Menuju konten utama

Sesat Pikir Dalih Kesejahteraan di Balik Ide TNI Boleh Berbisnis

Jika tentara belum sejahtera, solusinya adalah mekanisme anggaran, bukan melegitimasi mereka berbisnis.

Sesat Pikir Dalih Kesejahteraan di Balik Ide TNI Boleh Berbisnis
Prajurit Korps Marinir TNI AL menembak sasaran dalam lomba pentathlon di Kesatrian Marinir R. Suhadi Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (20/2/2025). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/rwa.

tirto.id - Pembahasan revisi UU TNI kembali bergulir di DPR RI sejak awal pekan ini. Dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi I DPR, Senin (3/3/2025), Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum, Mayjen TNI Purnawirawan Rodon Pedrason, mendorong agar anggota TNI aktif diperbolehkan untuk berbisnis. Rodon menilai hal tersebut akan membantu kesejahteraan prajurit TNI.

Rodon lebih memilih mendorong prajurit TNI berbisnis dibandingkan menyuruh perwira TNI mengenyam bangku kuliah. Menurutnya, banyak prajurit TNI yang enggan meneruskan pendidikan, meski sudah dianjurkan dan difasilitasi Mabes TNI dan Kementerian Pertahanan.

Dia menyodorkan kondisi bahwa uang pensiunan bintara dan tamtama cuma 70 persen dari gaji pokok, sedangkan mereka tidak punya pekerjaan lain selama berkarier sebagai prajurit TNI. Gaji bagi pensiunan jenderal disebutnya juga tak seberapa, hanya sekitar Rp5,2 juta per bulan usai purnatugas.

“Karena ada teman saya yang bintang 3 dan bintang 4, anak-anaknya masih kecil, begitu pensiun bingung mau ngapain? Enggak bisa apa-apa. Coba masuk ke administrasi publik, katakanlah komisaris, dia enggak ngerti, dia enggak punya bekal,” ucap Rodon.

Usul memasukkan pasal prajurit boleh berbisnis dalam revisi UU TNI pun bukanlah barang baru. Usulan serupa muncul sudah pernah disodorkan dalam Dengar Pendapat Publik membahas revisi UU TNI/Polri di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, pada Juli 2024. Ide itu dilontarkan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro.

Menurut Kresno, larangan berbisnis seharusnya jangan menyasar prajurit, tapi cukup terhadap institusi TNI. Dia mencontohkan prajurit dibolehkan bekerja sampingan menjadi ojek daring atau punya usaha keluarga.

Atas alasan itu, TNI menyarankan agar Pasal 39 Huruf C dihapus dalam revisi UU TNI. Pasal ini memuat larangan-larangan bagi prajurit TNI aktif, salah satunya berbisnis. Larangan lainnya adalah ikut melakukan kegiatan politik praktis, menjadi anggota parpol, dan ikut mencalonkan diri menjadi peserta pemilu.

“Kami sarankan ini dibuang, mestinya yang dilarang institusi TNI berbisnis,” kata Kresno.

Wacana membuka ruang bagi militer untuk berbisnis adalah sebuah langkah mundur yang berbahaya bagi demokrasi dan supremasi sipil. Reformasi militer yang diupayakan sejak Reformasi 1998, termasuk lewat UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, bukan sekadar langkah teknis, melainkan upaya besar menempatkan militer di jalur profesionalisme yang benar.

Dalih bahwa bisnis diperlukan untuk kesejahteraan prajurit adalah alasan yang lemah dan menyesatkan. Kesejahteraan aparat negara merupakan tanggung jawab pemerintah. Maka hal itu bukan pembenaran prajurit mencari duit sendiri.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai bahwa alasan kesejahteraan untuk membenarkan prajurit berbisnis merupakan argumen yang fatal.

Menurut Fahmi, narasi yang kerap dikemukakan oleh pihak yang mendukung prajurit berbisnis adalah bahwa mereka hanya ingin memiliki usaha kecil-kecilan, seperti membuka warung atau menjadi tukang ojek untuk menambah penghasilan.

Namun, argumentasi itu akan segera tampak terlalu menyederhanakan masalah jika kita melihat sejarah dan realitas selama ini. Dalam praktiknya, bisnis skala kecil tetap sangat memungkin berkembang menjadi skala besar. Lagi pula, usaha skala mikro dan kecil sebagaimana yang diinginkan itu sudah marak dipraktikkan prajurit bawah dan relatif tak dipermasalahkan.

Sejarah pun menunjukkan bahwa ketika militer diberi ruang untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi, mereka dapat berkembang menjadi pemain utama dengan memanfaatkan pengaruhnya. Pada era 1950-an, Fahmi mencontohkan, personel militer mengelola berbagai aset ekonomi, baik aset warisan pemerintah kolonial maupun yang mereka ambil alih sendiri.

Dalam perkembangannya, keterlibatan militer dalam kegiatan ekonomi tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya, tetapi juga merambah ke industri strategis, perbankan, dan perdagangan komoditas bernilai tinggi.

Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Fahmi, adalah bahwa bisnis yang dijalankan kerap beroperasi dalam wilayah abu-abu. Dalam area tersebut, batas legal dan ilegal jadi kabur. Bisnis gelap seperti penyelundupan, eksploitasi sumber daya ilegal, hingga keterlibatan dalam jaringan ekonomi informal menjadi fenomena yang tidak bisa dihindari saat prajurit aktif memiliki akses langsung terhadap kegiatan ekonomi.

“Membiarkan prajurit TNI berbisnis itu bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga menyangkut profesionalisme, ketimpangan internal, dan bahkan stabilitas demokrasi,” ucap Fahmi kepada wartawan Tirto, Selasa (4/3/2025).

Alasan Kesejahteraan Prajurit

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, berpendapat bahwa UU TNI mengatur prajurit aktif hanya dilarang berdagang dalam skala besar. Sedangkan, mereka yang aktif dalam jual-beli mikro seperti berdagang kelontong dan sejenisnya tak dipermasalahkan.

Maka mantan Sekretaris Militer era Presiden Megawati Soekarnoputri tersebut berharap revisi UU TNI nantinya tidak lagi mengatur perihal larangan berbisnis. Menurunya, revisi UU TNI mencantumkan keterangan jenis bisnis apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh prajurit aktif.

"Tapi, dulu itu, TNI, ABRI, berbisnis sampai punya duit nonbudgeter untuk kegiatan TNI sendiri," kata TB Hasanuddin.

Sementara itu, peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, menilai bahwa dalih pihak-pihak yang mendorong agar prajurit TNI boleh berbisnis selalu diselimuti alasan demi kesejahteraan prajurit bawah. Menurut Hussein, alasan itu tak masuk akal dan mengada-ada.

Pasalnya, ada praktiknya, pihak yang diuntungkan dari bisnis skala besar yang dikelola militer di era Orde Baru adalah para jenderal dan perwira tinggi saja.

“Ini cuma alibi agar perwira menengah dan tinggi berbisnis kembali seperti masa Orde Baru. Jangan gunakan perut prajurit di bawah untuk kepentingan para atasan,” ucap Hussein kepada wartawan Tirto, Selasa.

Pasal 39 Huruf C UU TNI secara tegas melarang prajurit mencari keuntungan pribadi atau golongan. Larangan ini bukan tanpa alasan.

Sebelum Reformasi 1998, ABRI—sebutan militer kala itu—memiliki jaringan bisnis yang luas, meliputi sektor perkebunan, pertambangan, properti, hingga jasa keamanan. Keberadaan bisnis-bisnis itu tidak hanya merusak profesionalisme militer, tetapi juga melahirkan korupsi, konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada pelanggaran HAM.

Memperbolehkan prajurit TNI berbisnis bisa membuat profesionalisme dan fokus TNI sebagai alat pertahanan negara semakin kabur.

Bukan tak mungkin, kata Hussein, korporasi yang ditunggangi militer justru bakal merusak ekosistem bisnis bagi masyarakat sipil. Dengan pengaruh dan pasukan yang besar, sangat mudah bagi entitas militer menguasai atau memonopoli bisnis secara luas.

“Jauh lebih penting dari revisi UU TNI yakni melaksanakan mandat UU itu. Pertama, revisi UU Peradilan Militer. Kedua, membuat aturan main perbantuan militer di ranah sipil,” kata Hussein kepada wartawan Tirto.

Hussein juga menegaskan bahwa kesejahteraan para prajurit TNI merupakan tanggung jawab negara. Tidak semestinya kesejahteraan prajurit dibebankan pada kegiatan bisnis. Alih-alih, hal itu malah berpotensi membuka celah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Jika gaji tentara masih belum layak, solusinya adalah melalui mekanisme anggaran yang transparan dan akuntabel, bukan dengan melegitimasi mereka mencari keuntungan sendiri.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, menilai bahwa tentara dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk tugas pertahanan negara. Hal itu merupakan raison d’etre (hakikat) militer di negara mana pun.

Oleh karena itu, kata Andrie, prajurit seharusnya dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu bakal mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan seorang prajurit.

Berbisnis akan membuat prajurit TNI mengalami disorientasi tugas dalam menjaga kedaulatan negara. Maka pemerintah dan DPR harus menolak usulan TNI boleh berbisnis.

Demokrasi yang sehat membutuhkan militer yang profesional dan tunduk pada supremasi sipil.

“Semestinya yang dilakukan negara memastikan kesejahteraan prajurit terjamin dengan dukungan anggaran negara, bukan dengan memberikan ruang Prajurit TNI untuk berbisnis. Praktik ini terbukti menyebabkan profesionalisme prajurit menjadi rusak seperti era Orde Baru,” ucap Andrie kepada wartawan Tirto, Selasa.

Membiarkan tentara kembali berbisnis pun sama saja membuka pintu bagi era otoritarianisme baru—saat tentara bukan hanya menguasai senjata, tapi juga ekonomi negara.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi