yang akhirnya berpotensi membuat permintaan akan tenaga kerja manusia semakin berkurang.
Forbes baru-baru ini mencatat bagaimana perusahaan semakin memerlukan orang-orang yang, selain memiliki latar belakang keahlian sesuai bidang studinya, juga memiliki kemampuan menyelesaikan masalah, berkomunikasi secara efektif, dan cara berpikir yang kompleks.
Dunia menuntut kita untuk tidak sekadar mudah beradaptasi, melainkan juga mampu belajar apapun secara cepat dan tepat.
Beruntung, dari tahun ke tahun, kesadaran mengenai pentingnya penyediaan ruang belajar untuk siapapun semakin bertambah.
Persisnya sejak pandemi COVID-19 melanda, sektor pendidikan mendapatkan celah untuk membuat proses belajar menjadi lebih mudah diakses.
Universitas menawarkan kelas daring, perusahaan edutech menyediakan kursus daring dengan ragam biaya bahkan yang paling terjangkau bagi mereka dengan kantong terbatas, hingga solidaritas sesama warga untuk berbagi pengetahuan melalui media sosial.

Dengan akses yang semakin terbuka, apa artinya menjadi pembelajar sepanjang hayat?
Surat terbuka pada Januari 2024 lalu Jonathan Michie, ekonom yang saat ini menjabat sebagai Professor of Innovation and Knowledge Exchange di University of Oxford, mungkin dapat memberikan sedikit gambaran.
Michie menggarisbawahi bagaimana kampus harus mulai adaptif dengan konsep belajar sepanjang hayat karena, menurutnya, penerapan konsep ini penting bagi perekonomian dan juga masyarakat.
Ya, keinginan memulai belajar, baik untuk alasan personal maupun profesional, tidak seharusnya tersandung usia.
Siapa pun boleh mencari kesenangan belajar, sembari menambahkan makna-makna baru ke dalam hidupnya.
“Aku tidak benar-benar memikirkan usiaku. Usia mungkin membatasi gerak tubuhku. Namun, selama aku masih bisa berpikir dan sehat, usia hanyalah angka,” tegas Nola Ochs asal Kansas yang mulai berkuliah pada usia 95 tahun dan lulus ketika usianya genap 100 tahun.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































