Menuju konten utama

Mengurai Masalah Sampah Pasar Induk Caringin

Pasar Caringin dan Gedebage kembali darurat sampah. Warga dan pedagang terdampak, sementara pengelola klaim kondisi terkendali. Bagaimana kondisinya?

Mengurai Masalah Sampah Pasar Induk Caringin
Kondisi tumpukan sampah di TPS Pasar Induk Caringin, Kota Bandung yang masih menggunung, pada pertengahan Oktober 2025 lalu. Sejumlah tumpukan sampah pun tampak di depan kios pedagang. tirto.id/Amad NZ

tirto.id - Dua pasar induk di Kota Bandung; Gedebage dan Caringin punya permasalahan laten, darurat sampah. Pembatasan kuota pengiriman ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar), menjadi tantangan tambahan bagi pengelolaan sampah di kedua pasar itu.

Pasar Induk Caringin dan Gedebage sempat disorot Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi akibat pengolahan sampah yang buruk. Pada akhir bulan April 2025 silam, ia bahkan sempat meninjau langsung ke lokasi tersebut. Masalah pun sempat teratasi. Setidaknya situasi itu terkendali untuk beberapa bulan dari situ.

Namun permasalahan timbulan sampah kembali mencuat di Pasar Induk Caringin, pada pertengahan September 2025 lalu. Alih-alih meninjau lagi ke lokasi, Dedi menegaskan sudah mengambil tindakan dan mengingatkan tanggung jawab pengelola pasar.

“Saya tidak akan menangani pasar tersebut, karena saya sudah memberi arahan sejak awal. Saya sudah mengambil tindakan,” cetus Demul melalui unggahan di media sosial pribadinya, pada Minggu (14/9/2025).

Pasar Induk Caringin, menurutnya, merupakan pasar yang dikelola swasta. Terdapat retribusi atau iuran sampah yang dipungut pengelola. Lantas seharusnya proses pengolahan sampah dilakukan secara mandiri. Apabila tidak mampu, maka bakal dikenai sanksi pidana.

“Waktu itu setelah saya bersihkan, saya menyampaikan bahwa selanjutnya dikelola di areal sampah sendiri. Apabila tidak dilakukan maka akan terjadi perbuatan pidana dan aspek pidana lingkungan berjalan,” lanjut Demul.

Warga sekitar keluhkan bau, pedagang pasar keluhkan iuran tinggi

Mulyati, seorang warga yang tinggal tak jauh dari pasar itu, menyebutkan usai kedatangan Demul, pengolahan sampah secara mandiri memang sempat dilakukan oleh pengelola. Lahan yang dipakai merupakan milik Pemprov Jabar, tetapi muncul permasalahan baru.

Warga permukiman sekitar menolak adanya tempat pengolahan tersebut. Ia menuturkan, proses uji coba itu tidak bertahan lama. Belum ada satu bulan, rentang waktu Juni atau Juli 2025, warga melakukan protes ke lokasi pengolahan sampah di belakang pasar.

"Ada penumpukan sampah dan air limbah mengganggu warga. Kami sekarang menolak keras. Ada plang dan juga banner menolak keras,” ungkap wanita 39 tahun itu kepada kontributor Tirto di rumahnya, akhir September 2025 lalu.

Kendati pengolahan sampah dihentikan, ia mengaku dampak masalah tersebut masih menghantui warga RT3/RW5, Kelurahan Babakan Ciparay, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung.

“Sekarang menggunung. Dampak ke warga, [timbul] bau. Kalaupun ke pasar, cuman berapa menit, [sudah tercium] bau. Sampah menumpuk. Sampahnya tidak diangkut,” ujarnya.

Pantauan kontributor Tirto di lokasi selama rentang akhir September hingga pertengahan Oktober 2025, kondisi timbulan sampah di TPS Pasar Induk Caringin tak banyak berubah. Sampah masih tampak menggunung kurang lebih setinggi empat meter.

TPS Pasar Induk Caringin

Kondisi tumpukan sampah di TPS Pasar Induk Caringin, Kota Bandung yang masih menggunung, pada pertengahan Oktober 2025 lalu. Sejumlah tumpukan sampah pun tampak di depan kios pedagang. tirto.id/Amad NZ

Tumpukan sampah nyaris menutup separuh ruas jalan di pertigaan sekitar kios pedagang ikan. “Ya, kalau bicara harapan. Ini tumpukan sampah mending segera diolah lagi. Entah berapa kali diangkut. Semoga kembali lagi seperti dulu, selalu diangkut setiap hari,” imbuh Mulyati.

Seorang pedagang, Kemed—bukan nama sebenarnya—mengeluhkan kondisi tersebut, yang dinilai masih jauh dari kata membaik. Bukan hanya sampah yang berada di TPS, kondisi serupa juga terjadi di depan kios dagangnya. Timbulan sampah menumpuk di pinggir jalan.

“Soalnya bayar kita gede tiap kios. Per bulan kan lumayan, satu lokasi Rp150 ribu per bulan. Bayangin ada berapa kios," keluh Kemed di ruko dagangnya, awal Oktober 2025 lalu.

Ia mafhum kini ada pembatasan membuang sampah ke TPA Sarimukti, tetapi yang menjadi pertanyaan para pedagang: ke mana perginya uang pungutan sampah yang tiap bulan mereka bayarkan?

"Dulu kan lancar. Kenapa sekarang gara-gara masalah pembuangan akhir jadi nggak lancar. Kan uang untuk pembuangan masih ada [dipungut], kenapa nggak cari opsi lain?” tanyanya.

Pengelola Klaim Sampah di Pasar Induk Caringin Masih Terkendali

Kepala Pengelola Pasar Induk Caringin, Asep Syarief Hidayat menyebutkan, polemik timbulan sampah yang muncul kembali telah terselesaikan. Saat ini pihaknya mengklaim kondisi masih terkendali. Perwakilan dari Pemprov Jabar pun sempat meninjau langsung lokasi.

“Dari dinas provinsi melihat di TPS memang ada [tumpukan]. Yang namanya TPS kan ada [tumpukan sampah]. Tiap hari kami produksi sampah 40 ton. Kami buang ke TPA Sarimukti, anggap 25 ton. Sisanya menumpuk di TPS,” ungkap Asep kepada kontributor Tirto di ruang kerjanya, awal Oktober 2025 lalu.

Ia mengaku penumpukan diperparah dengan pembatasan pembuangan ke TPA Sarimukti. Imbasnya, ritase pengiriman sampah Pasar Induk Caringin ke tempat pembuangan di Kabupaten Bandung Barat (KBB) itu, mengalami pengurangan. Dari semula sembilan ritase, saat ini dibatasi menjadi tiga ritase.

“Jadi kebayang, kan? Ada sebanyak enam ritase tak terangkut. Anggap saja satu ritase ada 7 ton. Itu kondisi [memberatkan],” tambahnya.

Sejumlah langkah sempat dilakukan pengelola guna meminimalisir penumpukan sampah. Namun dalam prosesnya, Asep melanjutkan, pengelola pasar mesti memutar otak kembali usai rencana pengolahan sampah dengan metode fermentasi dan komposting, sempat diprotes warga.

“[Iya] selama masa trial berjalan, ada penolakan masyarakat. Karena ada dampak [lingkungan]. Sehingga kami evaluasi dan berhenti tiga bulan. Lalu akhirnya kami mengganti vendor baru yang lebih tepat guna, mungkin akan mulai instalasi, trial di minggu ketiga [Oktober 2025],” lanjutnya.

Asep bilang, pengelolaan sampah nantinya akan berbasis bioteknologi. Hasil dari pengolahan sampah pasar bakal menjadi pupuk hingga pakan ternak. Ia optimistis residu 40 ton bisa diolah dengan mesin tersebut.

Pihaknya pun sudah menyampaikan rencana itu kepada masyarakat, bahkan warga sekitar bakal dilibatkan dalam proses pengolahan itu.

Lantas selagi menyiapkan mesin pengolahan, ia mengklaim, hingga saat ini proses penanganan sampah di TPS Pasar Induk Caringin masih terbilang aman. “InsyaAllah sekarang [tumpukan] masih terkendali. Yang kami antisipasi jangan sampai mengganggu [aktivitas] pedagang dan pengunjung. [Sementara] kami masih berupaya dengan pengolahan sampah press (pemadatan), lalu diangkut, dan dibuang,” tandasnya.

TPS Pasar Induk Caringin

Kondisi tumpukan sampah di TPS Pasar Induk Caringin, Kota Bandung yang masih menggunung, pada pertengahan Oktober 2025 lalu. Sejumlah tumpukan sampah pun tampak di depan kios pedagang. tirto.id/Amad NZ

Penumpukan Sampah Terjadi di Sejumlah Titik Kota Bandung

Terkait pengelolaan sampah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung, Darto, menyebutkan bahwa hingga saat ini belum ada kesepakatan kerja sama antara pihaknya dengan Pasar Induk Caringin.

Jadi, mengacu terhadap Perda Nomor 9 Tahun 2018, ia mempersilahkan pengelola pasar untuk mengurus sampah secara mandiri.

“Itu kan kawasan berpengelola. Iya, sok atuh [silahkan] dikelola sampahnya,” kata Darto saat dihubungi Tirto, Selasa (14/10/2025).

“Waktu itu sudah tawarkan [kerja sama]. Tapi nampaknya belum ada kesepakatan. Kami nggak bisa paksa. Ya, silakan lakukan sesuai dengan regulasi yang ada,” tambahnya.

Sementara itu saat disinggung soal pengolahan sampah di Pasar Induk Gedebage, Darto memastikan, pengelolaan sampah di wilayah Bandung Timur itu dinilai sudah berjalan baik.

“Kurang lebih di angka 25 hingga 30 ton tiap hari. Tiap hari kesanggupan mereka mengelola sampah. Intinya ada [pengolahan] komposting,” katanya.

Kendati demikian, Darto tidak menampik kondisi darurat serta penumpukan sampah yang saat ini terjadi di sejumlah titik Kota Bandung. Menurutnya, sekian ton sampah yang menumpuk tersebut berasal dari sampah-sampah sisa pengolahan.

"[Sejak perubahan kebijakan] dari ritase ke tonase itu dimulai tanggal 1 September 2025, kami sudah tahu bahwa akan ada akumulasi tumpukan. Akibat dari sisa harian sampah yang tidak bisa diangkut ke TPA dan tidak bisa diolah," ungkap Darto.

Sebelum kebijakan tonase, pihaknya mendapatkan jatah buang sampah ke TPA Sarimukti dengan mekanisme ritase. Perubahan kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Barat Nomor: 6174/PBLS.04/DLH perihal Peringatan dan Pembatasan Pembuangan Sampah ke TPPAS Regional Sarimukti.

Ia menuturkan Kota Bandung kini hanya diizinkan membuang 981 ton sampah per hari. Kuota itu jauh berkurang dari kapasitas sebelumnya yang mencapai 1.200 ton per hari. Akibat pengurangan tersebut, terdapat sekitar 200 hingga 300 ton sampah per hari yang tidak dapat terangkut ke TPA.

"Sementara dugaan awal atau hitungan [kebijakan baru bakal] sesuai kesepakatan, [ternyata] 981 ton. Itulah kan penyebabnya. Ya jadi ada selisih dari [perubahan kebijakan] ritase ke tonase itu yang cukup signifikan," tuturnya.

Meski hingga saat ini masih ada penumpukan, karena kemampuan membuang dan mengolahnya yang meninggalkan sisa sampah. Ia memastikan pemkot terus mengoptimalkan proses penanganan sampah.

Terdapat beberapa metode. Mulai dari pengolahan dengan maggot, komposting, hingga program pemkot terkait pengolahan sampah: Kurangi, Pisahkan dan Manfaatkan (Kang Pisman), hingga metode berbasis thermal atau insinerator. Pemkot Bandung juga mengatakan bakal kembali siapkan beberapa mesin insinerator untuk menunjang masalah sampah hari ini.

TPS Pasar Induk Caringin

Kondisi tumpukan sampah di TPS Pasar Induk Caringin, Kota Bandung yang masih menggunung, pada pertengahan Oktober 2025 lalu. Sejumlah tumpukan sampah pun tampak di depan kios pedagang. tirto.id/Amad NZ

Jangan Hilang Fokus terkait Sampah Pasar

Pernyataan Gubernur Jabar Dedi yang enggan membantu lagi membersihkan sampah yang terus menggunung di Pasar Caringin, didukung penuh Koordinator Tim Advokasi Sampah Walhi Jabar M. Jefry Rohman. Menurutnya, justru pemerintah harus menindak tegas para pengelola pasar yang ‘bandel’ supaya mengelola sampahnya secara mandiri.

“Hal ini selaras dengan apa yang Walhi sampaikan di beberapa pertemuan dengan Wali Kota Bandung sebelum dilantik. Bahwa, pemerintah harus lebih memprioritaskan dan fokus pada permasalahan sampah di kawasan komersial seperti pasar,” ungkap Jefrey melalui pesan singkat kepada Tirto, beberapa waktu lalu.

Ia menegaskan, pasar sebagai kawasan komersial yang notabene memiliki izin usaha, harus mengelola sampahnya sendiri. Terlebih jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Ada juga Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, secara khusus Pasal 24, 27 dan 59, dapat menjadi landasan hukum sebagai instrumen kontrol pemerintah dalam mendorong pengelola pasar untuk mengelola sampah mandiri.

“Mereka mempunyai sumber daya finansial yang cukup dibandingkan dengan warga yang mengelola di permukiman penduduk. Dengan begitu, kiranya akan lebih mudah dilakukan Pemerintah untuk mendorong dan mendesak pengelola kawasan komersial untuk mengelola sampahnya,” tegas Jefry.

Di satu sisi, menurutnya, kawasan komersial yakni pasar yang punya lembaga pengelola, juga harus bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sampahnya secara mandiri. Ini berarti jangan sampaimembebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Berdasarkan data-data di atas, dan semakin tidak terkontrolnya [dampak negatif] timbulan sampah organik di TPA Sarimukti dengan beberapa rangkaian bencana yang terjadi. Pemerintah harus lebih fokus membangun sistem pengelolaan sampah organik di kawasan komersial tersebut,” tuturnya.

Sehingga dalam konteks tidak membebani APBD, sebut Jefrey, pengelola kawasan komersial bertanggung jawab dan berupaya mengelola sampahnya secara mandiri. Selanjutnya, peran yang harus dilakukan pemerintah adalah memastikan hal tersebut bisa terjadi dengan mengacu pada peraturan yang berlaku.

Ia memberikan contoh, timbulan sampah yang sempat menimpa Pasar Induk Caringin dan Gedebage. Seharusnya pengelola bertanggung jawab membiayai pengelolaan sampah. Sementara APBD, menurut Jefrey, akan lebih bijak difokuskan untuk mengurus dan mensubsidi kebutuhan biaya yang dibutuhkan masyarakat di kawasan permukiman.

“Kalau sekiranya hal ini serius dilakukan pemerintah, dijamin umur TPA akan semakin panjang. Karena yang akan dibuang ke TPA adalah sampah residu sisa hasil pengelolaan dan penanganan di sumber, khususnya di kawasan komersial. Tentunya ditangani dengan cara-cara yang ramah lingkungan dengan tidak menggunakan teknologi insinerator yang belum jelas keamanannya bagi lingkungan,” papar Jefrey.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Amad NZ

tirto.id - News Plus
Kontributor: Amad NZ
Penulis: Amad NZ
Editor: Alfons Yoshio Hartanto