Menuju konten utama

Late Bloomer, Mekar dan Bersinar di Kemudian Hari

'Terlambat' dalam memulai peristiwa-peristiwa penting tidak menutup kesempatanmu untuk bahagia, sukses, dan puas dengan kehidupan.

Late Bloomer, Mekar dan Bersinar di Kemudian Hari
Header Diajeng Late Bloomer. tirto.id/Quita

tirto.id - Ada anggapan yang selama ini mengakar kuat di sebagian besar masyarakat di dunia, bahwa jalan hidup seseorang—baik itu urusan karier, finansial, sampai asmara—harus sesuai dengan garis waktu yang sudah diamini banyak orang.

Garis waktu yang kaku itu cenderung berorientasi pada pencapaian di masa muda. Cerminan paling simpelnya seperti Forbes 30 under 30, sebuah daftar berisi sederet nama tokoh berusia di bawah 30 tahun yang meraih kesuksesan dari berbagai sektor industri.

Apabila jalan yang kita lalui tidak sesuai dengan timeline pada umumnya, orang lain atau bahkan diri kita sendiri bisa dengan mudahnya memberikan penilaian, cap, atau stigma negatif sebagai orang yang ‘terlambat’ atau gagal.

Tak mengherankan, orang-orang yang belum mapan secara karier dan finansial pada usia 30 tahun, belum menikah atau punya anak sampai usia 40 tahun, bahkan yang baru memulai mengeksplorasi hobi atau belajar hal baru pada usia 50 tahun, sering dipandang ‘aneh’.

Istilah late bloomer disematkan pada mereka yang nyaman menekuni minatnya dan berhasil mencapai kepuasan dan kesuksesan dari dunia tersebut, meski usianya tak lagi ‘muda’ menurut barometer sosial.

Penulis Rich Karlgaard dalam buku Late Bloomers(2019) mendefinisikannya sebagi orang-orang yang mencapai potensinya lebih lambat dari yang diharapkan dan sering kali memiliki bakat yang awalnya tidak terlihat oleh orang lain.

Kisah instruktur yoga Netty (62) dapat menjadi contoh. Ibu empat anak ini baru mulai berlatih yoga pada 2015 untuk alasan kesehatan dan kebugaran, persisnya membantu mengontrol kadar asam urat.

Sebagai pendatang baru di dunia yoga, Netty bercerita, ia tergolong cepat mempelajari pose-pose yang cukup menantang, seperti head stand dan janu sirsasana. Jika kebanyakan orang perlu sekian tahun untuk menguasainya, ia berhasil hanya dalam beberapa bulan.

“Akhirnya, di komunitas yoga, ketika suhunya berhalangan mengajar, saya diminta menggantikan,” terang Netty.

Netty kemudian mulai menelateni kelas-kelas pelatihan untuk instruktur yoga. Kini, rutinitasnya sehari-hari diisi dengan aktivitas mengajar yoga di studio di rumahnya dan sebagai instruktur tamu di salah satu kampus di Yogyakarta.

“Yang lebih membuat saya happy, murid-murid saya jadi konsisten beryoga dan lebih sehat. Keluhan di tubuh mereka pelan-pelan bisa hilang,” imbuh Netty tentang kepuasan batin yang didapat dari aktivitasnya saat ini.

Meskipun kerap dipandang sebagai ‘anomali’, ternyata semakin banyak orang yang mencapai peristiwa-peristiwa penting dalam hidup mereka di usia lebih tua.

Menurut penelitian dari Stanford University, saat ini muncul kecenderungan orang-orang yang 'terlambat' mencapai berbagai peristiwa dalam hidupnya, seperti memulai pekerjaan penuh waktu, menikah, membeli rumah, atau bahkan belajar keterampilan baru, dibandingkan generasi sebelumnya.

Temuan serupa nampak di ranah akademik. Data dari Statista pada 2020 silam menyebut sekitar 17,5 persen penerima gelar doktor di AS berusia 40-an, 50-an, dan 60-an.

Pencapaian pada usia yang tak lagi muda juga datang dari bidang kewirausahaan. Menurut temuan Kauffman Foundation pada 2019, lebih dari 25 persen pengusaha baru di AS berusia antara 55 hingga 65 tahun—sepuluh persen lebih tinggi dibandingkan pada 1996.

Fenomena orang-orang yang ‘mekar’ di kemudian hari ini cukup masuk akal apabila dikaitkan dengan usia harapan hidup manusia yang semakin panjang dan semakin banyaknya orang yang berganti karier dan berupaya mencari lebih banyak makna dalam hidup.

Header Diajeng Late Bloomer

Header Diajeng Late Bloomer. foto/istockphoto

Nessi Purnomo, M.Si., Psikolog menambahkan, keinginan mempelajari hal yang baru di usia yang dianggap tak lagi muda ini bisa jadi muncul karena sebelumnya seseorang punya fokus berbeda. Misalnya, setelah kuliah, biasanya seseorang bekerja dan kebanyakan mengejar karier dan materi.

"Setelah berjalan sekian lama, terkadang muncul pula pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri mengenai apa yang sudah ia lakukan sebelumnya yang membuat seseorang mulai mencari sesuatu hal baru yang berkaitan dengan minat dan ketertarikannya," terang Nessi.

Sayangnya, seseorang yang mulai mengeksplorasi potensi mereka di usia yang relatif lanjut harus menghadapi beberapa tantangan, tak terkecuali pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul dari dalam diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

"Buang-buang waktu tidak ya, belajar bahasa asing di usia 40-an?"

"Bikin usaha di usia 55 tahun, apa bisa nanti menjalaninya?"

Menghadapi itu semua, Nessi mengatakan pentingnya untuk mengetahui dan menetapkan alasan ketika memutuskan melakukan sesuatu hal yang baru.

"Itu harus clear terlebih dahulu mengapa kita memutuskan melakukan sesuatu. Apa sih yang membuat kita perlu melakukannya? Jangan hanya karena ikut-ikutan saja," kata Nessi.

Setelah memahami alasannya, kita akan lebih konsisten dan berkomitmen saat berhadapan dengan kesulitan dalam memulai kegiatan baru tersebut.

"Saat kita memulai sesuatu yang baru, kita akan berhadapan dengan kesulitan karena belum terbiasa. Kalau tidak firm dengan apa yang kita capai, itu akan sulit," tambah Nessi.

Di balik itu, terdapat sejumlah privilege atau kelebihan pada late bloomer yang tidak dimiliki oleh angkatan lebih muda.

Seiring bertambahnya usia, dan tentunya dipengaruhi oleh kematangan otak dan asam garam kehidupan, kita menjadi lebih baik dalam merencanakan, membuat keputusan, dan menjaga perspektif. Inilah yang membuat late bloomercenderung lebih bijaksana.

Nah, ketika pengalaman dan pengetahuan yang terakumulasi sekian lama itu berjumpa dengan peluang karier di kemudian hari, hal-hal luar biasa pun dapat terjadi.

Kelebihan lain pada late bloomer berkaitan dengan pengembangan kreativitas yang unik dan berharga.

Selama ini, argumen terkuat yang menentang atau mempertanyakan late bloomer adalah kreativitas mereka yang telah mengering. Akan tetapi, sains menunjukkan bahwa kreativitas hadir dan mencapai puncaknya pada manusia di tahapan waktu yang berbeda.

Rata-rata kalangan muda lebih baik dalam mengejar ide-ide besar dengan pemikiran tunggal, sedangkan orang yang lebih tua cenderung lebih baik dalam mengutak-atik dan cermat menyusun makna dari eksperimen seumur hidup dengan penuh pertimbangan.

Terakhir, penting diingat bahwa karakter orang yang late bloomer berasosiasi dengan ketangguhan. Mengapa begitu? Ini lantaran mereka belajar dari kesalahan di masa lalu.

Charles Duhigg, jurnalis dan penulis nonfiksi dalam tulisannya di New York Times menjelaskan, mereka yang tampak seperti orang yang tidak beruntung atau tidak sempat menjadi bintang di masa mudanya, pada akhirnya harus berusaha keras mencari arah dan makna.

"Ketika menemukan jalannya, mereka telah terlatih dalam kebiasaan mental untuk mengelola kesulitan dan menyusun ulang ekspektasi. Dan sering kali mereka berakhir lebih puas daripada orang lain," tulis Duhigg.

Sebaliknya, mereka yang berprestasi di awal, di kemudian hari mendapati bahwa tidak semua hal dapat berjalan mulus. Kesulitan dalam menghadapi tantangan baru ini biasanya dikaitkan dengan kurang terlatihnya mereka dalam menangani kesulitan-kesulitan di masa lalu.

Header Diajeng Late Bloomer

Header Diajeng Late Bloomer. foto/istockphoto

Terlepas dari keberhasilan yang berpotensi kamu peroleh, tak ada salahnya untuk mencoba mempelajari beberapa hal yang baru karena dapat memberikan manfaat kesehatan.

Menurut riset, salah satu cara penting untuk mencegah penurunan kognitif adalah mempelajari beberapa keterampilan baru secara bersamaan.

Dalam studi yang dipublikasikan di The Journals of Gerontology, Series B: Psychological Sciences (2019), tim peneliti University of California Riverside yang dipimpin psikolog Rachel Wu meminta orang dewasa berusia 58 hingga 86 tahun untuk mengikuti tiga hingga lima kelas secara bersamaan selama tiga bulan atau sekitar 15 jam per minggu—mirip dengan beban kuliah sarjana.

Kelas-kelas tersebut meliputi bahasa Spanyol, belajar menggunakan iPad, fotografi, melukis, dan komposisi musik.

Hasilnya, satu setengah bulan kemudian, peserta lebih tua dapat meningkatkan kemampuan kognitif mereka ke tingkat yang mirip dengan kelompok usia setengah baya atau yang berusia 30 tahun lebih muda.

"Pesan yang dapat diambil adalah bahwa orang dewasa yang lebih tua dapat mempelajari berbagai keterampilan baru pada saat yang sama dan itu dapat meningkatkan fungsi kognitif mereka," kata Wu.

Dunia mungkin membuat kita merasa buruk jika kita belum menunjukkan kecemerlangan atau keberhasilan di usia muda. Namun menjadi orang yang 'terlambat' bukan berarti menutup kesempatanmu untuk bahagia, sukses, dan puas dengan kehidupanmu.

Ayo, yakinkan dirimu bahwa kamu layak untuk 'mekar' sepanjang waktu!

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih