tirto.id - "Menikah dengan sepupu." Menurut grup studi independen Objektiva, dalam unggahan akun Instagram-nya, 9 Juni 2019, frasa itu kerap muncul dalam pencarian Google di musim lebaran. Objektiva membandingkan data pencarian dalam 5 tahun terakhir, sejak 2015 hingga 2019. Ternyata, tren pencarian selalu meningkat pada pekan silaturahmi momen Idulfitri.
Libur lebaran memang waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Sering kali, Idulfitri menjadi momen pertemuan antara Anda dan saudara-saudara setelah bertahun-tahun tidak bertemu, termasuk pertemuan dengan sepupu Anda. Apalagi kalau masing-masing keluarga memiliki tempat tinggal yang terpencar.
Anda mungkin sudah lupa, waktu detail pertemuan sebelumnya. Yang jelas, saat itu kalian masih anak-anak. Ternyata kini, saat bertemu lagi dengan sepupu, sudah sama-sama dewasa dan mengenal asmara.
Jika menilik pada tren di Google, ada 3 topik yang terkait dengan pencarian tersebut, yakni kesehatan, hukum, dan topik syariah (hukum Islam). Selain itu, ada 3 kueri populer yang berkaitan dengan pencairan tersebut, yaitu: hukum menikah dengan sepupu, bolehkah menikah dengan sepupu, dan apakah boleh menikah dengan sepupu.
Pernikahan dengan Sepupu di berbagai Negara
Obrolan tentang boleh-tidaknya menikah dengan sepupu tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lain, seperti Islandia dan Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, negara tak melarang perkawinan antar-sepupu. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Di Islandia, ada aplikasi bernama Islendinga-App. Aplikasi yang diluncurkan pada tahun 2010 ini mampu memeriksa kekerabatan pada penduduk Islandia asli. Kecilnya populasi di negara tersebut membuat mereka khawatir secara tidak sengaja menikahi kerabat dekat mereka. Menurut situsweb Worldmeters, populasi penduduk Islandia per tanggal 10 Juni 2019 sekitar 340.395 orang.
Di Amerika Serikat, terdapat hukum negara yang mengatur tentang pernikahan antar-sepupu. Dalam laporan Washington Post yang bersumber dari Konferensi Nasional Legislatif Amerika, ada 24 negara bagian melarang pernikahan antar-sepupu pertama, 20 negara bagian lain dan Distrik Columbia mengizinkan pernikahan antar-sepupu.
Selebihnya, ada 6 negara bagian memperkenankan pernikahan dengan sepupu pertama dalam kondisi tertentu. Keadaan tertentu adalah ketika keduanya berusia di atas 50, atau 55, atau 65 (tergantung aturan di masing-masing negara bagian), dan jika salah satu atau keduanya tidak subur secara permanen, serta jika pasangan tersebut telah menerima konseling genetik.
Popular Science menuliskan bahwa praktik pernikahan sedarah dengan sepupu pertama sering dilakukan sebelum 1950, ketika moda transportasi masih terbatas dan orang cenderung tinggal di tanah kelahiran mereka.
Ada beberapa tokoh dunia yang melakukan pernikahan dengan sepupu mereka, seperti Charles Darwin dan Emma Wedgwood (sepupu pertama), Christopher Robin Milne dan Lesley de Selincourt (sepupu pertama), Johann Sebastian Bach dan Mari Barbara Bach (sepupu kedua), dan Albert Einstein dengan Elsa Lowenthal (sepupu pertama).
Risiko Kesehatan Menikah dengan Sepupu
Jika ada pertalian darah, besar kemungkinan persamaan genetik atau DNA semakin besar. Rata-rata persamaan DNA manusia dari persatuan sepupu adalah: 12,5% pada persatuan sepupu pertama, 3,13% pada persatuan sepupu kedua, 0,78% pada persatuan sepupu ketiga, 0,20% pada persatuan sepupu keempat, 0,05% pada persatuan sepupu kelima, dan 0,01% pada persatuan sepupu keenam. Pada persatuan sepupu ketujuh, hubungan genetik yang dimiliki manusia sudah tak berarti sama sekali.
Semakin besar persamaan genetik, masalah yang muncul pun akan semakin besar pula. Dalam artikel Popular Science dijelaskan, perbedaan materi genetik akan membantu melindungi seseorang dari penyakit tertentu. Misalnya, jika ada seorang pria memiliki kerentanan terhadap penyakit tertentu, perempuan yang memiliki susunan gen berbeda bisa membantu mencegah penyakit tersebut agar tak muncul pada keturunan mereka.
Hal ini tentu berbeda ketika ayah dan ibu memiliki DNA serupa. Akibatnya, 4 sampai 7 persen anak-anak yang lahir dari pernikahan dengan sepupu pertama bisa memiliki cacat lahir.
Hanan Hamamy dalam artikelnya yang berjudul “Consanguineous Marriages: Preconception Consultation in Primary Health Care Settings” (PDF) membeberkan adanya tren perkawinan sedarah di Afrika Utara, Asia Barat, dan India Selatan, dengan perkawinan sepupu pertama menyumbang sepertiga dari total jumlah pernikahan.
Untuk menekan angka tersebut, Hamamy menekankan pentingnya konseling kesehatan terkait pernikahan sedarah. Ada beberapa risiko dari pernikahan sedarah, seperti cacat lahir atau kelainan bawaan, gangguan pendengaran dini, gangguan penglihatan dini, keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar, perkembangan terhambat, kelainan darah bawaan, kematian bayi, epilepsi, dan kondisi parah tertentu yang tidak terdiagnosis.
Dalam sebuah artikel di BBC, Ruba dan Saqib, sepasang suami-istri yang merupakan saudara sepupu menceritakan pengalaman mereka kehilangan tiga anaknya. Tak hanya itu, dari pernikahan tersebut, sang istri, Ruba, harus mengalami enam kali keguguran.
Ruba mengatakan kematian anak-anaknya terjadi karena keduanya sama-sama membawa gen resesif yang mencegah pertumbuhan dan perkembangan anak. Ruba pun menyampaikan bahwa kondisi tersebut bukan hal yang dapat disembuhkan.
Kisah tersebut diperkuat dengan penelitian “Risk Factors for Congenital Anomaly in a Multiethnic Birth Cohort: An Analysis of the Born in Bradford study” (PDF) (2013) yang dilakukan oleh Eamonn Sheridan bersama sepuluh rekannya. Melalui riset tersebut, Sheridan, dkk. mencari tahu penyebab utama kematian dan kecacatan bayi di antara kelompok etnis di Inggris.
Di negara tersebut, angka kematian anak-anak tertinggi berasal dari keluarga keturunan Pakistan, dengan penyebab kematian paling umum adalah kelainan bawaan.
Dalam studi ini, Sheridan, dkk. meneliti 12.453 perempuan dari 13.776 kehamilan yang terjadi di Bradford antara 2007 sampai 2011. Para peneliti tersebut melakukan pemantauan terhadap bayi dan pasangan dari responden. Mereka juga memeriksa rekam medis dari para ibu dan berbagai data klinis.
Menurut penelitian tersebut, dari 11.396 bayi yang terdata, 386 bayi (3%) di antaranya memiliki kelainan bawaan. Tercatat rata-rata kejadian anak lahir dari perkawinan sedarah adalah 305,74 per 10.000 kelahiran, sedangkan di tingkat nasional, rata-rata kejadiannya adalah 165,90 per 10.000 kelahiran. Mereka pun melaporkan bahwa ibu-ibu asal Pakistan lebih berisiko ketimbang penduduk asli Inggris.
Setelah diselidiki, pada 2013 ada 18 persen bayi yang lahir dari hubungan dengan sepupu pertama. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berasal dari Pakistan. Ada 1.922 (37%) dari 5.127 bayi keturunan Pakistan lahir dari orangtua dengan hubungan sepupu pertama.
Maka dari itu, meski tak dilarang, pertimbangkanlah faktor kesehatan dari keturunan Anda jika ingin menikah dengan sepupu.
Editor: Maulida Sri Handayani