tirto.id - Bagi Charles Darwin menentukan apakah ia akan menikah atau tidak bukanlah perkara sepele. Ilmuan yang sohor atas karyanya berjudul “On the Origin of Species” itu, sampai harus membuat perhitungan untuk mengambil keputusan menikah atau tidak. Darwin memasukkan beberapa daftar keuntungan-keuntungan yang didapat jika ia menikah lalu diadu dengan keuntungan-keuntungan seandainya ia memilih sendiri.
“(Jika menikah) anak-anak, (kumohon Tuhan), pendamping hidup selamanya (dan teman di masa tua), objek dicintai dan bermain bersama --lebih baik daripada anjing tentu saja [...] (Jika tidak menikah) kebebasan untuk pergi ke mana saja, berbincang dengan orang-orang pintar di klub, tidak dipaksa untuk mengunjungi kerabat dan membungkuk di hal-hal sepele,” tulis Darwin dalam jurnal miliknya tertanggal 11 November 1838.
Selepas membuat hitung-hitungan, Darwin akhirnya menemukan bahwa menikah memiliki lebih banyak keuntungan. Pada 29 Januari 1839, Darwin akhirnya mempersunting Emma Wedgwood, sepupu sekaligus pujaan hatinya.
Secara konsep, perhitungan berusia 180 tahun yang digagas Darwin itu masih dimanfaatkan hingga kini. Adu mana yang lebih untung, mencocok-cocokkan kesamaan dan perbedaan, dan tindakan sejenis, jadi bagian tak terpisahkan dalam penentuan pasangan hidup banyak orang. Kini, melalui bantuan teknologi pekerjaan ini jadi mudah dilakukan. Layanan seperti OkCupid, Match, hingga Tinder, ialah contoh aplikasi atau layanan teknologi yang memanfaatkan konsep tersebut.
Algoritma Pencari Jodoh
Dalam laporan yang dipublikasikan Statista berjudul “eServices: Dating Services” ada tiga jenis aplikasi atau layanan jodoh. Layanan itu adalah mencari hubungan (matchmaking), flirt (kencan online), dan pasangan seks (kencan kasual). Dari tiga jenis itu, matchmaking ialah yang paling populer.
“Tentu saja ada sisi buruk pada berbagai hal, tapi menurutku, pada bagian terbesar, online dating merupakan salah satu hal yang benar-benar memecahkan salah satu masalah besar masyarakat,” kata Gery Kremen, salah satu pendiri Match.com.
Layanan matchmaking berawal pada seorang mahasiswa Harvard University bernama Jeff Tarr yang mendirikan layanan perjodohan bernama Operation Match. Saat itu, di musim panas 1965, sebagaimana dikisahkan The Guardian, Tarr merasa jengah dengan lingkaran sosial kampusnya. Berbekal kemampuan matematika, dan bantuan rekan matematikawannya, Tarr lalu membikin kuis berjudul “kencan idaman” yang dibagikan pada teman-temannya. Tarr memasukkan pertanyaan-pertanyaan pribadi seperti “percayakah pada Tuhan?” atau “siapkah untuk menikah dan memiliki anak?” yang dikombinasikan formula matematika, yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan siapa cocok dengan siapa.
Guna memudahkan analisis, Tarr menyewa komputer IBM 1401 untuk melakukan proses komputasi seharga $100 per jam. Jawaban kuis yang dikembalikan lalu dianalisis ke komputer, yang menghasilkan sekitar enam kencan potensial. Lengkap dengan identitas siapa sosok yang bisa diajak kencan tersebut seperti nama, alamat, hingga nomor telepon untuk dihubungi.
Tak disangka, kuis yang dibikin Tarr laku. Banyak mahasiswa yang mengembalikan untuk dianalisis oleh Tarr. Pada tahun 1966, Operation Match mengklaim memperoleh 90 ribu orang yang mengajukan untuk dianalisis.
Layanan matchmaking populer. Data yang dipublikasikan Statista menyebut bahwa layanan tersebut menghasilkan pendapatan senilai $734 juta di tahun 2016. Pada tahun 2021 angkanya diprediksi akan meningkat menjadi $890 juta. Kepopuleran aplikasi ini pun diungkap oleh The America National Academy of Sciences. Dalam rentang 2005 hingga 2012, sepertiga orang AS yang menikah bertemu pasangan mereka secara online.
Cara Kerja
Ed Finn, dalam bukunya berjudul “What Algorithms Want: Imagination in the Age of Computing” mengungkapkan bahwa salah satu definisi algoritma ialah suatu set instruksi untuk memanipulasi data. Dalam bukunya itu, Finn mengungkap bahwa algoritma ada di mana-mana, mulai dari pasar saham, mengkomposisi musik, mengendalikan mobil, menulis sebuah berita, hingga tidak ketinggalan: menentukan siapa cocok dengan siapa.
Layanan OkCupid, Match.com, eHarmony, hingga yang paling anyar Tinder, menggunakan algoritma untuk menentukan siapa yang cocok dengan siapa. Joseph Essas, Chief Technology Officer eHarmony mengatakan bahwa ada banyak variabel pembentuk algoritma pada layanan eHarmony.
Dalam penuturannya pada Fortune, eHarmony menganalisis lusinan variabel pengguna, selain informasi pribadi, variabel itu termasuk waktu yang dihabiskan dalam menggunakan eHarmony hingga berapa lama pengguna merespons email terkait perjodohan yang dilakukan.
“Ini bukan hanya tentang Anda suka sebuah film, tapi film juga harus menyukai Anda,” kata Essas.
Christian Rudder, salah seorang pendiri OkCupid, dalam video yang diunggah TED-Ed, organisasi nirlaba yang fokus pada pendidikan, mengungkap bahwa algoritma di balik perjodohan yang dilakukan OkCupid disebutnya “sangat sederhana.”
“(Algoritma OKCupid) dibentuk oleh beberapa pertambahan, perkalian, dan sedikit akar pangkat dua,” kata Rudder mencoba merahasiakan algoritma sesungguhnya OkCupid.
Redder mengungkapkan secara tersirat bahwa algoritma OkCupid tidak akan berarti banyak tanpa ada data yang mendukung kerja algoritma menentukan siapa cocok dengan siapa. Data yang dimaksud Redder, sebagaimana dilakukan Tarr, ialah pertanyaan atau kuis. Pertanyaan atau kuis tersebut dianggap sebagai cara ampuh mengetahui siapa sosok si pengguna yang ingin dijodohkan.
Pertanyaan atau kuis yang dijadikan cara mengungkap sosok si pengguna perlu memiliki tiga kriteria. Ketiga kriteria itu ialah: jawaban si pengguna, jawaban yang dikehendaki si pengguna dari orang lain, dan seberapa penting pertanyaan bagi si pengguna. Melalui algoritma “sangat sederhana” tersebut, ini dijadikan patokan OkCupid menentukan siapa cocok dengan siapa.
Namun, Eli Finkel, peneliti pada Northwestern University mengungkapkan bahwa layanan seperti OkCupid hanya fokus pada data personal semata. Menjodohkan hanya dari kesamaan dan perbedaan. Padahal, dalam keterangannya pada The Washington Post, Finkel mengatakan bahwa ada tiga kunci sukses sebuah hubungan. Ketiga kunci sukses itu ialah karakter individu, kualitas interaksi, dan keadaan sekitar seperti ras atau kesehatan atau status ekonomi.
Ketiga kunci sukses ini umumnya tidak diketemukan dalam layanan-layanan seperti OkCupid, Match.com, maupun Tinder. Secara tersirat, layanan-layanan demikian hanya mencoba mendorong sosok A bertemu dengan sosok B semata. Bukan membantu membangun hubungan seutuhnya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti