tirto.id - Perkembangan teknologi ponsel pintar mengubah banyak hal, termasuk cara orang berkencan. Pertimbangan efisiensi waktu, kemudahan menyeleksi orang-orang yang ingin ditemui, serta popularitas penggunaan aplikasi-aplikasi kencan di kalangan peer group, di antara hal lain, membuat banyak anak muda memilih kencan online.
Seperti media sosial, aplikasi kencan dianggap lebih memungkinkan bagi mereka untuk mengekspresikan diri, gagasan, dan kesukaannya, termasuk soal seksualitas dan pandangan religius.
Terkait seksualitas, tak sedikit yang berasumsi aplikasi kencan erat dengan perilaku hookup atau aktivitas seksual di luar perkawinan. Dalam beberapa profil orang di aplikasi kencan yang saya amati pun, ada yang dengan gamblang menulis mencari pasangan hookup. Ada pula yang menulis open relationship/marriage atau poliamori.
Manneke Budiman, pengajar Ilmu Sastra dan Kajian Budaya dari Universitas Indonesia, membagi pandangannya soal fenomena penggunaan aplikasi kencan dalam budaya urban. Saat ini ia menekuni riset tentang responsi-responsi lokal terhadap arus budaya global, khususnya di kalangan anak muda dan kelas menengah perkotaan di Indonesia.
Dengan melihat konteks Indonesia yang masih normatif untuk urusan seksualitas dan relasi, bagaimana pendapat Anda mengenai fenomena dalam budaya urban ini?
Ada suatu gejala sosial yang namanya ‘arus bawah’ (undercurrent), yaitu suatu dinamika yang terjadi di luar kendali struktur dan norma dominan, bersifat marginal, tapi juga sulit dibendung, sebab bergerak di luar mainstream.
Online dating ini buat saya adalah semacam arus bawah juga, sebuah emerging culture (kebudayaan yang berkembang), yang tidak tunduk pada nilai-nilai kultur dominan, tetapi hadir bersama dan bahkan bisa bersifat subversif terhadap yang dominan.
Yang menarik, budaya arus bawah yang baru ini justru memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Pada era pra-internet, yang namanya arus bawah itu identik dengan yang kere dan ‘ndeso’. Dengan teknologi komunikasi dan informasi, yang marginal dan alternatif mampu menyandingkan diri dengan yang normatif dan dominan sebab medsos tidak bisa diklaim oleh satu golongan pun.
Nilai-nilai apa yang bergeser yang dibawa lewat kencan online terhadap pola kencan atau relasi terdahulu?
Secara fundamental tidak ada yang berubah. Fenomena hookup, seks bebas, gonta-ganti pacar juga sudah menjadi praktik dalam konteks dating pada era pra-internet. Bedanya, dengan teknologi maju, segalanya menjadi jauh lebih mudah dan instan.
Saya belum melihat adanya pergeseran nilai yang signifikan. Yang berubah adalah sarana atau mediumnya. Jadi, baik buat yang kencan betulan untuk berpacaran serius, maupun yang cuma mau iseng dan doyan promiscuous relations (menjalin hubungan sembarang) dengan banyak partner, kini ada teknologi yang bisa membuat hal-hal rumit di masa lalu menjadi praktis di masa kini. Perubahannya baru menyentuh sarana, dan belum merevolusi nilai-nilai.
Ada narasumber saya dari kalangan perempuan memang mencari pasangan hookup tetapi mendapatkan respons yang menjurus ke aktivitas seksual tanpa diinginkannya. Beberapa yang lain diminta mengirim gambar vulgar. Bagaimana Anda memandang perlakuan-perlakuan semacam ini di aplikasi kencan online?
Pelecehan seksual hanya menjadi suatu pelecehan nyata jika subjeknya merasa tidak nyaman, tersinggung, atau merasa direndahkan. Ajakan dan godaan yang sama, jika dilakukan oleh orang yang disukai, tidak akan direspons sebagai pelecehan. Ini wilayah abu-abunya.
Kapan jadi pelecehan seksual, dan kapan jadi bagian yang tak terpisahkan dari proses dating, yang jika dihilangkan justru membuat dating menjadi kering dan tanpa greget. Seseorang yang masuk ke wilayah online dating saya pikir harus siap mental dengan hal-hal seperti ini, sebab memang tidak ada yang haram dalam era medsos.
Jika tidak siap ambil risiko, lebih baik hindari online dating dan tetap pakai cara tradisional. Namun, jangan lupa bahwa pelecehan seksual pun sudah banyak terjadi bahkan sebelum era medsos: di kantor, di sekolah, di rumah, di ruang-ruang publik. Jadi ini bukan fenomena khas online dating. Aplikasi kencan bukan wilayah yang kebal dari apropriasi patriarki.
Perkara identitas menjadi salah satu sorotan dalam dunia kencan digital. Saat ini, bermunculan macam-macam aplikasi kencan khusus gay, lesbian, biseksual, dan transgender. Bagaimana pendapat Anda tentang pengaruh teknologi terhadap suara-suara kaum marginal di Indonesia ini?
Teknologi sepertinya memberikan ruang dan peluang baru bagi kelompok-kelompok marginal untuk tidak hanya mengartikulasikan identitas mereka, tetapi juga berjejaring dengan sesama mereka. Dalam hal ini, mereka bisa saling memperluas solidaritas, saling menguatkan dan mendukung. Sangat mungkin, dengan bantuan teknologi baru, mereka semakin mudah untuk mengembangkan dan menyebarkan ‘bahasa-bahasa rahasia’ baru yang hanya dipahami oleh kalangan mereka sendiri sebagai cara untuk saling berkomunikasi. Ini tentu perlu diteliti lebih lanjut.
Sebagian orang juga menuliskan pandangan agamanya pada profil mereka. Ada yang tidak ragu menulis ateis atau agnostik. Menurut Anda, mengapa mereka menyatakan diri lebih ekspresif di aplikasi kencan, padahal nilai religius cukup kuat di Indonesia?
Jangan lupa bahwa kebiasaan tradisional kencan via media massa, yaitu lewat iklan jodoh di koran, selalu ada keperluan untuk menyebutkan orientasi religius, untuk memberikan info lebih banyak pada prospek pasangan yang dicari dan untuk memudahkan prospek membuat keputusan.
Praktik ini di era aplikasi kencan tidak surut atau berubah, melainkan terus berlanjut. Jadi tidak ada keterputusan dengan praktik lama, melainkan justru kesinambungan.
Dalam hal kelompok ateis atau agnostik, saya lebih melihat gejala ini sebagai bagian dari gaya hidup yang baru. Di negeri-negeri Barat, banyak sensus telah memperlihatkan bahwa ateisme dan agnostisme jauh lebih dominan dan menjadi mayoritas dalam demografi dibandingkan warga yang mengklaim masih memiliki kepercayaan kepada Tuhan.
Gaya hidup baru yang trendi kini juga telah merambah Indonesia dan menggeser posisi dominan agama, walaupun masih berwujud emergent, dan belum betul-betul mengambil alih mainstream. Saat ini, boleh dibilang kaum beragama mulai menjadi lebih defensif, dan ada perasaan bahwa mereka sedang terdesak. Mungkin ini turut berperan dalam menumbuhkan kecenderungan radikalisme agama, sebagai reaksi.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam