tirto.id - Selama ini, kita mungkin sudah cukup sering mendengar berita-berita tentang jasa seks, atau pelayanan di restoran, kafe, panti pijat yang memungkinkan pelanggan untuk melakukan kontak fisik dengan pegawai.
Nah, bagaimana dengan toko yang menjual jasa tidur bersama—tanpa aktivitas seksual?
Layanan seperti itu dapat kamu temukan di Jepang. Disebut-sebut sebagai yang pertama adalah Soineya, didirikan pada 2012 di sentra budaya pop Akihabara, Tokyo.
Jepang bukanlah pemain baru di industri pelayanan unik. Negeri inilah yang memopulerkan kafe-kafe tematis seperti meido cafe yang menampilkan hostess (penyambut tamu, pramusaji) berjenis kelamin perempuan dengan kostum dan dandanan kawaii (imut).
Kemunculan kedai tidur bersama mustahil dipisahkan dari kebutuhan segelintir orang yang bisa memperoleh kenikmatan melalui aktivitas rebahan bersama orang lain dan saling bersentuhan tanpa hasrat seksual.
Mereka sekadar ingin melepas stres dan penat dari rutinitas kerja, alih-alih memuaskan nafsu birahi seperti disalurkan lewat jasa prostitusi.
Diwartakan Japan Today, Soineya menawarkan pengalaman tidur bersama karyawannya dengan tarif disesuaikan durasi dan tindakan keinginan pelanggan.
Durasi jasa paling singkat, yakni 20 menit, dibanderol 3 ribu yen (Rp300 ribuan), sementara durasi 10 jam sekitar 50 ribu yen (Rp5 jutaan). Dengan ekstra biaya, pelanggan boleh memilih perempuan yang ingin dijadikan teman tidur.
Orang yang sinis mungkin akan mencibir pelanggan Soineya, “Sebegitu putus asakah sampai harus membayar orang untuk menemani tidur dan menikmati sentuhan?”
Ada pula kalangan yang menganggap sentuhan fisik sepatutnya dilakukan oleh pasangan resmi atau dalam ikatan komitmen.
Di balik kritik dan kontroversi praktik Soineya, sentuhan itu sendiri punya segudang manfaat.
Studi di jurnal Psychological Science (2015) menuturkan, menerima dukungan sosial termasuk lewat pelukan bisa melindungimu dari risiko kerentanan infeksi penyakit akibat stres dan mengurangi gejala sakit parah.
Sementara menurut hasil penelitian di jurnal Comprehensive Psychoneuroendocrinology (2021), sentuhan sesederhana gerakan memeluk diri sendiri dan dipeluk orang lain bisa menurunkan kadar kortisol, hormon yang meningkat saat kamu stres atau kelelahan berolahraga.
Sayangnya, fasilitas semacam Soineya belum tentu mudah diakses di setiap lokasi tempat tinggal. Biaya yang tak murah menimbulkan kesan layanan demikian sebagai kemewahan. Hmm, adakah alternatifnya?
Mari tengok upaya dua sekawan Charlie Williams dan Jeff Kulak. Terinspirasi oleh aplikasi kencan seperti Tindr, OKCupid, Grindr, mereka membuat aplikasi khusus berpelukan, Cuddlr, pada 2014.
Dilansir International Business Times, Cuddlr diklaim berbeda dari mayoritas aplikasi kencan yang mengarah pada hubungan romantis atau seks. Dalam Cuddlr, penciptanya menekankan tujuan relasi platonik.
Pada minggu pertama diluncurkan, Cuddlr diunduh 200 ribu orang. Namun aplikasi ini tak berumur panjang. Pada Maret 2015, Cuddlr ditutup.
Ada sederet asumsi yang menyebabkan matinya Cuddlr, seperti kalah popularitas dari aplikasi kencan terdahulu dan skeptisisme publik terhadap intensi murni sebuah pelukan. Banyak yang menganggap pertemuan dua orang asing pengguna Cuddlr cepat lambat akan berujung pada seks.
Menurut Mark Morman dari Baylor University, tak semua orang dapat menerima pandangan bahwa berpelukan dengan orang asing itu sah-sah saja dan perlu.
Morman mengutip teori dari Kory Floyd bahwa orang masih menganggap perhatian—termasuk dalam bentuk sentuhan fisik—hanya dapat diberikan terbatas pada pihak-pihak tertentu.
“Bahkan kepada orang-orang yang kita perhatikan, kita tak membagikannya dalam kadar yang sama,” ungkap Morman.
Melakukan kontak fisik atau bahkan berhubungan seks tanpa adanya ikatan adalah suatu fenomena yang dalam berbagai konteks budaya dapat dipandang sebagai degradasi moral atau pelanggaran norma kesusilaan. Namun kemunculannya bukan tanpa alasan.
Terutama di kota-kota besar, kesibukan aktivitas seseorang membuat waktunya untuk bersenang-senang—termasuk mencari teman tidur atau pemberi perhatian fisik—terbatas. Belum lagi aneka tuntutan yang mesti dipenuhi dalam suatu hubungan, baik pacaran atau pernikahan, yang tak jarang bikin orang stres.
Pertimbangan demikian bisa jadi justifikasi bagi mereka yang setuju terhadap pelukan atau kontak fisik lain tanpa komitmen. Pada masyarakat digital sekarang, aksesnya kian dipermudah berkat aplikasi.
Kendati demikian, pandangan negatif terhadap ‘teman tapi mesra’ tak semudah itu tergeserkan. Kebiasaan sentuhan fisik dan hubungan badan yang dipromosikan aplikasi kencan atau kedai tidur bersama malah akan menjauhkan seseorang dari esensi berelasi.
Pelukan dan sentuhan semata-mata dicapai untuk memenuhi kebutuhan biologis. Kenikmatan sementara dari hubungan mesra tanpa komitmen dianggap tak mampu menurunkan legalisasi hubungan dari posisi prioritas dalam benak masyarakat pada umumnya.
Tentu setiap orang bebas untuk memilih atau tak memilih berkontak fisik dengan orang lain—apa pun pertimbangannya.
Penting diingat, segala tindakan yang dilakukan terhadap orang lain idealnya berbasis pada kesepakatan dua pihak demi menciptakan kenyamanan bersama.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 8 April 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional diajeng.
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih