tirto.id - Foto profil laki-laki itu nampak percaya diri. Senyumnya ramah dan meyakinkan. Setelah kalian match dan mulai rutin bertukar pesan, kamu semakin terpesona dengan tutur katanya yang semanis gulali.
Setiap keluh-kesahmu selalu ditanggapi dengan perhatian penuh. Saat mengobrol via telepon atau video call, atau ketika berjumpa langsung, suara dan bahasa tubuhnya selalu memberimu rasa tenang.
Suatu waktu, dia mengaku bisnisnya sedang lesu sehingga butuh pinjaman modal. Atau, kendaraannya rusak dan perlu biaya perbaikan. Bisa juga, ibu atau adiknya sedang sakit lalu butuh uang berobat. Bukan tidak mungkin pula, dia tengah menghadapi kasus hukum yang memerlukan biaya besar agar dapat diselesaikan.
Merasa kasihan, kamu menyanggupi permintaan tersebut: mentransfer sejumlah uang ke akun e-wallet atau rekening banknya.
Permintaan tersebut kemudian diajukan berkali-kali, sampai akhirnya kamu mulai bertanya-tanya, “Inikah yang namanya bucin? Atau, jangan-jangan aku sudah jadi korban penipuan?”
Seiring kamu coba telusuri lebih jauh, laki-laki itu tiba-tiba memutus kontak. Perasaan kalut, bingung, dan malu campur-aduk jadi satu.
Skenario di atas bisa jadi bukan kamu yang mengalaminya sendiri, tetapi saudaramu, teman, tetangga, atau kolega di kantor.
Agak mundur beberapa waktu lalu, persisnya tahun 2022, mungkin kamu masih ingat, dunia perkencanan daring pernah dihebohkan oleh “Tinder Swindler” versi lokal berikut.
Diviralkan dalam sebuah utas di X (dulu Twitter), seorang laki-laki diduga bernama James Daniel Sinaga mengelabui beberapa perempuan demi mengeruk uang hingga total puluhan juta rupiah.
Setelah itu, semakin banyak laporan investigasi yang membahas kasus penipuan berkedok asmara alias romance scam atau love scam.
Pertengahan 2023 silam, Kompas.com meliput pengalaman sejumlah korban penipuan aplikasi kencan berbayar premium yang total kerugiannya sampai miliaran rupiah. Dalam kasus ini, kebanyakan korban adalah perempuan yang datang dari latar belakang sama: berstatus ibu tinggal, berpendidikan, sudah mapan secara finansial, dan serius mencari pasangan hidup.
Tak hanya lewat aplikasi atau situs kencan, sosial media juga masih menjadi medium yang empuk untuk menebar tipu daya.
Sekitar seminggu yang lalu, CNBC membagikan kisah perempuan berusia 29 tahun yang diajak menikah oleh seorang laki-laki melalui fitur DM Instagram. Meski mengaku kaya raya dari profesinya sebagai teknisi offshore di Papua, laki-laki ini berhasil mengelabui dan memaksa korban untuk mentransfer uang sebesar Rp26 juta.
Di Indonesia, modus penipuan via aplikasi kencan daring yang banyak menjerat perempuan ini turut menjadi perhatian KemenPPPA, yang menerima mandat dari Presiden untuk memastikan perlindungan hak perempuan baik di ranah offline maupun online.
Kerentanan perempuan dalam penipuan berkedok asmara juga sudah lama disorot di luar negeri, seperti di Inggris Raya. Pada 2018, terungkap presentase perempuan korban love scam sebesar 63 persen dengan rata-rata usia 50 tahun. Pada 2022, nominal uang yang dikeruk para penipu mencapai 88 juta poundsterling atau sekitar Rp1,8 triliun (rata-rata setiap korban merugi Rp200 jutaan). Sampai sekarang, aduan penipuan asmara di sana terus mengalami peningkatan.
Menurut psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener, M.Psi, kecenderungan perempuan menjadi korban penipuan berkedok asmara salah satunya berkaitan dengan kinerja otak perempuan yang lebih condong mengedepankan sisi emosionalnya.
“Saat dilakukan proses pendekatan oleh pelaku, korban akan merasakan ikatan emosional atau bonding karena dibuat nyaman. Pelaku melakukan manipulasi dan korban menjadi percaya. Korban beranggapan cara untuk membuktikan cintanya adalah dengan menuruti apa yang disampaikan oleh pelaku.”
Samanta menambahkan, hal ini berkaitan juga dengan low self-esteem atau kepercayaan diri rendah yang dimiliki perempuan, salah satunya adalah perasaan bahwa dirinya rentan dan tidak berharga apabila kehilangan laki-laki yang saat ini jadi pasangannya. Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh pelaku untuk masuk ke dalam kehidupan personal korban dan memberikan kenyamanan di awal.
“Itulah sebabnya, saat mulai menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, perempuan wajib cek semua terlebih dahulu. Jangan buru-buru mudah percaya dan terbuai kata-kata manis. Perbanyak pergaulan dan referensi karakter orang serta tren dating masa kini,” saran Samanta.
Saat sudah kenal dan hubungan makin dekat, wajib ceritakan ke orang-orang terdekat agar bisa saling menjaga satu sama lain. Lihat seberapa tinggi konsistensi informasi yang disampaikan orang tersebut dan cek lagi kebenarannya.
Samanta memaparkan lebih detail, “Bila dirasa tubuh sudah memberikan sinyal tidak enak, ini artinya ada yang tidak beres. Seseorang bila benar-benar tulus mencintai kita, kita akan merasa aman dan tenang. Bukan resah atau seperti ada kupu-kupu di perut gitu.”
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan jika kamu, atau orang yang kamu kenal, sudah telanjur menjadi korban love scam?
Samanta menyarankan, beranikan diri untuk untuk melaporkan pada pihak berwajib. Selain itu, upayakan pemulihan kondisi mental. Misalnya, kembali berkumpul dengan teman atau keluarga terdekat yang mampu menjadi support system, atau bisa juga berkonsultasi dengan pakar atau profesional.
Senada dengan Samanta, Direktur Eksekutif ICT Watch, Indriyatno Banyumurtidalam laman KemenPPPA memberi masukan, jika sudah ada indikasi terjerat dengan pelaku, segera hentikan komunikasi dengannya.
Catat informasi identitas apa pun yang mungkin dimiliki tentang pelaku, seperti alamat surel. Kemudian, hubungi bank atau kartu kredit jika merasa telah memberikan uang kepada pelaku. Ajukan laporan kepada pihak yang berwenang, dan beri tahu situs atau aplikasi tempat bertemu penipu.
Apabila kamu, atau orang yang kamu kenal menjadi korban penipuan bahkan kekerasan, segera laporkan ke layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, melalui call center 021-129 atau WhatsApp 08-111-129-129.
Mencintailah dengan sepenuh hati, namun pastikan akal sehatmu selalu mengikuti ke mana pun hati dan kakimu melangkah.
Penulis: Glenny Levina
Editor: Sekar Kinasih