tirto.id - Arif, 28 tahun, belum lama ini berpacaran dengan Hesti yang ditemuinya dari aplikasi kencan Tinder. Ia lantas memulai perbincangan pada Maret 2016 setelah melihat profil Hesti yang dianggapnya menarik. Itu berlanjut ke percakapan yang lebih intens di WhatsApp.
Sekilas tidak ada yang ganjil dengan relasi yang Arif jalin dengan pacarnya saat ini, kecuali satu: Saat berkenalan dan kian dekat dengan Hesti, Arif tengah pacaran dengan Fia selama lebih dari tiga tahun.
Pada tahun kedua, Arif dan Fia sempat berhubungan jarak jauh lantaran Fia melanjutkan sekolah ke Amerika Serikat. Ketika itu, Arif maupun Fia mengaku memasang Tinder di ponsel mereka. Sejoli ini menyatakan bermain Tinder atas dasar mencari kesenangan semata, tanpa ada niatan untuk menceritakan lebih detail mengenai orang-orang yang ditemui di sana. Hingga Fia kembali ke Jakarta, ia dan Arif masih aktif menggunakan aplikasi ini dan tetap menjalankan hubungan layaknya pasangan lain.
Waktu berjalan dan Arif merasakan relasi yang terjalin dengan Hesti dari kencan online tak sekadar teman berbincang. Beberapa pertemuan langsung serta komunikasi yang terus dijaga tak pelak menumbuhkan ikatan emosional di antara keduanya. Dengan jujur, Arif menceritakan kepada Hesti soal hubungannya dengan Fia yang saat itu belum berakhir dan Hesti menerimanya tanpa banyak berharap.
Barulah, pada Maret 2017, Arif dan Fia sepakat menyudahi relasi romantis mereka—bukan dengan alasan Arif tertarik kepada perempuan lain—dan Arif memutuskan berpacaran dengan Hesti. Meski demikian, hingga kini Arif tetap mengaktifkan Tinder dan berinteraksi dengan perempuan-perempuan lain.
Pengalaman bermain Tinder saat masih berpacaran juga dialami oleh Chacha (32) dan Kika (25). Lantaran lingkaran pertemanan Chacha jamak menggunakan Tinder, ia pun tertarik menjajal aplikasi tersebut.
“Mulanya sih gue nganggap mainan Tinder itu lame banget. Tapi setelah gue coba, ternyata menarik juga karena gue bisa ketemu banyak orang di luar lingkaran gue,” kata Chacha. Saat memasang Tinder, Chacha masih berpacaran dengan seseorang dan sama seperti relasi Arif-Fia, pacar Chacha pun mengetahui hal ini.
Chacha tak menganggap bermain Tinder sebagai upaya berselingkuh lantaran ia tetap mengutamakan hubungannya dengan sang pacar. Kalaupun kontak fisik atau aktivitas seksual dilibatkan setelah bertemu dengan orang-orang di Tinder, Chacha cenderung lebih permisif terhadap hal ini.
“Bagi gue, selingkuh itu ada dua: selingkuh fisik sama selingkuh perasaan. Selingkuh fisik lebih bisa gue terima dan maafkan daripada selingkuh hati. Soalnya, gue melihat wajar kalau orang punya lust dan berkeinginan untuk berhubungan seks dengan orang di luar pasangannya,” ungkap perempuan yang bekerja di media ini.
Setali tiga uang dengan Chacha, Kika juga sempat mengaktifkan aplikasi kencan lain seperti OKCupid saat ia masih berpacaran. Bedanya, pacarnya tidak mengetahui aktivitas aplikasi kencan Kika. Ia mengatakan kerap mencari teman kencan di OKCupid lantaran mudah merasa bosan.
“Gue merasa enggak bisa monogami, tapi gue susah menemukan pasangan yang bisa open relationship dan cocok sama gue. Selain itu, gue juga tipe orang yang memisahkan love sama lust,” ungkapnya.
Kika juga menyatakan tetap bersama pasangannya sekarang, tetapi ia pun tak memungkiri ada kebutuhan biologis yang sulit terpenuhi oleh hanya satu orang. Dengan bantuan OKCupid, ia bisa bertemu orang-orang baru dengan segmentasi tertentu dan memiliki irisan kesukaan yang sama.
Kika juga pernah terlibat hubungan dengan Barry yang mengaku menjalani open marriage di profil OKCupid-nya. Ini sempat membuatnya merasa bersalah sekalipun ia berkata sangat nyaman berelasi dengan Barry.
Baginya, bila masih di level pacaran, ia masih bisa berkompromi dengan batasan etis yang diamini orang-orang. Lain cerita bila status pasangan adalah suami perempuan lain. Perasaan rikuh kian menebal saat Kika datang ke rumah Barry saat istri Barry tak di sana. Singkat cerita, Kika menuntaskan relasinya dengan Barry.
Ketika ditanya apakah melakukan online dating termasuk berselingkuh, Kika menjawab, “Sebenarnya yang gue lakuin ini tergolong cheating, sih. Tapi, kalaupun ternyata pacar gue melakukan hal kayak gue, ketemu dan hookup sama orang lain, gue enggak begitu mempermasalahkan. Akan jadi masalah kalau udah melibatkan ikatan emosional.”
Lain lagi dengan pengalaman Putri (28) dan Satya (32). Mereka mengaku bertemu di OKCupid pada Maret silam dan mulai berkomunikasi secara intens, baik melalui aplikasi pesan Line maupun pertemuan-pertemuan langsung. Empat bulan kemudian, mereka kian intim dan tanpa perlu pernyataan lugas mereka menjalin hubungan romantis.
Berbeda dari kebanyakan relasi romantis lain, Putri dan Satya membebaskan satu sama lain untuk tetap menjalin hubungan dengan orang-orang lain alias memilih poliamori. Keduanya tetap mengaktifkan aplikasi kencan dan bersepakat untuk tidak mengamini batasan selingkuh yang banyak dipegang orang-orang: kontak fisik dan keterlibatan emosional.
Baca:
- Poliamori: Cinta yang Tak Terbatas untuk Satu Orang Saja
- Benarkah Cuma Ada Satu Nilai: Tak Boleh Mendua?
Ketika saya menanyai alasan Satya memilih poliamori, ia menjawab, “Karena saya senang melihat pasangan saya senang bersama orang lain. Saya percaya, saya punya kapasitas menyayangi cukup besar sehingga saya bisa membagikan ke lebih dari satu orang. Dulu, saya sempat monogami dan merasa segala yang saya punya terserap hanya oleh satu orang. Sementara, saya senang membantu dan memberi kepada banyak orang.”
Satya menambahkan bahwa ia ingin menghindari “kesalahan” hanya berfokus kepada satu orang, dan karena itulah ia memilih jalan poliamori.
Sementara Putri mengatakan memilih poliamori lantaran ia sadar kebutuhan kontak fisik sulit terpenuhi hanya lewat satu laki-laki. Pengalaman berelasi lebih dari tiga tahun dengan beberapa pasangan sebelumnya membuat Putri paham, cepat atau lambat, ia akan terlumat rasa jenuh.
Tidak hanya itu, Putri merasa ia bisa jatuh hati bukan kepada satu orang atau satu persona saja. Serangkaian momen pun bisa membuatnya begitu intim dan tertarik kepada orang lain di luar pasangannya.
Menyadari hal-hal ini, Satya dan Putri tidak keberatan jika suatu hari melihat pasangannya mesra dengan orang lain yang ditemui, baik dari aplikasi kencan ataupun lingkaran pergaulan. Bahkan, bukan hal yang tabu bagi mereka untuk berkumpul bersama perempuan dan laki-laki lain yang tengah intim dengan mereka.
Negosiasi Definisi Selingkuh dalam Kencan Online
Omong perselingkuhan acapkali mendatangkan beragam tafsir. Beragam konteks—dari budaya, agama, hingga teknologi seperti aplikasi kencan—memengaruhi pemaknaan kita atas selingkuh. Hasil survei dari lembaga riset pasar asal Inggris YouGov menyebut 67% perempuan dan 43% laki-laki berpikir melakukan online dating lewat Tinder atau Match.com tergolong selingkuh.
Dalam Love Online: Emotions on the Internet(2004), Aaron Ben-Ze’ev memaparkan kemunculan aplikasi atau situs kencan online menggeser perilaku berelasi romantis seseorang dan bagaimana selingkuh dimaknai ulang.
Bagi sebagian masyarakat konservatif, aktivitas seksual atau kontak fisik seseorang dengan orang yang bukan pasangannya adalah perselingkuhan. Sekadar jalan atau menghabiskan waktu berduaan dengan yang bukan pasangan pun bisa dibilang oleh sebagian pihak sebagai tindakan serong. Bahkan, ada yang menganggap menonton porno dan bermasturbasi saat seseorang memiliki pasangan tergolong selingkuh. Lantas, bagaimana berinteraksi di ranah online dating?
Ada sejumlah argumen yang Ben-Ze’ev kutip dalam tulisannya. Secara khusus, ia membahas mengenai percakapan yang berkonten seksual pada aktivitas online dating dan cybersex. Tidak sedikit orang yang menggunakan aplikasi kencan untuk membicarakan hal-hal terkait seks, tetapi menurut Ben-Ze’ev, tidak semua percakapan tentangnya setara dengan seks itu sendiri. Bisa saja perbincangan mengarah pada aspek psikologis, bahkan filosofis, tentang seksualitas.
Bagi beberapa orang, percakapan atau aktivitas seksual dengan perempuan atau laki-laki lain selama masih berstatus sebagai pasangan seseorang, bukanlah tindakan selingkuh asalkan memenuhi satu syarat: diketahui dan diterima oleh pasangannya.
Ini jamak ditemukan pada konteks open relationship, open marriage, atau poliamori. Tidak boleh ada pihak yang merasa ditipu karena pasangannya menjalin relasi intim dengan orang lain. Pandangan semacam ini masih kalah populer di mata masyarakat lantaran, dari masa ke masa, monogami dinilai sebagai kebenaran tunggal dengan segala macam pertimbangan moral, ekonomi, legal, kesehatan, dan lain sebagainya.
Sejumlah orang lain, tambah Ben-Ze’ev, melanjutkan interaksinya di aplikasi kencan ke aktivitas seksual virtual alias cybersex. Ini kerap dilakukan lantaran lebih rendah risiko ketahuannya dan beban moralnya tak seberat di dunia nyata. Alasan lain, seperti diungkapkan oleh Ceilidhe Wynn, matchmaker asal Ottawa, Kanada: Anonimitas lebih tinggi di dunia online dating telah membuat mereka merasa leluasa mengekspresikan diri dan menyalurkan hasratnya kepada orang-orang asing.
Bila interaksi sudah dirasa menyebalkan, mereka bisa menghentikannya sewaktu-waktu tanpa perlu merasa rikuh atau khawatir akan bertemu dengan si lawan bicara di kehidupan nyata. Alih-alih menganggap perbincangan di aplikasi kencan sebagai aksi selingkuh, banyak orang memandangnya sebagai sarana yang membantu memperbaiki relasinya dengan pasangan di kehidupan nyata.
Logika yang mendasarinya: ada kala kejenuhan menghampiri hubungan. Dengan bertemu orang baru, tanpa melulu harus berhubungan badan, mereka bisa menemukan kembali relasi bergairah dengan pasangan.
Tentu saja argumen ini bukan tanpa bantahan. Ben-Ze’ev mencatat tentang pengalaman perempuan yang menilai suaminya sudah jenuh berhubungan lantaran telah banyak menghabiskan waktu dengan pasangan cybersex. Saat kepentingan pasangan di dunia nyata dikesampingkan, intimasi mulai tergerus, dan perhatian justru diarahkan ke satu orang yang sama, alih-alih ke beberapa orang, di dunia dating online, saat itulah seseorang menganggap pasangannya selingkuh.
Bincang-Bincang di Aplikasi Kencan Selalu Berintensi Seksual?
Meski kerap diasosiasikan dengan kepentingan seksual, ada orang-orang yang memanfaatkan aplikasi kencan hanya untuk menambah teman, wawasan, bahkan mendapat kesempatan kerja dari orang-orang yang ditemuinya.
Kika berkata, meski kerapkali menemukan teman mesra dari aplikasi kencan, tujuannya memakai Tinder maupun OKCupid tak melulu untuk kebutuhan seksual. Ia lebih senang saat bertemu orang-orang yang bisa diajak berbincang seputar hal-hal yang ia geluti atau isu sosial-politik yang jadi topik kegemarannya.
“Bagi gue, Barry itu mentor yang menyenangkan. Gue juga dapat banyak insight dari orang-orang yang sempat gue temui di OKCupid. Pemenuhan intelektual itu yang menurut gue lebih menarik sih dari pengalaman berinteraksi di aplikasi kencan,” katanya.
Pengalaman Kika merefleksikan satu hal. Sulit sekali menemukan laki-laki atau perempuan yang ibarat “paket lengkap”: memenuhi semua gagasan ideal pasangan, punya kecenderungan yang persis sama, atau selalu bisa menawarkan hal baru.
Pasti ada pertimbangan tertentu mengapa ia memutuskan untuk berpacaran dengan hanya satu orang. Kendati demikian, penggunaan aplikasi kencan seperti yang dilakukan Kika membuktikan bahwa intensi memenuhi beberapa kebutuhan—seperti aktualisasi diri atau intelektualitas—bukanlah cuma angan kosong.
Jadi, apakah hal semacam ini tergolong selingkuh?
=========
Catatan: Semua sumber yang saya wawancarai dalam artikel ini memakai nama samaran.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam