tirto.id - Tak mau kalah dengan kawan-kawan sebayanya, seorang gadis asal New York bernama Erika Anderson baru-baru ini mengambil dua keputusan penting dalam hidupnya. Keputusan pertama adalah menikah. Dalam sebuah resepsi kecil yang dihadiri selusin orang, sang mempelai wanita kelihatan bahagia membawa karangan bunga di tangan dan—inilah keputusan kedua yang bahkan lebih penting dari yang pertama—menikahi diri sendiri, swanikah.
"Menurutku, ini seperti perempuan mengatakan ‘ya’ pada diri mereka sendiri,” tutur Anderson kepada situs berita lokal Wusa9. "Artinya, kami merasa cukup, meski tidak berpasangan dengan orang lain."
Pada 2010, tujuh tahun sebelum Anderson, lajang Taiwan Chen Wei-yih juga melingkarkan cincin di jarinya sendiri. “Usia 30 adalah puncak. Kerja dan pengalamanku sudah lebih dari cukup, tapi aku tidak bisa menemukan pasangan, jadi mau gimana lagi?” kata Wei-yih seperti diberitakan oleh Telegraph.
"Bukannya aku anti-perkawinan. Aku hanya ingin bisa mengungkapkan gagasan yang berbeda dari batasan tradisi.”
Ketika menginjak usia 22 pada 2011, Dominique Youkhepaz memimpin upacara swanikah di sebuah festival di Nevada. Seratus perempuan, dengan gaun pengantin dan bunga, mengucapkan sumpah:
"Aku tidak akan pernah meninggalkan diriku sendiri."
"Aku berjanji untuk menolong diriku sendiri saat menderita."
"Aku berjanji menatap cermin setiap hari dan bersyukur."
"Aku berjanji untuk memberimu kehidupan luar biasa kau rindukan."
Usia Dominique kini 27 tahun. Ia membuka biro swanikah Self Marriage Ceremonies yang juga menawarkan layanan konsultasi dan upacara.
Krisis Demografi
Swanikah belakangan dikabarkan mulai populer. Alasannya bisa macam-macam. Tidak punya pasangan atau trauma dengan kehidupan berpasangan adalah dua dari sekian alasan. Tidak jelas apakah para sologamis tetap memegang teguh ikrar tunggal mereka di altar. Namun, bisa jadi tindakan menikahi diri sendiri hanyalah bentuk protes terhadap desakan lingkungan sekitar untuk cepat-cepat berumahtangga. Atau terhadap corak relasi dalam rumah tangga yang selama ini dipraktikkan secara luas.
Menghubungkan sologami dengan krisis populasi di sejumlah negara maju, harian Telegraph memuat berita sologami Wei-yih dengan framing konservatif. Telegraph mengutip survei yang diadakan kementerian pendidikan Taiwan pada 2010 yang menyatakan hanya dua per lima perempuan Taiwan yang mengatakan bahwa orang yang hidup berpasangan lebih bahagia ketimbang lajang. Makin mapan, tulis Telegraph, makin kecil kemungkinan perempuan Taiwan untuk menikah.
Populasi dikabarkan turun dan pemerintah Taiwan menunjuk menurunnya angka perempuan yang menikah sebagai penyebabnya. Kegelisahan akan turunnya populasi juga nampak di negara-negara seperti Rusia, Singapura, Jepang, dan Denmark yang akhir-akhir ini menjanjikan insentif bagi siapapun yang ingin berumah tangga atau berencana memiliki anak.
Namun, populasi yang turun serta angka perceraian yang meningkat adalah satu hal, sementara risiko menjalani beban kerja ganda (mengurus rumah tangga dan mencari nafkah) atau malah sekalian menjadi ibu rumah tangga adalah hal lain.
Sebagian peneliti mengklaim bahwa kesadaran kesetaraan gender membuat tingkat perceraian meningkat. Namun di Jepang, untuk mengambil satu contoh, salah satu penyebab turunnya angka perkawinan justru adalah struktur keluarga tradisional yang patriarkis dan mempersulit perempuan ketika sudah berumah tangga. Selain itu, biaya untuk menghidupi keluarga dan jadwal kerja seringkali diutarakan sebagai penghalang berumah tangga, bahkan untuk sekadar berkencan. Walhasil, banyak yang sudah membuang jauh-jauh keinginan menikah.
Kebebasan individu, kepemilikan pribadi, perkawinan, dan cinta, punya riwayat panjang yang kompleks di berbagai tempat.
Menikah dan Kegilaan
“Awalnya saya menulis buku ini untuk membongkar mitos bahwa tahun-tahun terakhir telah terjadi krisis perkawinan. Semakin banyak pasangan bercerai dan konon ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kenyataannya tidak. Pada abad-abad lalu, angka perceraian juga beberapa kali meningkat,” tulis Stephanie Coontz, sejarawan Evergreen State College, Washington, dalam bukunya, Marriage, A History (2005).
Selama berabad-abad, tulis Coontz, orang menikah dengan alasan-alasan di luar cinta. Di masyarakat Barat, menikah karena cinta baru muncul pada abad 18, ketika gagasan kehendak bebas dan hak untuk menentukan nasib dibicarakan luas di ruang-ruang publik, menjelang rontoknya legitimasi kekuasaan monarki, dan revolusi mulai terbayang.
Dalam masyarakat feodal, mengekspresikan perasaan adalah tabu. Komitmen seseorang semestinya ditujukan pada hal-hal yang lebih besar: keluarga, lingkungan sekitar dan Tuhan. Orang Yunani kuno menganggap cinta sebagai bentuk kegilaan. Demikian pula dalam masyarakat India kuno, cinta dipandang merusak hubungan sosial sehingga orang yang jatuh cinta adalah seorang antisosial.
Pada abad pertengahan, orang Perancis menganggap cinta sebagai “kerusakan akal” yang bisa diobati dengan bersetubuh. Di dataran Tiongkok, pada abad yang sama, cinta adalah tanda kegilaan yang bisa diobati dengan menikah. Sebaliknya, suami-istri bisa dipaksa cerai oleh keluarganya apabila keduanya dimabuk cinta dan mengganggu pekerjaan sehari-hari.
Di banyak masyarakat lampau, cinta adalah pertimbangan kesekian untuk menikah, atau diharapkan muncul setelah berumahtangga. Rata-rata orang menikah untuk kepentingan bisnis, memperluas kepemilikan tanah, aliansi politik, mencari sekutu di kala perang, atau bahkan mendamaikan dua kubu yang bertikai.
Pada abad 12 dan 13, kalangan ningrat Eropa mempraktikkan seks di luar pernikahan sebagai “bentuk cinta yang paling mulia. "Praktik selir dan hubungan di luar nikah diperbolehkan atau setidaknya dianggap lumrah. Dua-duanya adalah tanda bahwa cinta dan berumahtangga adalah dua hal yang mesti dipisahkan, jika bukan—dalam praktik menikahi selir—ekspresi kekuasaan.
Karena itu pula kisah-kisah cinta legendaris senantiasa melibatkan permusuhan dengan keluarga atau lembaga keagamaan, dan akhir yang tragis. Romeo dan Juliet, misalnya, bercerita tentang dua orang kekasih yang hubungannya tak direstui keluarga yang bertikai satu sama lain. Kisah nyata Heloise dan Abelard, yang mengilhami ratusan puisi dan prosa, adalah hubungan gelap biarawan-biarawati di dalam institusi gereja. Lantaran pernikahan menjadi alat reproduksi sosial, kelas, dan hubungan-hubungan politik, maka haramlah cinta.
Bercermin dari penjelasan Coontz, swanikah nampaknya menjadi ritual sindiran atas kultur berumahtangga saat ini: desakan untuk menikah dan melakukan reproduksi sosial dengan ongkos tinggi dan membebani diri sendiri, sehingga menikah, dengan atau tanpa cinta, menjadi pilihan yang tak masuk akal dan gila.
Ketika masyarakat semakin mendesak kaum lajang untuk cepat-cepat menikah dan punya anak, sologami, atau menikahi diri sendiri, bisa menjadi jalan keluar. Tapi benarkah sologami adalah solusi? Atau sekadar aksi protes belaka?
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani