tirto.id - Pada 28 Juli 2020, warga dari Kampung Donan Distrik Kosyefo dan warga Kampung Orwen Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, menggelar pertemuan adat guna menyelesaikan perkelahian antarwarga yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Kampung Orwen jadi tuan rumah perjumpaan itu.
Pertemuan rampung tengah hari. Pihak yang bertikai lantaran mabuk-mabukan sepakat untuk berdamai. Setelah itu warga tidak langsung pergi. Mereka masih duduk-duduk di bangku plastik dekat pohon mangga.
Kemudian, datang lima orang dari Koramil Kwoor. Mereka memanggil empat pemuda dari Kosyefo, yakni Neles Yenjau (35), Karlos Yeror (35), HY (24) dan Piter Yewen (30). Mereka juga memanggil satu pemudi dan seorang lansia.
“Masuk di situ (menghampiri TNI), dong duduk lagi. Lalu tentara tendang, sambil pukul, tampar. Termasuk sa dapat tampar dari keamanan itu,” ujar HY ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (3/8/2020).
Perut tiga pemuda lainnya juga ditendang, akibatnya mereka muntah darah. Mereka juga dipukul. HY mengaku luka di kepala dan perutnya karena bogem mentah dari aparat berseragam lengkap tanpa senpi dan sajam itu.
Para korban tak melawan. Warga yang menonton pun takut. Hanya dua perempuan yang tak dipukuli.
Alasan pemukulan karena mereka pernah mabuk lalu merusak kaca rumah.
“Su marah-marah, dong (TNI) panggil sa lagi untuk ke sana, untuk wawancara. Dong kasih kesempatan sa bicara lagi, tapi sa belum ke sana,” kata HY.
Terduga pelaku angkat kaki setelah puas menganiaya.
HY menegaskan semestinya anggota TNI yang berjaga di pos militer terdekat, dalam rangka penanganan COVID-19, tak enteng tangan. Ia berharap terduga pelaku dihukum. “Harus dipecat,” katanya.
Kolonel Kavaleri Zubaedi, Kapendam XVIII/Kasuari, merespons penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Persiapan Koramil Kwoor tersebut.
“Tidak benar. Kejadian tersebut semata-mata pembinaan yang dilakukan oleh anggota atas permintaan tokoh masyarakat, lembaga adat dan para orang tua,” ujar dia ketika dikonfirmasi, Senin (3/8/2020). Tujuannya “untuk memberikan efek jera terhadap beberapa warga yang sering melakukan tindakan semena-mena terhadap warga lain, serta sering merusak dan mengancam saat mabuk.”
Kasus Lain
Pada hari yang sama di Distrik Kasi, juga di Tambrauw, warga kampung Kasi Indah, Kasi Jaya, Waja, memalang jalan karena menuntut Pemkab Tambrauw dan Pemprov Papua Barat menindaklanjuti aspirasi warga setempat yang disampaikan pada Juli 2017, yaitu mengganti Kepala, Sekretaris, dan Bendahara Distrik Kasi dengan orang asli. Protes itu direncanakan berlangsung dua hari.
Sekira pukul 12 siang, anggota TNI datang untuk membuka jalan tersebut. Selanjutnya, warga ke Pos Penanganan COVID-19 di distrik Mubrani (antara Kampung Arfu dan Warokon). Mereka meminta TNI juga membuka palang.
Sehari kemudian warga kembali ke pos, namun pihak tentara masih acuh.
DN (32) melintasi pos tersebut, dia hendak belanja kebutuhan keluarga di kawasan SP9. Di perjalanan, ia melihat masyarakat membawa parang dan panah, sementara anggota TNI menenteng senapan. DN diberi tahu oleh penduduk setempat soal pemalangan. Kedua kubu lantas saling serang. Warga melempar batu ke pos, sedangkan tentara menangkap Soleman Kasi dan Henky Mandacan.
Kedua diseret ke dalam pos lalu dipukul. “[Henky] dipukul, diseret, masuk ke dalam pos itu. Soleman dapat pukul, dia lari lalu masuk ke hutan untuk selamatkan diri,” ujar DN ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (3/8/2020).
Jubi melaporkan pada Maret-Juli terjadi “serentetan tindakan intimidasi dan penganiayaan terhadap warga di Kabupaten Tambrauw” yang “berpangkal dari berbagai kasus.” Kasus di atas salah duanya. Ada pula kasus lain yang menimpa warga Werbes dan Werur. “Intimidasi ini terkait kampanye penolakan pembangunan kodim,” kata Yohanes Mambrasar, advokat HAM, kepada Jubi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan kasus-kasus seperti ini tidak boleh terulang. “Kami serius mendesak pemerintah di Jakarta untuk menginvestigasi kekerasan oleh anggota TNI,” tutur Usman ketika dihubungi reporter Tirto, Sabtu (1/8/2020).
Usman menegaskan semua WNI sama kedudukannya di hadapan hukum, tidak terkecuali militer. Segala pelanggaran hukum pidana umum harus diproses sesuai yurisdiksi peradilan umum. “Sama sekali tidak cukup jika hanya dibawa ke pengadilan militer, sebab secara konsep maupun praktik, pengadilan ini tidak memenuhi standar keadilan hukum. Bahkan seringkali hanya digunakan sebagai sarana lepas tanggung jawab atasan dan menyalahkan bawahan,” katanya.
Selama ini pemerintah cenderung permisif atas kekerasan oleh anggota militer, katanya, bahkan mereka kerap menutup mata dengan melontarkan pernyataan yang kerap menyudutkan masyarakat, termasuk menuduh mereka separatis.
Sementara Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan akan mendorong penyelidikan di internal TNI agar pelaku diberikan hukuman sesuai kesalahan.
“Mendorong pemerintah pusat untuk bersungguh-sungguh dalam penyelesaian Papua sehingga rantai kekerasan bisa berhenti, penegakan hukum berjalan, dan dialog kemanusiaan bisa dilakukan,” kata dia kepada reporter Tirto, Sabtu (1/8/2020).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino