tirto.id - Wacana untuk mengadopsi penggunaan teknologi digital dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia kembali mengemuka. Kali ini, yang didorong adalah penggunaan teknologi e-voting.
Penerapan E-voting ini sebetulnya bukan wacana yang benar-benar baru. Pasalnya, ia sudah sering dibahas semenjak dua periode pemilu sebelumnya. Namun, pelaksanaanya masih terhalang regulasi dan perkara teknis yang belum siap.
Wacana penerapan e-voting untuk pemilu Indonesia kali ini disuarakan oleh anggota Komisi II DPR RI, Romy Soekarno. Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta mempertimbangkan penerapan e-voting pada pemilu selanjutnya untuk menyokong apa yang disebut Romy sebagai “demokrasi 5.0”.
Hal itu disampaikan Romy dalam agenda Rapat Kerja Komisi II bersama KPU dan Bawaslu di Kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2025). Agenda rapat membahas laporan penggunaan APBN dari KPU dan Bawaslu tahun anggaran 2024 serta Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk 2026.
"Setelah memilih akan tercetak lima lembar bukti suara pemilih, yaitu KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, dan saksi partai. Hasil suara akan langsung masuk ke server pusat secara real-time tanpa perlu input manual," tutur politikus dari Fraksi PDIP itu, dilansir Antara.
Penggunaan e-voting diprediksi dapat menghemat anggaran pelaksanaan pemilu secara signifikan menjadi sekitar Rp52 triliun-Rp58 triliun. Sebab, kata Romy, Pemilu 2024 lalu menelan biaya mencapai Rp71 triliun. Untuk itu, dia mendorong KPU mulai berpikir secara teknokratik.
Selain efisien, Romy menilai e-voting akan menekan berbagai kecurangan yang selama ini kerap terjadi dalam pemilu konvensional.
“Saya melihat zaman dulu itu kertas banyak sekali yang menjadi titik curang sehingga 100 persen dari kecurangan kertas dapat dihindari,” lanjut Romy.
Pembahasan terkait sistem Pemilu dan Pilkada 2029 memang tengah menjadi perbincangan hangat sebab adanya kebutuhan merevisi Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada. Pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, juga telah berencana membentuk payung hukum berupa kodifikasi regulasi pemilu.
Kodifikasi adalah proses penyusunan dan penyatuan berbagai peraturan menjadi sebuah kode atau kitab undang-undang yang sistematis dan baku. Bentuk lain yang sempat jadi opsi adalah Omnibus Law Poltik atau UU sapu jagat terkait pemilu dan parpol.
Namun, hingga saat ini, DPR dan pemerintah belum melanjutkan kembali pembahasan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada yang sudah ditetapkan dalam Prolegnas 2025. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan Putusan MK Nomor 135/2024 yang memisah waktu pelaksanaan pemilu nasional dan lokal.
Butuh Uji Coba Panjang dan Berjenjang
Di Indonesia, e-voting sebetulnya sudah pernah diterapkan dalam kontestasi pemilihan kepala desa atau pilkades di sejumlah daerah sejak 2013. Sistem e-voting yang digunakan dalam pilkades merupakan teknologi yang dikembangkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun, penerapannya belum diuji coba di level pemilu daerah dan nasional.
Peneliti dari Perludem, Usep Hasan Sadikin, menilai e-voting memang memiliki kelebihan dalam hal akurasi, kecepatan, kemajuan, dan penampilan saat digunakan pemilih. Aspek itu dinilai dapat mendorong peningkatan penggunaan hak pilih dalam pemilu.
Namun, untuk diterapkan serentak secara nasional, teknologi e-voting harus terlebih dulu melewati uji coba yang panjang dan bertahap.
Uji coba itu mesti dimulai dari ajang pilkades hingga pilkada dan pemilu legislatif daerah pada tingkat kecamatan yang telah didukung infrastruktur teknologi digital. Baru kemudian, ia dapat ditingkatkan ke cakupan wilayah kota atau kabupaten.
“Jadi, e-voting untuk skala nasional pada 2029 ini belum bisa,” kata Usep kepada wartawan Tirto, Jumat (11/7/2025).
Selain memerlukan waktu uji coba yang panjang dan tahapan bertingkat, penerapan e-voting juga terganjal kepercayaan elite politik dan rakyat. Kepercayaan itu berkait dengan teknologi e-voting apa yang dipilih, jenama, produsen, serta ketangguhannya menghadapi potensi serangan siber.
Menurut Usep, penerapan e-voting sebenarnya malah tidak membuat anggaran lebih efisien, alih-alih ia berpotensi membengkak. Dia mencontohkan penerapan e-voting di India yang luas wilayah dan jumlah penduduknya mirip dengan Indonesia.
Di India, penggunaan e-voting tidak bisa diterapkan dalam satu hari pemungutan suara. Pasalnya, mesin e-voting amat mahal dan pengadaannya terbatas. Penggunaannya pun harus dirotasi untuk tiga wilayah.
“E-voting mahal karena punya banyak aspek pembiayaan, di antaranya pengadaan, servis bahkan pergantian alat secara mendadak, pemeliharaan, dan ketergantungan terhadap vendor. Ketergantungan ini mengurangi kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu,” ungkap Usep.
Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya, mengklaim pelaksanaan e-voting di 1.700 pilkades berjalan dengan aman. Hal ini disampaikannya untuk menanggapi wacana Pemilu 2029 mengadopsi sistem e-voting. Bima bahkan mendorong pelaksanaan pilkades-pilkades berikutnya terus menggunakan e-voting.
Pada 2024, BRIN mencatat ada sekitar 27 kabupaten dan 1.752 desa di Indonesia yang telah melaksanakan pilkades dengan e-voting.
Namun, Bima mengakui terdapat perbedaan tantangan terkait aspek kesiapan infrastruktur dalam penerapan e-voting di tingkat desa dan nasional. Politisi PAN itu menilai penerapan e-voting di tingkat kabupaten/kota memerlukan sistem yang lebih matang. Karenanya, dia tidak bisa memastikan apakah e-voting bakal bisa diterapkan di Pemilu 2029.
“Nanti, di tahapan pilkades berikutnya akan dimaksimalkan sehingga ini menjadi batu loncatan menuju e-voting di tingkat nasional,” ujar Bima usai acara diskusi di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (19/5/2025) lalu.
Pembenahan Lebih Urgen
Teknologi e-voting memang sempat hampir diterapkan dalam pemungutan suara, terutama dalam ajang pilkada. Pasalnya, pada 2010 silam, MK menyatakan bahwa penerapan e-voting sah dilakukan dalam pemilu. Hal itu termuat dalam Putusan MK Nomor 147/PUU-XX/2010 yang memutuskan metode coblos atau contreng setara dengan sentuhan pada panel komputer atau touchscreen.
Bahkan, lewat Putusan MK Nomor 137/PUU-XXII/2024, MK meminta pembentuk undang-undang mempertimbangkan penggunaan peralatan pemilihan secara elektronik untuk pemilu dan pilkada selanjutnya (2029).
Salah satu alasannya, MK menilai penggunaan peralatan pemilihan secara elektronik dapat memiliki manfaat dalam mewujudkan efektivitas dan efisiensi proses kontestasi politik.
Kendati begitu, pakar hukum kepemiluan sekaligus pengajar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, memandang bahwa yang lebih mendesak sebelum pemerintah dan DPR berbicara terkait penggunaan e-voting secara nasional adalah optimalisasi penggunaan teknologi rekapitulasi suara secara elektronik atau Sirekap.
Pasalnya, hampir semua negara yang berhasil menerapkan e-voting telah terlebih dahulu melalui perbaikan serius dalam pemutakhiran data pemilih, penghitungan suara, dan rekapitulasi suara dengan teknologi informasi.
Pembenahan sektor itu pun urgen karena KPU punya riwayat kegagapan dalam implementasi teknologi dalam sistem Sirekap pada Pemilu 2024 lalu.
“Serta pengalaman pilkada serentak nasional tahun 2024 yang juga tidak berhasil menampilkan digitalisasi hasil dan hanya bisa sampai pada pengunggahan foto hasil suara di TPS saja,” ujar Titi kepada wartawan Tirto, Jumat (11/7/2025).
Artinya, kata Titi, sebelum teknologi sepenuhnya digunakan, integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu terlebih dahulu perlu dipastikan.
Apalagi, sistem e-voting memerlukan kepercayaan dan legitimasi yang baik dari peserta dan masyarakat pemilih. Teknologi yang digunakan harus benar-benar andal dan akuntabel.
Karena pemilu adalah kompetisi perebutan kekuasaan, teknologi yang tidak akurat dan tidak valid justru akan memicu protes serta sengketa berkepanjangan. Bahkan di Amerika Serikat, sejumlah negara bagian memutuskan untuk meninggalkan penggunaan e-voting karena keraguan dan ketidakpercayaan pada teknologi yang digunakan.
“Sebaiknya berkonsentrasi saja pada digitalisasi rekapitulasi suara dengan memastikan Sirekap bisa difungsikan secara optimal menggantikan proses manual. Kalau Sirekap saja belum becus diurus, tidak usah terlalu muluk-muluk mau menggunakan e-voting,” ujar Titi.
Sementara itu, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai bahwa e-voting secara konsep memang menawarkan efisiensi waktu penghitungan suara, potensi menurunkan biaya logistik pemilu, serta peningkatan partisipasi pemilih—terutama jika dapat diakses secara daring.
Sistem ini juga bisa meminimalisasi human error saat proses rekapitulasi suara yang sering kali menjadi titik rawan sengketa.
“Namun, hal ini harus diikuti oleh persiapan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk dari aspek teknis, infrastruktur, kapasitas SDM, dan penegakan hukum yang memadai. Serta, kesiapan para peserta Pemilu dan pemilih untuk mengadaptasi hal ini,” tegas Felia kepada wartawan Tirto, Jumat (11/7/2025).
Felia menilai Indonesia masih belum siap menerapkan e-voting. Pasalnya, Indonesia memiliki keragaman geografis, terlebih tingkat literasi digital juga belum merata antara desa-kota dan daerah-daerah tertinggal.
Jika dipaksakan secara nasional dalam waktu dekat dan tanpa persiapan yang matang, sistem e-voting justru berpotensi menambah permasalahan dalam proses pemilu. Sistem yang digunakan KPU pada Pemilu 2024 lalu saja banyak dikritik dan dinilai tidak transparan, bahkan sempat diretas.
Titik paling krusial adalah jaminan keamanan data dan kepercayaan publik. Kebocoran data menjadi isu yang sangat penting di Indonesia. Maka jangan sampai e-voting justru memperparah hal tersebut. Bahkan terkait anggaran, e-voting tidak otomatis lebih murah.
Memang ada potensi efisiensi dalam jangka panjang. Namun, investasi awalnya sangat besar, meliputipengadaan perangkat keras dan lunak, pelatihan sumber daya manusia, penguatan keamanan siber, hingga infrastruktur jaringan digital di seluruh wilayah Indonesia.
“Tanpa roadmap yang matang dan transparansi dalam perencanaan, serta kesiapan dalam penerapannya oleh semua pihak, justru ada risiko anggaran membengkak tanpa hasil yang signifikan, juga potensi korupsi,” ujar Felia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































