tirto.id - Nama Raden Brotoseno kembali menjadi sorotan. Meski berstatus divonis lima tahun penjara pada 2017 lantaran terseret kasus suap cetak sawah, ia masih terlihat jalan-jalan dengan artis Tata Janetta pada akhir Agustus 2020.
Menanggapi hal itu, pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menyebut kalau Brotoseno sudah bebas sejak Februari 2020 lalu dengan pembebasan bersyarat.
“Yang bersangkutan telah bebas bersyarat pada 15 Februari 2020 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor PAS-1052.OK.01.04.06 Tahun 2019 tentang Pembebasan Bersyarat Narapidana serta pidana denda Rp300 juta subsidair 3 bulan telah habis dijalankan," terang Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti dalam keterangan tertulis, Rabu (2/9/2020).
Karir Brotoseno Hingga Masuk Jeruji Besi
Brotoseno bukan polisi sembarang. Pria yang tercatat sebagai alumni AKPOL 1998 itu merupakan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Brotoseno masuk bui karena menerima uang sebesar Rp1,9 miliar untuk mengurus penundaan pemanggilan eks Menteri BUMN Dahlan Iskan. Reporter Tirto tidak berhasil menemukan dokumen utuh resmi putusan perkara Brotoseno di Direktori Putusan Mahkamah Agung, baik Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta maupun Mahkamah Agung.
Informasi yang diperoleh dari laman resmi Mahkamah Agung adalah Brotoseno divonis 5 tahun penjara dengan denda Rp300 juta subsider 3 bulan di pengadilan tingkat pertama.
Tirto hanya mendapat dokumen putusan (PDF) Pengadilan Tinggi Jakarta dengan terdakwa Harris Arthur Hedar, kala itu legal Corporate PT Jawa Pos News Network, sebagai pihak yang disebut pemberi dalam perkara Brotoseno dan dokumen putusan (PDF) Lexi Mailowa Budiman, pengusaha kafe sekaligus karyawan swasta, selaku perantara dalam kasus Brotoseno.
Kasus diawali berawal pertemuan keluarga Dahlan Iskan dengan Suhendro Boroma, Dirut PT Jawa Pos National Network (JPNN). Pertemuan itu membahas soal Dahlan yang dipanggil penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri. Ia dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam Perkara Cetak Sawah di Ketapang, Kalimantan Barat.
Suhendro kemudian meminta tolong kepada Harris Arthur Hedar selaku corporate legal grup Jawa Pos pada masa itu untuk mengurus penundaan pemanggilan Dahlan. Harris kemudian menghubungi pengusaha bernama Lexi Mailowa. Dalam sebuah pertemuan, Harris menanyakan potensi fee yang muncul dari pengurusan penundaan pemanggilan Dahlan. Lexi menjawab bahwa mungkin perlu uang sebagai ucapan terima kasih.
Harris kemudian bertemu dengan Suhendro untuk membahas biaya pengurusan penundaan pemanggilan Dahlan. Dalam pertemuan tersebut Harris menyebut biaya operasional pengurusan hingga Rp6 miliar. Suhendro, lewat PT JPNN, kemudian meminjam uang kepada PT Kaltim Energy Power, salah satu perusahaan milik Dahlan Iskan sebesar Rp25 miliar. Ternyata, sekitar Rp6 miliar disalurkan kepada Harris pada 12 Agustus 2016 dan Rp1,878 miliar pada tanggal 23 Agustus 2016. Kemudian, Harris mengirimkan uang sebesar Rp3 miliar kepada Lexi untuk pengurusan penundaan pemanggilan.
Terpisah, Lexi pun kemudian dikenalkan dengan Brotoseno lewat seseorang bernama Dedy Setiawan. Dedy lantas mempertemukan Lexi dengan Brotoseno yang kala itu mengaku butuh biaya untuk pengobatan orangtuanya. Lexy lantas mengirimkan uang kepada Dedy sebesar Rp1 miliar untuk diserahkan kepada Brotoseno. Dedy pun menerima sekitar Rp100 juta dari pemberian Lexy.
Pada tanggal 21 Oktober 2016, penyidik memanggil Dahlan untuk diperiksa tanggal 26 Oktober 2016. Akan tetapi, Brotoseno mengarahkan agar pihak Dahlan bersurat kepada penyidik dengan alasan pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Setelah penundaan pemanggilan kedua, Lexi mengirimkan kembali uang Rp900 juta pada 2 November 2016 kepada Brotoseno lewat Dedi Setiawan Yunus.
Pada tanggal 14 Juni 2017, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Hakim Ketua Baslin menyatakan Brotoseno bersalah karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Ia pun dijatuhkan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan. Sementara itu, Lexi divonis bersalah dengan hukuman 1 tahun 6 bulan dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan sementara Harris divonis bebas oleh Mahkamah Agung.
Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat yang Problematik
Tak hanya bebas bersyarat, nyatanya Brotoseno juga sempat mendapat remisi selama 13 bulan dan 25 hari. Hal ini menjadi problematik mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan memberikan kriteria khusus bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi maupun pembebasan bersyarat.
Namun Rika memastikan kalau pemberian remisi dan pembebasan bersyarat Brotoseno sudah memenuhi syarat. “Yang bersangkutan telah memenuhi syarat administratif dan substantif, termasuk telah bersedia membantu dan bekerjasama dengan aparat penegak hukum berdasarkan Surat Keterangan dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan nomor: B-1388/0.1.14.4/Fu.1/05/2018 tertanggal 16 Mei 2018,” kata Rika.
Rika menjelaskan, pemberian remisi kepada Brotoseno sudah sesuai pasal 34A ayat 1 PP 99 tahun 2012. Selain itu, pemberian pembebasan bersyarat juga sudah mengacu kepada pasal 43A ayat 1 PP 99 tahun 2012 karena sudah menjalani 2/3 hukuman. Ia pun mengatakan, hukuman Brotoseno akan berakhir pada 29 September 2020.
Pasal 34A ayat 1 menyatakan bahwa narapidana korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan trans-nasional terorganisasi harus memenuhi syarat khusus selain syarat umum pemberian remisi kepada narapidana.
Setidaknya ada 3 syarat khusus yaitu harus bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan ikut program deradikalisasi dan berikrar setia kepada Indonesia secara tertulis bagi WNI dan tidak mengulangi perbuatan bagi WNA bagi narapidana tindak pidana terorisme.
Sementara itu, pasal 43A ayat 1 mengatur syarat khusus pemberian pembebasan bersyarat narapidana korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat dan kejahatan trans-nasional terorganisasi.
Pertama, narapidana bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; Kemudian sudah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan; Narapidana juga telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana.
Peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi UGM Zaenur Rohman menyoalkan pemberian status pelaku bekerja sama atau Justice Collaborator (JC) sehingga Brotoseno bisa dapat remisi maupun pembebasan bersyarat. Ia menilai perlu ada penjelasan posisi Brotoseno sebagai pelaku utama atau tidak dalam perkara korupsi. Sebab, JC hanya bisa diberikan kepada pelaku yang bekerja sama dan bukan berstatus pelaku utama dalam perkara korupsi yang dialami oleh tersangka, terdakwa maupun terpidana.
“Ini menimbulkan tanda tanya apakah benar Brotoseno adalah JC? Apakah Brotoseno memenuhi syarat-syarat seseorang memperoleh JC?” tanya Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis.
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) membenarkan kalau mereka menerbitkan surat bahwa Brotoseno menjadi pelaku yang bekerja sama. Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Jaksel Ridwan Ismawanta mengatakan, Brotoseno memenuhi syarat untuk mendapatkan surat keterangan sebagai pelaku yang bekerja sama.
“Kalau setelah diteliti berkasnya, pada tahap penuntutan dia dianggap kooperatif, telah membayar denda kemudian bekerja sama dengan penuntut umum dalam mengungkap peran serta atau keterlibatan terdakwa lainnya,” kata Ridwan kepada reporter Tirto, Kamis.
Ridwan mengatakan, Brotoseno membantu penuntut umum dalam mengungkap peran serta empat terdakwa lain. Ia tidak merinci terdakwa mana saja yang menjadi pertimbangan untuk pemberian surat tersebut. Namun ia memastikan, “karena Brotoseno lah, jadi bisa ngungkap yang lainnya dan perannya semua dijelaskan oleh Brotoseno”.
Ridwan menambahkan, para terdakwa pun kini sudah berstatus terpidana. Brotoseno pun konsisten dalam memberikan keterangan selama persidangan maupun keempat terdakwa. Akan tetapi, Ridwan tidak bisa menjawab lebih jauh soal posisi Brotoseno sebagai pelaku utama atau tidak lantaran baru menjabat 6 bulan di Kejari Jaksel.
“Kalau masalah teknis perkara, saya belum tahu. Saya cuma ngecek apakah ada surat itu? Iya ada. Jadi yang meminta itu sebenarnya pihak lapas makanya kan lapas ditanya kemudian dari Jakarta Selatan saya konfirmasi iya ada surat itu,” kata Ridwan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Restu Diantina Putri