tirto.id - Kuning, 29 tahun, tidak menyangka pertemuan dengan Bob (34) di aplikasi kencan Tinder berakhir di pelaminan. Keduanya kenal di Tinder pada awal 2015. Bob sedang liburan dan Kuning sudah dua tahun tinggal di Bali.
Bob, turis asal Jerman, sedang mencari teman kencan selama liburan. Kuning mengisi waktu luang dengan mainan Tinder dan tak bermaksud mencari pasangan. “Cuma cari temen saja, iseng juga,” kata Kuning.
Saat melihat profil Kuning, Bob langsung swipe right. Kuning yang tertarik dengan profil Bob juga melakukan hal sama. Keduanya cocok. Bob menyapa. Kuning membalasnya. Keduanya bertemu. Keduanya bertemu lagi. Makin lama makin intens. Setelahnya adalah deklarasi: mereka resmi sepasang kekasih dan memutuskan menikah pada Mei 2017 usai dua tahun menjalani hubungan jarak Bali - Muenchen.
Semua itu terjadi tanpa rencana. Kalau ada pihak yang harus bertanggung jawab atas hubungan keduanya adalah Tinder. Pada akhirnya Tinder yang menjodohkan mereka.
Kuning sebenarnya masih sulit percaya ia menikahi orang yang ditemui lewat aplikasi kencan. Umumnya aplikasi kencan semacam Tinder lekat dipersepsikan sebagai semata mencari pasangan hookup atau seks.
“Beneran cuma iseng, itu juga awalnya kayak cuma cinta pas liburan, tapi malah jadi,” ujarnya.
Adni (27) juga punya pengalaman serupa. Ia bertemu Gilang (31) lewat Tinder pada awal 2016. Semula memakai Tinder cuma buat mencari teman baru, belakangan Adni menginginkan persona yang mau diajak hubungan serius. Pada momen itulah ia bertemu Gilang dan mereka lanjut ke jenjang pernikahan.
Leah LeFebvre, asisten profesor jurusan komunikasi dan jurnalisme dari Universitas Wyoming, pernah melakukan survei pada 2017 terhadap 395 responden berusia 18 sampai 34 pemakai aplikasi kencan Tinder. Survei ini menunjukkan motivasi beragam dari mereka yang memutuskan menggunakan Tinder.
Sebagian besar (48,3 persen) memakai Tinder karena popularitas di lingkaran pertemanan dan media. Sisanya desain aplikasi yang menarik (14,7 persen), menghasratkan suatu hubungan (8,9 persen), rasa ingin tahu (7,9 persen), hooking up (5,1 persen), kemudahan aplikasi (4,1 persen), serta motif mencari hiburan dan memperluas jaringan (3 persen). (Baca: Apakah Tinder Memang Aplikasi buat Cari Teman Mesra?)
Riset serupa dilakukan Jajak Pendapat Aplikasi (Jakpat) pada 2017 terhadap 512 pengguna Tinder di Indonesia. Motivasi responden beragam—tak cuma dominan buat kepentingan hooking up: ada semata buat cari teman (74 persen), mengisi waktu luang (50,29 persen), berjejaring (42,27 persen), senang-senang belaka (34,05 persen), mencari pasangan potensial (31,70 persen), mencari rekanan bisnis (25,64 persen), dan cuma buat mengamati orang (25,05 persen). (Baca: Tentukan Peruntunganmu: laporan survei tentang pemakai Tinder di Indonesia)
Riset itu setidaknya membantah stigma bahwa aplikasi kencan hanya untuk memuaskan hasrat seksual. Itu tak cuma Tinder. Aplikasi kencan lain seperti OKCupid, Setipe, dan Wavoo—yang banyak digunakan orang Indonesia—tak melulu bertujuan buat urusan seks.
Lia (25), misalnya, menggunakan OKCupid lebih untuk mencari teman baru. Ia tak berniat untuk hookup atau mencari pacar atau bahkan calon suami. “Gue itu kerja hampir 12 jam, enggak punya waktu buat ketemu orang baru, jadi pakai aplikasi kencan,” katanya.
Aplikasi Kencan: Hookup atau Lanjut ke Hubungan Serius?
Dalam aplikasi OKCupid, pengguna diberi pilihan tujuannya apakah untuk kencan singkat, menjalin kencan jangka panjang, hookup, dan teman baru. Ada yang terang-terangan sekadar mencari hookup, meski ribet pada akhirnya.
Itu dialami Amel (26) yang memang berniat mencari teman hookup sejak menggunakan OKCupid. Namun, ia khawatir akan dicap sebagai "perempuan gampangan" karena pilihan itu. Ia akhirnya mengisi semua pilihan yang tersedia di OKCupid. “Kalau begitu (cuma memilih untuk hookup), biasanya pada enggak sopan,” keluh Amel.
Di OKCupid, pengguna direkomendasikan untuk menjawab sejumlah pertanyaan terkait agama hingga seks. Salah satu pertanyaannya: Apakah lebih membutuhkan cinta atau seks. Jawaban atas pertanyaan ini bisa dibuka untuk publik. Tujuannya memudahkan para pengguna saling memahami pilihan tersebut.
Memakai aplikasi kencan untuk hookup pernah dilakukan oleh Soren. Perempuan 27 tahun ini pernah hookup dengan lelaki asal Jepang yang tengah berbisnis di Indonesia. Soren berkenalan dengannya lewat aplikasi Tinder dan ia tak berharap menjalin hubungan serius setelah hookup.
“Memang butuhnya cuma seks sekarang,” ujarnya.
Baca:
Memang kehadiran aplikasi kencan berperan dalam menumbuhkan hookup culture, tetapi tak sedikit penggunanya menemukan cinta dan gairah dari sana. Dari survei Jakpat, 19,37 persen pengguna Tinder melanjutkan hubungan lebih serius.
Meski ada survei macam itu, aplikasi kencan kerapkali dianggap melulu sebagai saran online untuk menjalin hubungan seksual singkat (hookup), mencari pasangan untuk diajak bercinta satu malam, atau kegiatan seksual lain.
Kita tak pernah tahu motivasi orang per orang saat memakai aplikasi kencan. Pilihan itu—entah untuk mencari jodoh atau sekadar teman tidur—sepenuhnya otonom pengguna. Bagaimana dengan Anda?
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam