tirto.id - Narasi kenaikan pembiayaan partai politik atau bantuan politik (banpol) menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) kembali menggema. Hal itu bermula dari usulan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto. Dia mengatakan hal ini sebagai salah satu upaya memberantas korupsi di Indonesia.
"Dengan sistem politik yang ada kita bisa saksikan bersama tak bisa dipungkiri mereka harus mengeluarkan modal yang sangat besar," ucap Fitroh, dalam keterangannya, Jumat (16/5/2025).
Dia menjelaskan karena membutuhkan modal yang besar, calon pejabat tersebut akan mencari pemodal untuk mengakomodasi pencalonan dalam hajatan pemilu. Setelah menjabat, mereka memberikan timbal balik kepada pemodal, sehingga banyak terjadi praktik korupsi.
KPK tengah melakukan pembahasan lebih lanjut terkait rencana pemberian alokasi APBN kepada parpol ini. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menegaskan melihat historinya, para pelaku korupsi banyak berasal dari produk politik, mulai dari DPR, DPRD, sampai dengan kepala daerah.
"Masifnya para pelaku dari unsur atau produk proses politik tersebut tentu menjadi salah satu trigger KPK untuk kemudian melakukan kajian sebagai langkah-langkah pencegahan korupsi,” kata Budi dikutip Tirto, Selasa (20/5/2025).
KPK juga tengah melakukan kajian mengenai pengelolaan dana bantuan politik dari pemerintah bersama beberapa partai politik.
Partai Golkar menjadi salah satu yang menjabarkan hasil kajiannya bersama KPK. Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Idrus Marham menyebut salah satu poin diskusi terkait upaya kedua pihak memahami realitas politik di lapangan.
Harapannya kajian ini akan menghasilkan formula yang efektif untuk biaya politik ke depannya. "Agar biaya murah tetapi produktif melahirkan kepemimpinan yang betul-betul berkualitas yang bisa berbuat dan melakukan program-program untuk kepentingan rakyat ke depan, itu yang kita lakukan, ujarnya dalam keterangan partai, Sabtu (17/5/2025).
Selain itu ada juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wakil Ketua Umum PKB, Cucun Syamsurijal, mengungkapkan bahwa pihaknya bersama KPK menyoroti tingginya pembiayaan politik di Indonesia yang tak sebanding dengan banpol dari pemerintah.
"Regulasi penggunaan dana Banpol saat ini tidak fleksibel untuk menjalankan proses kaderisasi kader Parpol. Jadi yang terjadi itu kebingungan partai politik untuk penyerapan. Misalnya seperti membantu pesantren, itu tidak boleh pakai Banpol karena terikat oleh Permendagri tentang pengeluaran dana Banpol," kata Cucun mengutip keterangan di situs resmi PKB, Senin (19/5/2025).
Kepada KPK, Cucun juga mengusulkan agar dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PP No 5/2009 aturan turunan dari Undang-undang Partai Politik.
Dalam aturan tersebut, bantuan partai di tingkat pusat sebesar Rp1.000 per suara. Sementara bantuan partai di provinsi sebesar Rp1.200 per suara dan kabupaten/kota Rp1.500 per suara. Menurut Cucun nilai tersebut belum cukup untuk menghadapi tingginya biaya pemilu.
"Kuncinya itu adalah kemandirian Parpol. Dan itu bisa diwujudkan dengan misalnya dana Banpol dinaikkan. KPK sendiri kita tahu sudah beberapa kali memberikan rekomendasi dana Banpol naik sampai Rp12.000 (per suara)," ujarnya.
Sementara itu Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, juga sempat menyinggung tentang besarnya kebutuhan dana partai. Peningkatan dana banpol tentu dapat membantu operasi partai politik.
Gerindra baru saja menerima banpol pada Rabu (21/5/2025). Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar menyerahkan langsung kepada Muzani, di Kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta Selatan.
Mereka mendapat banpol sebesar Rp20.071.345.000 untuk tahun 2025, jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, sekitar Rp18,2 miliar. Peningkatan nilai banpol ini berbanding lurus dengan perolehan suara Gerindra pada Pemilu 2024 yang meningkat dibanding pemilu sebelumnya.
"Bagi kami ini jumlah yang sangat besar. Tapi, kami tahu, itu belum cukup untuk seluruh kegiatan partai. Namun, kami bersyukur dan siap mempertanggungjawabkannya," kata Muzani dikutip Antara.
Partai Perlu Diberi Keleluasaan Mengelola Dana Banpol
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan sudah seharusnya pendanaan partai politik menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena menurutnya, kerja-kerja politik merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat. Di sisi lain, partai politik juga harus siap menerima konsekuensi apapun jika menyalahgunakannya.
Dia mengatakan ada banyak negara di luar Indonesia yang pembiayaan politiknya 100 persen dari APBN. Namun di Indonesia, salah satunya partai Golkar, dana banpol bahkan tidak mampu menutupi 10 persen dari biaya operasional yang dikeluarkan setiap tahunnya.
"Nggak sampai 10 persen (biaya operasional tertutupi dari banpol) dan yang penting itu, bagaimana ke depan kalau memang mau kita tingkatkan dari APBN, ya transparansinya sama bertanggung jawabnya semakin jelas," kata Zulfikar saat dihubungi Tirto, Kamis (22/5/2025).
Sementara Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar menyoroti soal regulasi yang ada. Dia berharap adanya revisi Undang-Undang Partai Politik.
Ia mengusulkan agar partai politik diberi kewenangan mengelola badan usaha untuk memberi ruang dalam pengelolaan keuangan parpol, termasuk potensi pendirian badan usaha.
"Sekarang ormas boleh mendirikan badan usaha, kenapa partai politik tidak boleh? Di negara-negara demokrasi maju, seperti Jerman, partai boleh mendirikan badan usaha. Ini soal kapabilitas dan manajemen," kata Bahtiar, saat penyerahan dana banpol kepada Gerindra, Rabu (21/5/2025).
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Mutaqin Pratama, mendukung wacana kenaikan banpol yang diajukan oleh KPK. Dia berpendapat bahwa kenaikan banpol mampu mengurangi praktik korupsi dan ketergantungan pada satu atau kelompok pemodal.
"Selama ini parpol mengalami kekurangan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya sehingga berdampak pada pencarian dana-dana ilegal, atau donasi dari pemodal yang berdampak pada otonomi partai politik," kata Heroik saat dihubungi Tirto, Kamis (22/5/2025).
Namun, menurut dia partai politik juga harus bersiap mempertanggungjawabkan pendanaan tersebut. Dia menegaskan bahwa dana banpol adalah anggaran dari kantong rakyat, sehingga perlu penguatan mekanisme transparansi dan akuntabilitas termasuk dari sisi audit.
"Jadi harus sejalan antara peningkatan banpol dengan kinerja partai dan transparansi dan akuntabilitas partai," kata Heroik.
Transparansi Pendanaan Politik Perlu Perbaikan
Sementara itu Manajer Program untuk Departemen Tata Kelola Demokrasi dan Partisipasi Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, mencatat sejumlah ketentuan terkait rencana peningkatan dana banpol. Salah duanya terkait ketiadaan pembatasan ketat atas sumbangan swasta dan minimnya publikasi rutin laporan keuangan yang dapat diakses publik.
Dia mendesak agar hal tersebut menjadi perhatian utama agar usulan peningkatan dana banpol tidak menjadi penguatan quo dan memperpanjang praktik politik transaksional yang merusak demokrasi.
Selain itu partai politik harus membuka diri dalam hal partisipasi bermakna dan edukasi politik. Menurutnya, peningkatan dana banpol tanpa dua prasyarat tersebut hanya membuat partai semakin jauh dari konstituen.
"Evaluasi berbasis capaian konkret seperti keterlibatan kelompok marjinal dan pendidikan politik yang bermakna. Tanpa prasyarat itu, kebijakan ini berpotensi menjadi subsidi negara untuk partai yang enggan berbenah," kata Alvin.
Sementara Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia, menyebut waktu pengusulan peningkatan dana banpol saat ini dinilai tidak tepat, karena bertepatan dengan pelaksanaan kebijakan efisiensi anggaran atas instruksi presiden. Usulan tersebut terkesan tidak peka dan kurang sensitif terhadap kondisi masyarakat akar rumput.
"Secara timing, dilontarkannya narasi untuk mensubsidi partai politik ini tidak mencerminkan sensitivitas terhadap kondisi di masyarakat, yang hingga saat ini masih banyak merasakan dampak dari kebijakan pemangkasan anggaran oleh pemerintah, dari banyak sektor-sektor krusial pelayanan publik," kata Yassar saat Tirto hubungi, Kamis (22/5/2025).
ICW juga menyoroti KPK yang perlu meningkatkan komitmen serta keberaniannya dalam menindak aktor politik yang menjadi pelaku korupsi. Sehingga usulan dana banpol harus beriringan dengan peningkatan pengawasan serta penindakan korupsi di ranah politik.
Yassar khawatir KPK akan merosot kinerjanya. Karena berdasar catatan mereka, ada tren menurun terkait penindakan perkara korupsi oleh KPK sejak tahun 2019, terutama yang melibatkan aktor-aktor yang berlatar belakang politik. Menurutnya, hal tersebut berbeda dengan tren penindakan KPK di tahun-tahun sebelum 2019.
"Dari segi penindakan, komitmen serta keberanian KPK ke depannya untuk menindak aktor-aktor terduga pelaku korupsi dari sektor politik –baik dari cabang legislatif maupun eksekutif – terutama yang bersifat high-profile, menjadi syarat mutlak pula apabila usulan KPK terkait bantuan politik kepada partai hendak diimplementasikan," kata Yassar.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto